Sabtu, 15 Oktober 2011

PENDEKATAN TRANSDISCIPLINARY SEBAGAI SUATU ALTERNATIF DI DALAM MEMECAHKAN MASALAH PENDIDIKAN

PENDEKATAN TRANSDISCIPLINARY SEBAGAI SUATU ALTERNATIF DI DALAM MEMECAHKAN MASALAH PENDIDIKAN
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah: Pendekatan Transdisciplinary Dalam Mengatasi Masalah Sosial
Dosen : Prof. DR. Disman, M.Si



 








Oleh :

Ahsan Sofyan
(1006980)



PROGRAM PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2011
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………..…………………………………………..….…         i  
DAFTAR ISI………………..………………………………..…………….………        ii

BAB I  PENDAHULUAN
            A.  Latar Belakang ………………..……………………..…………………       1
B.  Identifikasi Masalah ..…………………………...……..………...……..       3
BAB II PEMBAHASAN
A.  Pengertian Transdisiplinari…………………………………..…………       4
B.  Peranan transdiciplinari dalam memcahkan masalah pendidikan …..…       7
C.  Karakteristik pendekatan Transdiciplinary …………………………....        8
D. Ciri-ciri Pendekatan Transdisciplinary ………………………….……..        9
E. Faktor Penunjang Pendekatan Transdisciplinary……………………..       11
BAB III PENUTUP
Kesimpulan……………………………..……….....................…….……….……..       13
Daftar Pustaka ……...…………………………………………..…………………       15








KATA PENGANTAR


            Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat,taufiq dan hidayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
            Makalah Pendekatan Transdisipliner Dalam Mengatasi Masalah Sosial, Tentang judul : “PENDEKATAN TRANSDICIPLINARI SEBAGAI SUATU ALTERNATIF DI DALAM MEMECAHKAN MASALAH PENDIDIKAN”. ini saya susun untuk memenuhi salah-satu tugas mata kuliah.
            Saya sepenuhnya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini,masih banyak kekurangan serta memerlukan banyak perbaikan. Untuk itu saya mengharafkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan makalah ini.
            Saya selaku penyusun berharap semoga makalah ini ada guna dan manfaatnya bagi para pembaca, terkhusus bagi saya sendiri sebagai penulis.Amin.






                                                                                         Bandung, 29 September 2011


                                                                                                  (Ahsan Sofyan)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan dapat dilakukan kapan saja, dimana saja, dan merupakan suatu proses yang berpengaruh dalam setiap sistem. Aktivitas pendidikan dilakukan oleh spesialis dalam berbagai bidang pendidikan serta terungkap dalam sistem sosial apapun.Berkembangnya isu pendidikan yang terpisah-pisah menjadikan makin terkotak-kotaknya sistem pendidikan saat ini. Dalam mengantisipasi isu  tersebut, maka diperlukan sebuah pendekatan, dan pendekatan yang sesuai adalah pendekatan transdisiplin, karena produksi ilmu pengetahuan adalah suatu proses sosial yang mengalami diseminasi secara global maupun lokal melalui berbagai bentuk dan tempat, maka di masa yang akan datang akan terjadi rekonfigurasi ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, maka dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan di alam semesta ini, tak cukup civitas akademika dipersiapkan dengan satu disiplin saja berdasarkan kognisinya semata, melainkan diperlukan orientasi transdisipliner melalui interpenetrasi antara rasio, emosi, intuisi dan cipta talent. Ini tidak berarti bahwa satu-satunya disiplin tidak perlu diperdalam secara intensif, melainkan kedalaman intensivitas maupun eksentivitas ilmu tersebut mencari berbagai fungsi keterkaitannya dengan aneka dimensi kehidupan, sehingga terwujud ilmu pengetahuan yang terobos menerobos.
Permasalahan global terutama didalam memecahkan persoalan pendidikan seperti yang dianjurkan oleh UNESCO memerlukan berbagai disiplin ilmu, kita perlu berperan serta secara aktif mencari solusi yang terbaik dalam menghadapi masalah global yang dihadapi saat ini. Perkembangan peradaban dunia yang semakin global saat ini menjadikan rumitnya persoalan sehingga segala persoalan yang ada tersebut tidak mungkin diselesaikan dengan satu disiplin ilmu saja tetapi memerlukan multi disiplin untuk memecahkannya.
Dalam memecahkan masalah pendidikan jika kita hanya menggunakan monodisiplin, kita akan berhadapan dengan berbagai kelemahan yang muncul dimana kita hanya memahami disiplin ilmu itu saja tanpa memahami disiplin ilmu lain yang dapat dimanfaatkan untuk melengkapi disiplin ilmu yang kita pahami. Dunia akademik saat ini ditandai dengan keberadaan disiplin ilmu yang saling terpisah. Integrasi oleh karenanya merupakan kata kunci yang diperlukan untuk meningkatkan pemahaman. Upaya untuk mengatasi masalah-masalah global yang bersifat multisektoral memerlukan pendekatan transdisiplin. Pendekatan transdisipliner sebagai ruang intelektual merupakan wadah dimana isu-isu tersebut dibahas sehingga berbagai permasalahan tersebut dapat dianalisis dan di implementasikan.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka makalah ini akan membahas tentang konsep  transdisiplinari dalam upaya memahami dan memecahkan masalah kompleks dan urgensi pendidikan. Tujuan dari transdisiplinary adalah untuk membangun pandangan yang diperlukan dan mengeksplorasi makna baru yang sinergi. Pendapat dari Julie Thompson Klein yang menyatakan bahwa transdisiplin sebagai pengetahuan praktis yang bersifat reflektif yang mempertimbangkan pluralitas dan kompleksitas kondisi manusia.Konsep transidsiplinari itu sendiri dan implikasi transdisiplin dalam membangun manusia sebagai pewaris kemaslahatan tidak hanya sesama manusia, tapi keberlangsungan bumi dan alam semesta.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka akan dibahas lebih lanjut tentang “Pendekatan transdiciplinari sebagai suatu alternative di dalam memecahkan masalah pendidikan”. Oleh karena itu identifikasi masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaimana peranan Trandisiplinari dalam memecahkan masalah pendidikan di Indonesia?
2.      Faktor-faktor apa yang menunjang pendekatan transdisciplinari dalam memecahkan masalah pendidikan di Indonesia?









BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Transdisiplinari
Dalam proceeding Simposium Internasional UNESCO (1998:5) berjudul: “Transdisciplinarity: Towards Integrative Process and Integrated Knowledge”, dikutip ungkapan Prof. Sommervile yang menyatakan bahwa;
We speak the language of our discipline, which raises two problems: first, we may not understand the languages of the other disciplines; second, more dangerously, we may think that we understand these, but do not, because although the same terms are used in different disciplines, they mean something very different in each”.

Ungkapan tersebut menjelaskan bahwa kita sering berbicara dengan bahasa disiplin kita. Padahal terkadang hanya akan menimbulkan dua masalah. Pertama, kita mungkin tidak memahami bahasa disilpin ilmu yang lain dan kedua, lebih berbahaya lagi, kita mungkin berpkiri bahwa kita memahami masalah tersebut berdasarkan disiplin kita, padahal tidak. Karena meskipun satu istilah yang sama digunakan dalam disiplin yang berbeda, istilah-istilah tersebut memiliki makna yang sangat berbeda sehingga dipahami dengan cara yang berbeda pula. Artinya, setiap maslah adalah kompleks. Tidak bisa dipahami dan dipecahkan dengan dan dari hanya satu sudut pandnag atau disiplin. Itulah gunanya sinergi lintas disiplin (transdiscilinary synergy).
Kalau kita lihat definisi menurut wikipedia, “transdisiplinari dikonotasikan sebagai strategi penelitian lintas disiplin untuk menciptakan suatu pendekatan yang holistik”. Strategi ini digunakan sebagai upaya penelitian yang memfokuskan pada permasalahan lintas dua atau lebih disiplin. Inti dari definisi ini adalah bahwa transdisiplinaritas adalah merupakan suatu strategi penelitian dengan tujuan untuk memahami suatu masalah dan memecahkannya secara holistik dengan melibatkan lebih dari dua disiplin (lintas disiplin). Secara sederhana, “transdisiplinaritas didefinisikan sebagai suatu proses yang dicirkan dengan adanya integrasi upaya dari berbagai disiplin (multi-disciplines) untuk memahami isu atau masalah” (UNESCO, 1998:31). Ini adalah konsep yang paling sederhana tentang transdisiplinaritas. Beberapa pakar dalam Simposium Internasional tentang Transdisciplinarity yang diselenggarakan oleh UNESCO (1998:24) mendefinisikan transdisiplinaritas sebagai berikut:
Transdisiplinari adalah konsep yang terintegrasi dan praktek pengetahuan, untuk menangani isu-isu penting berdasarkan prosedur secara integratif. Sat kita bicara disiplin maka terkait dengan dua masalah yaitu ketidakmengertian kita terhadap bahasa yang digunakan oleh disiplin itu, kemungkinan kedua adalah kita mengerti bahasa yang digunakan disiplin itu meskipun istilah yang digunakan dalam disiplin itu berbeda”.
Perbedaan antara pendekatan interdisipliner dengan transdisipliner adalah dalam proses analisis masalah dalam pendekatan disiplin secara spesifik dan bersama-sama secara paralel. Dalam transdisipliner dengan pendekatan dan metode yang dikembangkan bersama dengan mengintegrasikan dan mengubah bidang pengetahuan dari berbagai perspektif dan memahami masalah secara kompleks dengan mentransformasi pengetahuan itu sendiri. Oleh karena itu dalam upaya menyelesaikan sebuah persoalan global hendaknya diupayakan adanya dialog antar disiplin ilmu pengetahuan.
Implementasi transdisiplin diasumsikan sebagai upaya kooperatif para ilmuwan dalam mendudukkan persoalan-persoalan yang menyangkut kehidupan manusia, sehingga melalui dialog tersebut dapat dicapai analisis praksis berdasarkan metode yang dikembangkan masing-masing disiplin ilmu tersebut karena masing-masing disiplin ilmu memiliki keunggulannya sendiri-sendiri dalam mengatasi problem global. Dialog antardisiplin dimaksud diharapkan dapat menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan yang lebih produktif dibanding jika hanya diselesaikan melalui solusi satu disiplin ilmu.
Contoh studi yang membutuhkan lintas bahasan antar disiplin ilmu ini adalah pembahasan mengenai otak manusia. Masing-masing disiplin ilmu dalam menyikapi masalah ini memiliki sudut pandang dan kajian yang mendukung sudut pandang tersebut secara mandiri yang kesemuanya didasarkan pada kekuatan metode ilmiah masing-masing disiplin. Ternyata benturan antardisiplin pengetahuan telah terjadi dalam memaknai perkembangan dan pertumbuhan otak manusia. Para filsuf, ahli biologi dan psikologi masing-masing memiliki argumentasi ilmiah dalam menterjemahkan masalah ini sampai seorang tokoh yang bernama Changeux melontarkan ide agar para ilmuwan dari masing-masing disiplin ilmu tersebut duduk satu meja untuk membuka dialog bahwa sesungguhnya tidak terdapat benturan ilmu pengetahuan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan global.
B. Peranan transdiciplinari dalam memcahkan masalah pendidikan
Seratus tahun terakhir para ahli pendidikan telah berbicara tentang pendekatan yang disebut sebagai kurikulum yang terintegrasi (integrated curriculum). Dan dalam seratus tahun terakhir ini pula kita mendapati tiga pendekatan penting dalam proses intergasi kurikulum, yaitu multidisciplinary, interdisciplinary, dan yang paling up date adalah transdisciplinary.
Jika multidisciplinary mengasumsikan pembahasan sebuah tema bahasan dengan pendekatan dan sudut pandang bidang studi masing-masing, maka interdisciplinary mencoba mengintegrasikan tema bahasan ke dalam beberapa mata pelajaran. Sedangkan transdisciplinary approach lebih melihat sebuah tema bahasan bukan saja dari perspektif  mata pelajaran, tetapi juga menimbang konteks kekinian dan kebutuhan siswa berdasarkan bakat dan minatnya. Dengan demikian transdisciplinary approach membutuhkan keterampilan dan kreativitas guru yang luar biasa untuk memandang dan mengajarkan sebuah subjek berdasarkan tema, konsep, sekaligus keterampilan yang sesuai dengan kehidupan nyata dan minat siswa dalam mendorong nilai-nilai kebaikan ke arah kebajikan yang pasti dan bertanggungjawab.
“Transdisipliner bukanlah sebuah disiplin ilmu melainkan sebuah pendekatan, sebuah proses untuk memperluas pengetahuan dengan mengintegrasikan dan mentransformasikan perbedaan perspektif, (Massimiliano Lattanzi, 1998)”. Berdasarkan pendapat tersebut, maka tujuan dari pendekatan transdisiplin adalah untuk membangun pandangan-pandangan yang diperlukan untuk mengeksplorasi makna baru dan sebuah sinergi.
Transdisiplin mempunyai manfaat tidak hanya digunakan untuk menghadapi masalah-masalah kompleks semata, tetapi juga untuk melihat adanya problem baru yang muncul akibat dari analisis yang mendalam dari proses interdisiplin.
C. Karakteristik pendekatan Transdiciplinary
Untuk memahami lebih jauh karakteristik  transdisiplinary, sebaiknya terlebih dahulu dibahas beberapa istilah serupa tapi memilik pengertian yang berbeda yaitu disiplinaritas, multidisiplinaritas, interdisiplinaritas dan transdisiplinaritas. Meeth (1978) seperti dikutip oleh Nordahl dan Serafin (2005:2) “mengilustrasikan perbedaan antara intradisiplinaritas, cross-disiplinaritas, multidisiplinaritas, interdisiplinaritas dan transdisiplinaritas dalam hirarki” seperti pada gambar berikut:
Gambar 2.1
ilustrasi perbedaan antara intradisiplinaritas, cross-disiplinaritas, multidisiplinaritas, interdisiplinaritas dan transdisiplinaritas




Tangga paling bawah adalah studi intradisiplin yaitu studi yang hanya terdiri dari satu disiplin. Naik ke tangga kedua, cross-disiplin yaitu suatu studi dimana satu disiplin dipandang dari beberapa sudut pandang disiplin lain. Tangga berikutnya adalah multidisiplin yaitu studi dimana antara satu disiplin dan disiplin lain disejajarkan (juxtaposistion of disciplines), dimana masing-masing disiplin menawarkan sudut pandangnya masing-masing tapi tidak ada upaya untuk memadukannya secara integratif. Satu langkah di atasnya lebih mendekati transdisiplin karena kedua istilah ini sering dipakai secara bergantian. Namun, Meeth (1978) membedakannya bahwa dalam studi interdisiplin telah ada upaya mengintegrasikan berbagai sudut pandang untuk memecahkan masalah tertentu. Bedanya dengan transdisiplin, upaya integrasi berbagai sudut pandang tersebut, didalam transdisiplin terjadi sejak awal ketika suatu masalah didefinisikan untuk dipecahkan. Dalam studi transdisiplin, dimulai dari masalah dan secara bersama-sama menggunakan berbabagai disiplin lain berupaya memecahkan maslah tersebut. Sementara interdisplin dimulai dari disiplin, setelah itu mengembangkan permasalahan seputar disiplin tersebut. Perbedaan ini sangat tipis dan masih jadi perdebatan. Tapi dalam hal ini, penulis cenderung menggunakan konsep yang dikemukakan oleh Meeth tersebut.
D. Ciri-ciri Pendekatan Transdisciplinary
Pendekatan Transdisipliner (transdisciplinary approach) ialah pendekatan dalam pemecahan suatu masalah dengan menggunakan tinjauan ilmu yang relative di kuasai dan relevan dengan masalah yang akan di pecahkan tetapi berada di luar keahlian sebagai hasil pendidikan formal (formal education) dari orang yang memecahkan masalah tersebut. Ilmu yang berada di luar keahlian yang akan di gunakan olehseseorang itu bisa satu atau lebih ilmu.
Namun, biasanya untuk keperluan kedalaman pembahasan orang itu hanya menggunaka Satu ilmu saja di luar keahliannya itu. Ilmu yang relevan di gunakan bisa dalam rumpun Ilmu Ilmu Kealaman (IIK),rumpun Ilmu Ilmu sosial (IIS), atau rumpun Ilmu Ilmu Budaya (IIB) secara alternatif. Penggunaan ilmu atau ilmu ilmu dalam pemecahan suatu masalah melalui pendekata ini bisa secara tersirat atau tersurat, tetapi akan lebih baik dan biasasnya memang tersurat. Hal itu di lakukan unutuk menunjukan pertanggungjawaban keilmuan orang tersebut. Pendekatan ini dahulu kurang di terima karena di anggap melanggar etika keilmuanoleh para ahli ilmu terutama oleh mereka yang ilmunya di gunakan oleh orang yang bukan ahlinya itu. Akan tetapi, dewasa ini hal yang di mungkinkan karena pasatnya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks) lagi pula kompleksnya permasalaha yang pada umumnya sulit di pecahkan oleh hanya sengan pendekatan satu ilmu (pendekatan monodisipliner ) saja. Bahkan saat hal yang di terima baik oleh kalangan ilmuan termasuk oleh ilmuan ahlinya asalkan dadlam pemecahan suatu masalah itumeunjukan kualitas dan kebenaran yang memadai.
Dengan demikian, seseorang dalam meggunakan pendekatan transdisipliner harus pula di penuhi syarat sebagai berikut :
a)      Meggunakan ilmu di luar ilmu keahlian utamanya, biasanya dalam memecahkan suatu masalah menggunakan satu ilmu di luar ilmu keahliannya itu.
b)      Ilmu yang digunakan barada dalam rumpun ilmu yang sama denga ilmu keahlian utamanya.
c)      Memahami dengan baik ilmu yang di gunakan di luar keahlian ilmu utamanya itu.
d)     Menunjukan hasil dengan kualitas dan kebenaran yang memadai.
Ciri pokok atau kata kunci dari pendekatan transdisipliner adalah trans (lintas ilmu dalam rumpun ilmu yang sama) atau yang melintasinya itu.
E. Faktor Penunjang Pendekatan Transdisciplinary
Realitas dunia ini adalah kompleks yang dicirikan dengan adanya ketidak menentuan, multiperspektif dan proses saling keterkaitan antara satu sama lain, maka proses memahami dan memecahkan masalah secara komprehensif melalui pendekatan transdisiplin perlu diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam proses pendidikan dengan tujuan megembangkan dan membangun manusia yang mampu memecahkan maslah apapun secara komprehensif dengan melibatkan berbagai sudut pandang secara transformatif dan integratif. Dalam konteks inilah pendidikan transdisiplin dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting (urgent). Dalam konteks Islam, tujuan pendidikan transdisiplin adalah untuk menyiapkan manusia sebagai khalifah dimuka bumi yang memandang dunia sebagai suatu sistem dimana antara satu sama lain sama-sama mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda tapi saling terkait satu sama lain.
Kemuliaan manusia adalah terkait dengan baik dimensi planet dan dimensi kosmik alam semesta. Kehadiran manusia di bumi adalah salah satu bagian epsiode kecil dari sejarah alam semesta. Kesadaran akan Bumi sebagai rumah kita merupakan suatu keharusan. Setiap manusia adalah bagian dari suatu bangsa, tapi sebagai penduduk bumi merupakan bagian dari lintas bangsa. Pengakuan oleh hukum internasional terhadap kesaling memilikian ini, yaitu antara untuk bangsa dan untuk bumi, adalah salah satu tujuan penelitian transdisipliner. Dengan demikian pendekatan transdisiplin bukan untuk memecahkan masalah untuk satu kepentingan tertentu, tapi untuk kemaslahatan manusia, secara khusus dan bumi serta alam semesta ini secara umum.
Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan manusia-manusia yang memiliki kesadaran transdisiplin tinggi. Itulah sebabnya pendidikan memainkan peranan penting dalam menyiapkan dan membangun generasi penerus yang bertanggung jawab terhadap kemaslahatan manusia, bumi dan alam semesta ini sebagai khalifah sesuai dengan kodrat manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.


BAB III
KESIMPULAN

Transisiplinaritas adalah strategi penelitian bertujuan untuk memahami dan memecahkan masalah secara holistik melibatkan lebih dari dua disiplin (lintas-disiplin).Transdisiplinaritas juga dapat dipandang sebagai proses dan sikap. Hal tersebut didasari Transdisiplinaritas merupakan upaya bagaimana melakukan apa yang ingin kita lakukan terhadap apa yang dapat kita lakukan menggunakan berbagai disiplin ilmu yang ada. Transisiplinaritas bukanlah suatu disiplin baru, tapi pendekatan, proses memahami dan memecahkan masalah kompleks dengan mengintegrasikan dan mentransformasikan berbagai sudt pandang berbeda. Gerakan transdisiplin, seperti tertuang dalam pasal 11, Charter of Transdisciplinarity (First World Congress of Trandisciplinarity,Convent da Arrcibida, Portugal, November 2-6, 1994) menyatakan bahwa:
“An appropriate education should not value abstraction over other forms of knowledge. It should teach contextual, concrete and global approaches, Transdisciplinary education is founded on the reevaluation of the role of intuition, imagination, sensibility and the body in the transmission of knowledge.”
Pendidikan yang tepat adalah pendidikan yang tidak menekankan pada abstarksi bentuk pengetahuan lain. Tapi harus mengajarkan pendekatan kontekstual, konkrit dan global. Pendidikan transdisiplin dibangun atas dasar reevaluasi peran intuisi, imajinasi, kepekaan dan tubuh dalam transmisi pengetahuan. Seaton (2002) seperti dikutip oleh Hasan (2007:4) menyatakan bahwa “pendidikan harus memperluas tujuan tradisional yang hanya menekankan pada penguasaan materi, tapi harus mengembangkan individu yang mampu berhadapan dengan dunia sosial, ekonomi, politik, budaya yang kompleks dan berubah-ubah”. Kompleksitas adalah hukum alam dan kesaling-terkaitan antar komponen yang kompleks tersebut adalah juga hukum alam
Penulis sepakat dengan pendapat Prof. S. Hamid Hasan (Hasan, 2007:8) bahwa “sistem pendidikan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, belum mencerminkan semangata pendidikan transdisiplin”. Artinya adalah Baik Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan dan bahkan Standar Proses masih menekankan pada upaya untuk membuat siswa menguasai materi palajaran. Begitu pula halnya dengan sistem evaluasi, khususnya ujian nasional yang jelas hanya menuntut penguasaan materi. Dengan begitu, belajar dari konsep transdisiplin nampaknya sistem pendidikan nasional perlu dibenahi, baik dari sisi kurikulum, sumber daya tenaga pendidikan kependidikan, sarana dan prasarana, kebijakan dan lain-lain yang selaras dengan semangat memanusiakan manusia sebagai khalifah dimuka bumi. Semangat ini, tidak lain dan tidak bukan adalah semangat transdisiplin.




DAFTAR PUSTAKA
Charter of Transdisciplinarity, the First World Congress of Trandisciplinarity, Convento da Arrábida, Portugal, November 2-6, 1994 http://basarab.nicolescu.perso.sfr.fr/ ciret/english/charten.htm diakses pada tanggal 27 September 2011.
Darbellay, et. al. , “A Vision of Transdiciplinarity: Laying Foundations for a World Knowledge Dialogue”, France: CRC Press, 2008)
J. Marin Apgar, Alejandro Argumendo dan Will Allen, “Buliding Transdisciplinarity for Managing Complexity”, tersedia di  http: // learning forsustainability . net/pubs/ BuildingTransdisciplinarityforManagingComplexity.pdf diakses pada tanggal 29 September 2011.
Manfred A. Max-Neef, “Commentary: Foundation of Transdisciplinarity”, (ELSEVIER Ecological Economic: Chile, 2005), tersedia online di http://science.direct.com. Diakses 27 September 2011
Rolf  Nordahl and Stefania Serafin (2005), “Using problem based learning to support transdisciplinarity in an HCI education” dari http: // vbn. aau. dk/ files/16104806/ HCIed08final.pdf diakses pada tanggal 28 September 2011.
S. Hamid Hasan, “Transdisciplinarity dalam Pendidikan dengan Referensi Khusus pada Kurikulum”, Makalah yang disajikan dalam Seminar tentang Transdisciplinarity, di Univeristas Negeri Jakarta, 29 Oktober 2007.
UNESCO, 1998,”Transdisciplinarity: Stimulating Synergies, Integrating Knowledge”,dari http://unesdoc.unesco.org/images/0011/001146/114694eo. pdf diakses tanggal 27 September 2011.


IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN MEDIATIF

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN MEDIATIF DI LINGKUNGAN IPS SMP
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah: Pendekatan Transdisciplinary Dalam Mengatasi Masalah Sosial
Dosen : Prof. DR. Dadang Supardan, M.PD



 








Oleh :

Ahsan Sofyan
(1006980)
Iwan Wahyudi



PROGRAM PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2011








KATA PENGANTAR


            Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat,taufiq dan hidayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
            Makalah Pendekatan Transdisipliner Dalam Mengatasi Masalah Sosial, Tentang judul : “PENDEKATAN TRANSDICIPLINARI SEBAGAI SUATU ALTERNATIF DI DALAM MEMECAHKAN MASALAH PENDIDIKAN”. ini saya susun untuk memenuhi salah-satu tugas mata kuliah.
            Saya sepenuhnya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini,masih banyak kekurangan serta memerlukan banyak perbaikan. Untuk itu saya mengharafkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan makalah ini.
            Saya selaku penyusun berharap semoga makalah ini ada guna dan manfaatnya bagi para pembaca, terkhusus bagi saya sendiri sebagai penulis.Amin.






                                                                                         Bandung, 29 September 2011


                                                                                                  (Ahsan Sofyan)





BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan aspek penting bagi perkembangan sumber daya manusia, sebab pendidikan merupakan wahana atau salah satu instrumen yang digunakan bukan saja untuk membebaskan  manusia dari keterbelakangan,  melainkan juga dari kebodohan dan kemiskinan. Pendidikan diyakini mampu menanamkan kapasitas baru bagi semua orang untuk mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru sehingga dapat diperoleh manusia produktif. Di sisi lain, pendidikan dipercayai sebagai wahana perluasan akses dan mobilitas sosial dalam masyarakat baik secara horizontal maupun vertikal.
Pada era globalisasi dewasa ini, kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia bergantung pada system pendidikan. Peran pendidikan sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang cerdas, damai, terbuka, dan demokratis. Oleh karena itu, pembaharuan pendidikan harus selalu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan suatu bangsa. Kemajuan Bangsa Indonesia hanya dapat dicapai melalui penataan system pendidikan yang baik. Upaya peningkatan mutu pendidikan diharapkan dapat meningkatkan harkat dan martabat masyarakat Indonesia. 
Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yang efektif agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Salah satunya adalah pembelajaran mediatif. Pembelajaran mediatif adalah suatu pendekatan yang membimbing siswa belajar dalam menilai suatu masalah, menghargai pandangan orang lain serta menggunakan berbagai alternatif dalam menyelesaikan masalah. Memberi bimbingan kepada siswa untuk mempelajari bagaimana mengaplikasikan pengetahuan dalam menyelesaikan masalah. Dalam pendekatan ini, guru adalah sebagai perantara dengan mengangkat  masalah untuk merangsang siswa dalam mengaplikasikan pengetahuannya, selanjutnya siswa dapatmerumuskan serta menggunakan konsep-konsep yang ditemui dalam menyelesaikan masalah. Dalam proses pembelajaran, Guru harus membantu dan membimbing siswa dalam mengemukakan ide-ide mereka. Siswa harus di rangsang dalam  mengemukakan ide-ide logik secara induktif dan deduktif.
 Melalui pendekatan mediatif diharapkan siswa dapat mengenal dengan pasti strategi dalam menggunakan keahliannya tersebut untuk membangun sendiri pengetahuannya melalui kegiatan eksplorasi. Siswa akan mendapatkan kesadaran tentang apa yang telah dilakukan dan apa yang seharusnya dilakukan di masa yang akan datang.  Mediator (guru) menunjukkan bagi siswa dalam mencapai tujuannya sendiri (self regulation) secara aktif dengan membangun dan menghasilkan pengetahuan baru dalam penyelesaian masalah. Pendekatan ini menggabungkan aktivitas-aktivtas pemikiran, bimbingan dan pembicaraan terbuka, bila hal tersebut dilakukan secara continue, tentunya akan mengurangi ketergantungan siswa terhadap guru sehingga dapat menjalankan fungsinya sendiri.
Berdasarkan uraian di atas maka dipandang perlu bagi seorang pendidik untuk memahami tentang pengertian, prinsip, dan perkembangan teori pembelajaran mediatif.


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas maka permasalahan mendasar yang hendak ditelaah dalam makalah ini adalah “Bagaimanakah Implementasi Pembelajaran Mediatif?”.
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini untuk  mengkaji secara teoritis dan sistematis tentang Implementasi Pembelajaran Mediatif.











BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pembelajaran
Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi siswa agar dapat menyesuaikan diri sebaik mungkin terhadap lingkungannya dengan demikiann akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang memungkinkan untuk berfungsi secara kuat dalam kehidupan masyarakat (Hamalik, 2004: 79). Sedangkan menurut Salim (2004:32) “Pendidikan juga diartikan sebagai upaya manusia secara historis turun-temurun, yang merasa dirinya terpanggil untuk mencari kebenaran atau kesempurnaan hidup”.Dalam Undang-Undang Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
Pendidikan dan pembelajaran saling terkait. Pendidikan akan dapat mencapai tujuan jika pembelajaran bermakna dengan pembelajaran yang tepat. Sebaliknya pendidikan tidak akan mencapi tujuan jika pembelajaran tidak bermakna dengan pembelajaran yang tidak tepat. Pembelajaran biasanya didefensikan sebagai perubahan dalam diri seseorang yang disebabkan oleh pengalaman (Driscoll,2000). Perubahan yang disebabkan oleh perkembangan (seperti tumbuh semakin tinggi) bukanlah contoh pembelajaran. Sedangkan menurt Winkel (1991) “pembelajaran adalah seperangkat tindakan yang dirancang untuk mendukung proses belajar siswa, dengan memperhitungkan kejadian-kejadian ekstrim yang berperan terhadap rangkaian kejadian-kejadian intern yang berlangsung dialamu siswa”. Brunner mengemukakan bahwa teori pembelajaran adalah “preskriptif dan teori belajar adalah deskriptif”. Prespektif  karena tujuan teori pembelajaran adalah menetapkan metode pembelajaran yang optimal. Deskriptif karena tujuan utama teori belajar adalah memerikan proses belajar. Teori belajar menaruh perhatian pada hubungan di antara variabel-variabel yang menentukan hasil belajar, atau bagaimana seseorang belajar. Sedangkan teori pembelajaran menaruh perhatian bagaimana seseorang mempengaruhi orang lain agar terjadi hal belajar, atau upaya mengontrol variabel dalam teori belajar agar dapat memudahkan belajar.
Istilah “pembelajaran” mengandung makna yang lebih luas dari pada “mengajar”. Pembelajaran merupakan usaha yang dilaksanakan secara sengaja, terarah dan terencana, dengan tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu sebelum proses dilaksanakan, serta pelaksanaannya terkendali, dengan maksud agar terjadi belajar pada diri seseorang. Berikut adalah perbedaan pengajaran dan pembelajaran pada tabel dibawah ini.
NO
Pengajaran
Pembelajaran
1.       
Dilaksanakan oleh mereka yang berprofesi sebagai pengajar
Dilaksanakan oleh mereka yang dapat membuat orang belajar
2.       
Tujuannya menyampaikan informasi kepada si belajar
Tujuannya agar terjadi belajar pada siswa belakar
3.       
Merupakan salahsatu penerapan strategi pembelajaran
Merupakan cara untuk mengembangkan rencana yang terorganisir untuk keperluan belajar
4.       
Kegiatan belajar berlangsung bila ada guru/pengajar
Kegiatan belajar dapat berlangsung dengan atau tanpa hadirnya guru

Menurut teori Sibernetik (Budiningsih, 2005:80-81), belajar adalah pengolahan informasi. Seolah-olah teori ini mempunyai kesamaan dengan teori kognitif yaitu mementingkan proses belajar daripada hasil belajar. Proses belajar memang penting dalam teori sibernetik namun yang lebih penting lagi adalah sistem informasi yang diproses yang akan dipelajari siswa. Informasi inilah yang akan menentukan proses bagaimana proses belajar akan berlangsung, sangat ditentukan oleh sistem informasi yang dipelajari. Tokoh teori ini Gage dan Berliner, Biehler, Snoman, Baine, dan Tennyson.
Aplikasi teori ini, untuk mendukung proses pembelajaran dalam kegiatan belajar hendaknya menarik perhatian, memberitahukan tujuan pembelajaran kepada siswa, merangsang ingatan pada prasyarat belajar, menyajikan bahan perangsang, memberikan bimbingan belajar, mendorong unjuk kerja, memberikan balikan informatif, menilai unjuk kerja, meningkatkan retensi dan alih belajar.
Selain itu, Hamalik (1995:57) berpendapat bahwa pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran.
1.        Pengertian Pembelajaran Secara Khusus
a.       Menurut teori behavioristik pembelajaran adalah suatu usaha guru membentuk tingkah laku yang  diinginkan dengan menyediakan lingkungan, agar terjadi hubungan dengan subjek belajar serta perlu diberikan  reinforcement (hadiah) untuk meningkatkan motivasi kegiatan belajar.
b.      Menurut teori kognitif pembelajaran adalah cara guru memberikan kesempatan kepada si belajar untuk berpikir agar memahami apa yang dipelajari.
c.       Menurut teori Gestalt, pembelajaran adalah usaha guru memberikan mata pelajaran sedemikian rupa sehingga siswa lebih mudah mengaturnya menjadi suatu Gestalt (pola bermakna). Bantuan guru diperlukan untuk mengaktualkan potensi yang terdapat pada diri siswa.
d. Menurut teori Humanistik, pembelajaran adalah memberikan kebebasan kepada si belajar untuk memilih bahan pelajaran dan cara mempelajarinya sesuai dengan minat dan kemampuannya (Haryanto 2003:8).
2.    Ciri-Ciri Pembelajaran
Ada tiga ciri khas yang terkandung dalam sistem pembelajaran, Hamalik (2003:66) menjelaskan ketiga ciri-ciri tersebut yaitu :
a.    Rencana, ialah penataan ketenagaan, material, dan prosedur yang merupakan unsur-unsur sistem pembelajaran dalam suatu rencana khusus.
b.    Kesalingtergantungan (interdependence), antara unsur-unsur sistem pembelajaran yang serasi dalam suatu keseluruhan. Tiap unsur bersifat esensial dan masing-masing memberikan sumbangannya kepada sistem pembelajaran.
c.    Tujuan, sistem pembelajaran mempunyai tujuan tertentu yang hendak dicapai. Ciri ini menjadi dasar perbedaaan antara sistem yang dibuat oleh manusia dan sistem yang alami (natural). Tujuan utama sistem pembelajaran adalah agar siswa belajar. Tugas seorang perancang sistem ialah mengorganisasi tenaga, material, dan prosedur agar siswa belajar secara efisien dan efektif. 

3.      Pengertian belajar berdasarkan berbagai aliran dan Aplikasinya Terhadap Pembelajaran
Perkembangan teori belajar cukup pesat. Berikut ini adalah pengertian belajar berdasarkan beberapa aliran dan aplikasinya dalam kegiatan pembelajaran.
·         Pertama aliran tingkah laku (Behavioristik), belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Perubahan perilaku dapat berujud sesuatu yang kongkret atau yang non kongkret, berlangsung secara mekanik memerlukan penguatan. Tokoh dalam aliran ini adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Aplikasi teori belajar behavioristik dalam pembelajaran, tergantung dari beberapa hal seperti tujuan pembelajaran, sifat meteri pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
·         Kedua aliran kognitif, belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku, menekankan pada gagasan bahwa pada bagian-bagian suatu situasi berhubungan dengan konteks seluruh situasi tersebut. Pengetahuan dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi yang bersinambungan dengan lingkungan. Tokoh aliran ini Piaget, David Ausebel, Brunner.
·         Aplikasi teori belajar kognitif dalam pembelajaran, guru harus memahami bahwa siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya, anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar belajar menggunakan benda-benda kongkret, keaktifan siswa amat dipentingkan, guru menyususun materi dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana ke kompleks, guru menciptakan pembelajaran yang bermakna, memperhatikan perbedaan individual siswa untuk mencapai keberhasilan siswa.
·         Ketiga aliran humanistik, belajar adalah menekankan pentingnya isi dari proses belajar bersifat eklektik, tujuannya adalah memanusiakan manusia atau mencapai aktualisasi diri. Dalam praktiknya menggunakan teori belajar Ausebel, teori Bloom, Kolb. Aplikasi teori humanistik dalam pembelajaran guru lebih mengarahkan siswa untuk berpikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar.
·         Keempat teori belajar menurut aliran kontemporer, Teori kontemporer yang bermunculan saat ini banyak sekali di antaranya teori belajar sibernetik. Teori belajar sibernetik merupakan teori belajar yang relatif baru, jika dibandingkan dengan teori-teori belajar yang sudah dibahas sebelumnya. Teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan ilmu informasi.
Berdasarkan teori tentang pembelajaran tersebut, maka dalam imlementasinya dibutuhkan pendekatan yang efektif demi mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Salahsatu pendekatan dala pembelajaran adalah pembelajaran mediatif. Pembelajaran mediatif  lebih menekankan pada keaktifan siswa dibandingkan guru dalam pembelajaaran.
B. Pengertian pembelajaran Mediatif
Pembelajaran mediatif adalah sebuah pendekatan yang dirancang oleh tenaga pengajar (guru) dalam mengembangkan pengetahuan siswa yang dikontruksikan dari pengalamannya, proses pembentukan berjalan terus-menerus dan setiap kali terjadi rekonstruksi karena adanya pemahaman yang baru (Siregar E & Nara H,2010:39). Berdasarkan hal tersebut, maka siswa sendiri yang mengartikan apa yang telah diajarkan dengan konstruksi yang telah dibangun sebelumnya. Pembelajaran mediatif itu sendiri dikembangkan berdasarkan teori belajar kontruktivistik. Teori kontruktivistik memahami belajar sebagai proses pembentukan (kontruksi) pengetahuan oleh si pebelajar itu sendiri.
 Dalam memahami tentang aliran kontruktivistik ini, dikemukakan ciri-ciri belajar berbasis konstruktivistik atau pendekatan mediatif. Ciri-ciri tersebut dikemukakan oleh Driver dan Oldham (1994):
1)      Orientasi, yaitu siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajarai suatu topic dengan member kesempatan melakukan observasi.
2)      Elistasi, yaitu siswa mengungkapkan idenya dengan jalan berdiskusi
3)      Reskonstruksi ide, klarivikasi ide dengan ide orang lain, membangun ide baru, mengevaluasi ide baru.
4)      Penggunaan ide baru dalam berbagai situasi , yaitu idea tau pengetahuan yang telah terbentuk perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi.
5)      Review, yaitu dalam mengaplikasikan pengetahuan, gagasan yang ada perlu direvisi dengan menambahkan atau mengubah.

Olehnya itu, pengetahuan bukanlah kemampuan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Menurut pandangan kontruktiistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh siswa. Siswa harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan member makna tentang hal-hal yang telah dipelajari, tetapi yang paling menentukan gejala belajar adalah niat belajar siswa itu sendiri, sementara peran guru dalam pendekatan mediatif berperan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya itu sendiri. Guru tidak mentransferskan pengetahuan yang telah dimilkinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya itu sendiri dan dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang dalam belajar.
Peranan guru pada pendekatan mediatif ini lebih sebagai mediator dan fasilitator bagi siswa,yang meliputi kegiatan-kegiatan berikut ini.
a.         Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab,mengajar atau berceramah bukanlah tugas utama seorang guru.
b. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasannya. Guru perlu menyemangati siswa dan menyediakan pengalaman konflik.
c.    Memonitor,mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa berjalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa dapat diberlakukan untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan.
B. Perbedaan Pembelajaran Tradisional dan Pembelajaran Mediatif
            Secara lebih rinci, adapun perbedaan pembelajaran tradisional dan pembelajaran mediatif adalah sebagai berikut:
NO
Pembelajaran Tradisional
Pembelajaran mediatif
1.       
Kurikulum disajikan dari bagian-bagan menuju keseluruhan dengan menekankan pada keterampilan-keterampilan dasar.
Kurikulum disajikan mulai dari keselluruhan menuju kebagian-bagian, dan lebih mendekatkan pada konsep-konsep lebih luas.
2.       
Pembelajaran sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan
Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa
3.       
Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada buku teks dan buku kerja
Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan
4.       
Siswa dipandang sebagai “kertas kosong” yang dapat digoresi informasi oleh guru, dan guru-guru pada umumnya menggunakan cara didaktik dalam menyampaikan informasi kepada siswa.
Siswa dipandang sebagai pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya.
5.       
Penilaian hasil belajar atau pengetahuan sisiwa dipandang sebagai bagian dari pembelajaran, dan biasanya dilakukan pada akhir pembelajaran dengan cara testing.
Pengukuran proses dan haasil belajar siswa terjalin didalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan siswa, serta melalui tugas-tugas pekerjaan
6.       
Siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group dalam proses pembelajaran
Siswa benyak belajar dan bekerja didalam group



C. Implementasi Pembelajaran Mediatif
Dalam strategi mediatif, pelajar akan belajar melalui interaksi yang dirancang oleh guru yang mengarah kepada konsep membantu siswa dalam mengaplikasikan pengetahuan yang telah didapatkan untuk menyelesaikan masalah, membuat keputusan, mengenal asumsi-asumsi, menilai kebenaran asumsi, serta membuat keputusan dan hipotesis. Maka untuk mendukug pemebelajaran mediatif dibutuhkan metode-metode dalam implementasinya. Guru harus mampu membangkitkan semangat siswa dalam mengemukakan pendapat masing-masing melalui metode;
·         Diskusi terbuka‡
·         Penguasaan konsep‡
·         Pembentukan konsep
·         Inquiry‡
Selain Diskusi terbuka (open-ended) pendekatan utama yang lain dalam startegi mediatif adalah penguasaan konsep, pembentukan konsep dan penemuan konsep. Penggunaan konsep (menurut Bruner) adalah “Proses mendefinisikan konsep melalui cirri-ciri yang ditentukan dalam menggambarkan dengan tepat makna konsep tersebut”.  Dalam pembelajaran penguasaan konsep, guru perlu membimbing siswa melalui empat tahap.
·         Tahap pertama, guru-guru akan menjelaskan tujuan pembelajaran dan metode yang digunakan dalam menentukan konsep.
·         Tahap kedua, Siswa diminta memberikan contoh-contoh yang menggambarkan konsep tersebut dan mengembangkannya. Setelah siswa memberikan definisi dengan benar  barulah guru memaknai pembentukan konsep tersebut.
·         Tahap ketiga, Siswaa diminta membuat analisis tentang proses berfikir yang digunakan dalam penguasaan konsep.
·         Tahap terakhir adalah Tahap membuat penilaian tentang aktivitas yang dijalankan. Hal itu  akan berhasil apabila siswa dapat mengetahui dengan jelas contoh-contoh yang lain yang berkaitan dengan konsep yang diajarkan. Model Taba “pembelajaran berdasarkan konsep yang merupakan pengetahuan yang diajarkan kepada siswa, dan hubungannya dengan pembinaan pengetahuan ”.  Dalam hal ini siswa diajarkan melakukan pengamatan, dan menarik kesimpulan dari hasil pengamatan, memproses data berdasarkan pengamatan yang sama. Siswa kemudian mengkategorikan  dan melabelkan data dan  membentuk sistem konseptual.  Dalam proses ini, siswa dapat mengembangkan kemampuan berfikir mereka.
Metode yang lain dalam pembelajaran mediatif adalah inqury yaitu, guru perlu mengajar cara mengkaji sesuatu masalah dan mengemukakan masalah berdasarkan fakta dan pengamatan.Umumnya, metode  inkuiri adalah berlandaskan pada lima langkah yaitu, mengenal masalah, membuat hipotesis, mengumpul data, menganalisi data dan membuat generelisasi. Dengan menggunakan naluri ingin tahu siswa, strategi mediatif yang menggunakan pendektan inkuiri akan membantu siswa dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi pada masa yang akan datang dengan lebih bijaksana, memilih contoh yang relevan dan meperbaiki proses daya ingat dalam mengintegrasikan bahan ke dalam struktur kognitif mereka serta memudahkan proses  pengingatan kembali. Oleh karena itu, peranan guru dalam pembelajaran mediatif melalui pendekatan inkuiri adalah membina situasi masalah, menyediakan prosedur penemuan masalah, respon kepada penemuan masalah siswa,membantu siswa memberi fokus pemenuan mereka dan memudahkan penyelesaian masalah dikalangan siswa. Siswa diharapkan dapat mengumpulkan imformasi, memproses dan menilai gagasan sendiri sebelum membuat kesimpulan terhadap konsep yang telah dipelajari.
C. Tujuan impelementasi pembelajaran mediatif
Dalam strategi mediatif, peserta didik diajar oleh guru untuk :
a. Mengaplikasikan pengetahuan dalam menyelesaikan masalah.
b. Membuat keputusan.          
c. Mengetahui asumsi.
d. Menilai kebenaran asumsi, keputusan dan hipotesis.
Materi pelajaran yang merangsang dan menantang, kadang siswa merasa bosan dan tidak tertarik dengan materi yang sedang diajarkan. Untuk menghindari gejala yang seperti ini guru harus memilih dan mengorganisir materi sedemikikan rupa sehingga merangsang dan menantang siswa untuk mempelajarinya. Balikan atau penguatan kepada siswa, penguatan atau reinforcement mempunyai efek yang besar jika sering diberikan kepada siswa. Setiap keberhasilan siswa sekecil apapun, hendaknya ditanggapi dengan memberikan penghargaan.
Ditinjau dari aspek-aspek psikologi, setiap siswa memiliki karakteristik yang berbeda. Perbedaan individu baik secara fisik maupun secara psikis akan mempengaruhi cara belajar siswa tersebut, Dalam proses pembelajaran, guru perlu menghindar dalam membuat pertimbangan terhadap ide yang dikemukakan oleh siswa. Guru perlu membantu membimbing  dan menguji ide mereka. Siswa dianjurkan mengemukakan ide logis secara induktif dan deduktif.
Dalam pembelajaran mediatif peserta didik diberi kuasa dalam merancang dan mengontrol proses pembelajaran,peneyelesaian masalah,perencanaan dan penilaian. Hal ini melibatkan proses membantu siswa secara terus menerus dalam mengaplikasikan pengetahuan menyelesaiakan masalah dan konflik.














BAB III
KESIMPULAN

A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas, maka dalam mengimplementasikan pembelajaran mediatif dibutuhkan metode-metode dalam prosesnya. Hal ini bertujuan untuk mendukung proses pembelajaran mediatif. Dengan penerapan metode-metode tersebut, diharapkan dapat menunjang proses pembelajaran mediatif  yang lebih, aktif, kretif, dan mandiri yang dilakukan oleh siswa itu sendiri dengan guru sebagai mediator dan fasilitator.










DAFTAR PUSTAKA
Badan  Standar Nasional Pendidikan. 2006.  Penyusunan KTSP Kabupaten/Kota; Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
Baedhowi. 2007. ‘Kebijakan Pengembangan Kurikulum’. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional KTSP, UNNES, Semarang, 15 Maret 2007.
Darsono, Max. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Semarang : IKIP Semarang Press.
Hamalik, Oemar. 1995. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara.
Mulyasa, E. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan; Sebuah Panduan Praktis. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. 
KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Konstekstual Panduan Bagi Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah. Jakarta : PT Bumi Aksara. 2007.
Siregar E & Nara H. 2010. Teori Belajar dan Pembelajaran. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
Sugandi, Achmad. 2004. Teori Pembelajaran. Semarang : UPT MKK Unnes Press.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2004.  Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2005.  Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta : Balai Pustaka.
W. S. Winkle. 1991. Psikologi Pembelajaran. Jakarta: PT Grasindo



Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons