Sabtu, 07 Mei 2011

MBS sbg inovasi pendidikan

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Inovasi pendidikan menjadi topik yang selalu hangat dibicarakan dari masa ke masa. Isu ini selalu saja muncul tatkala orang membicarakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan. Dalam inovasi pendidikan, secara umum dapat diberikan dua buah model inovasi yang baru yaitu: Pertama "top-down model" yaitu inovasi pendidikan yang diciptakan oleh pihak tertentu sebagai pimpinan/atasan yang diterapkan kepada bawahan. Kedua "bottom-up model" yaitu model inovasi yang bersumber dan hasil ciptaan dari bawah dan dilaksanakan sebagai upaya untuk meningkatkan penyelenggaraan dan mutu pendidikan.
Disamping kedua model yang umum tersebut di atas, ada hal lain yang muncul tatkala membicarakan inovasi pendidikan yaitu: a). kendala-kendala, termasuk resistensi dari pihak pelaksana inovasi seperti guru, siswa, masyarakat dan sebagainya, b). faktor-faktor seperti guru, siswa, kurikulum, fasilitas dan dana c). lingkup sosial masyarakat.
Pemerintah Indonesia pada dasarnya telah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang mana selama ini dirasa masih kurang, diantaranya dengan membuat program-program, antara lain: pendidikan gratis, dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan menganggarkan belanja Negara (RAPBN) sebesar 20% dalam bidang pendidikan. Program tersebut diharapkan mampu meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, akan tetapi karena pengelolaannya masih terpusat dan kaku, program tersebut tidak dapat memberikan dampak positif. Salah satu masalahnya adalah manajemen sekolah yang belum sesuai terhadap kebijakan dari pemerintah pusat atau yang biasa disebut dengan system sentralisasi. Depatemen Pendidikan Nasional dalam modul Pelatihan (2005:15) mengemukakan tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata, yaitu:
(1) Pertama, kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang berorientasi pada keluaran pendidikan (output) terlalu memusatkan pada masukan (input) dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan.(2) Kedua, penyelengaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik. Hal ini menyebabkan tingginya ketergantungan kepada keputusan birokrasi dan seringkali kebijakan pusat terlalu umum dan kurang menyentuh atau kurang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah setempat. Di samping itu segala sesuatu yang terlalu diatur menyebabkan penyelenggara sekolah kehilangan kemandirian, insiatif, dan kreativitas. Hal tersebut menyebabkan usaha dan daya untuk mengembangkan atau meningkatkan mutu layanan dan keluaran pendidikan menjadi kurang termotivasi.(3) Ketiga, peran serta masyarakat terutama orangtua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini hanya terbatas pada dukungan dana. Padahal peran serta mereka sangat penting di dalam proses-proses pendidikan antara lain pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi, dan akuntabilitas. Atas dasar pertimbangan tersebut, perlu dilakukan reorientasi penyelengaraan pendidikan melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) (School Based Management).
Berdasarkan hal tersebut munculah suatu pemikiran atau inovasi dalam pendidikan dan pengelolaan pendidikan yang memberi kebijakan kepada masing masing sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan dari pemerintah, Salah satu manifestasi adanya desentralisasi pendidikan dalam bentuk Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) diyakini dapat meningkatkan efisiensi, relevansi, pemerataan, dan mutu pendidikan serta memenuhi asas keadilan dan demokratisasi. Hal inilah yang disebut dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka akan dibahas lebih lanjut tentang “Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai inovasi pendidikan di Indonesia”. Oleh karena itu identifikasi masalah dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana peranan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam meningkatkan mutu   pendidikan di Indonesia?
2.  Faktor-faktor apa yang menunjang pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)?














BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengetian  Inovasi Pendidikan
Dalam memberikan definisi atau pengertian inovasi pendidikan dengan berlandaskan pada pengertian awal dengan pengertian inovasi sebagai suatu penemuan yang  baru  baik berupa discovery maupun invention. Menurut Donald P. Ely dalam Ibrahim mengemukakan bahwa Discovery adalah suatu penemuan sesuatu yang sebenarnya benda atau hal yang ditemukan itu sudah ada, tetapi belum diketahui orang. Invention adalah suatu penemuan sesuatu yang benar-benar baru artinya hasil kreasi manusia benda atau hal yang ditemukan itu benar-benar sebelumnya belum ada, kemudian diadakan dengan kreasi baru.
Berdasarkan hal tersebut, Ibrahim (1988:40) memberikan pengertian Inovasi adalah suatu ide, barang, kejadian, metode yang dirasakan atau diamati sebagai sesuatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat), baik itu berupa hasil invensi maupun discoveri. Inovasi diadakan untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk memecahkan suatu masalah tertentu.
Pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara  dan perbuatan mendidik. Kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan pengertian Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Selanjutnya  Ibrahim (1988:51), memberikan pengertian bahwa Inovasi Pendidikan adalah inovasi dalam bidang pendidikan untuk memecahkan masalah pendidikan. Jadi inovasi pendidikan adalah suatu ide, barang, metode, yang dirasakan atau diamati sebagai hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) baik berupa hasil invensi atau discoveri yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan atau untuk memecahkan masalah pendidikan.
Kemudian menurut Santoso S. Hamijoyo dalam Cece Wijaya,memberikan pengetian bahwa Inovasi Pendidikan adalah suatu perubahan yang baru dan kualitatif berbeda dari hal (yang ada sebelumnya) serta sengaja diusahakan untuk meningkatkan kemampuan guna mencapai tujuan tertentu dalam pendidikan (1991:7).
Berdasarkan pendapat tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa Inovasi pendidikan adalah segala sesuatu penemuan baik berupa discoveri dan invensi dan dirasakan sebagai sesuatu yang baru untuk meningkatkan kemampuan mencapai tujuan dan memecahkan masalah-masalah pendidikan.
B.  Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
1. Pengertan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
             Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan Masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Menurut Myers dan Stonehill (Nurhholis:2003) Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah suatu strategi untuk memperbaiki mutu pendidikan melalui pengalihan otoritas pengambilan keputusan dari pemerintah pusat kedaerah dan kemasing-masing sekolah, sehingga kepala sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua peserta didik mempunyai kontrol yang lebih besar terhadap proses pendidikan, dan juga mempunyai tanggung jawab unuk mengambil keputusan yang menyangkut pembiayaan, personal dan kurikulum sekolah.
            Suryosubroto (2004: 196) menjelaskan bahwa MBS adalah suatu strategi pengelolaan penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang menekankan pada pengerahan dan pendayagunaan sumber internal sekolah dan lingkungannya secara efektif dan efisien sehingga menghasilkan lulusan yang bermutu. Secara umum Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada Kepala Sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif dan melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua dan masyarakat) dalam rangka peningkatan mutu sekolah dalam kebijakan pendidikan nasional.
2. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
            Adapun tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah sebagai berikut:
a.       Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia.
b.      Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
c.       Meningkatkan tanggung jawab sekolah pada masyarakat, orang tua dan pemerintah tentang mutu sekolah.
d.      Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
Kewenangan yang bertumpu kepada sekolah merupakan inti dari MBS yang dipandang memiliki tingkat efektifitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan sebagai berikut :
a)      Kebijakan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik,orang tua dan guru.
b)      Bertujuan bagaimana memberdayakan sumber daya lokal
c)      Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru dan iklim sekolah.
d)     Adanya perhatian bersama untung mengambil keputusan,memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancangan ulang sekolah, dan oerubahan perencanaan.
3. Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
            Dalam melaksanaan MBS dapat memberikan beberapa manfaat antara lain:
a)      Dengan kondisi setempat, sekolah dapat meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada tugasnya
b)      Keleluasaan dalam mengelola sumber daya dan dalam menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi, mendorong propesionalisme kepala sekolah dalam peranannya sebagai manajer maupun pemimpin sekolah
c)      Guru didorong untuk berinovasi
d)     Rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat meningkat dan menjamin layanan pendidikan sesuai dengan tuntutan masyarakat sekolah dan peserta didik.
4. Ciri-ciri Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
1.      Visi dan misi dirumuskan bersama oleh Kepala Sekolah, Guru, unsur siswa, Alumni, dan Stakeholder;
2.      RPS  (Rencana Pengembangan Sekolah) mengacu pada visi dan misi yang telah dirumuskan;
3.      Penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Sekolah RAPBS) sesuai dengan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) yang disusun bersama oleh kepala sekolah, guru, dan komite sekolah secara transparan;
4.      Akuntabel (tanggung gugat);
5.      Otonomi sekolah terwujud yang ditandai kemandirian dan dinamika sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
6.      Pengambilan keputusan dilaksanakan secara partisipatif dan demokratis;
7.      Terbuka menerima masukan, kritik, dan saran dari pihak manapun demi penyempurnaan program;
8.      Mampu membangun komitmen seluruh warga sekolah untuk mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan;
9.      Pemberdayaan seluruh potensi warga sekolah dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan;
10.  Terciptanya suasana kerja yang kondusif untuk peningkatan kinerja sekolah;
11.  Mampu memberikan rasa bangga kepada semua pihak (warga masyarakat dan sekolah);
12.  Ada transparansi dan akuntabilitas publik didalam melaksanakan seluruh kegiatan.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut, maka suatu sekolah yang melaksanakan MBS  secara ideal akan berimplikasi terhadap peningkatan mutu pendidikan disekolah tersebut
5. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
            Karakteristik MBS bisa diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerjanya  dalam proses pembelajaran, pengelolaan sumber belajar, profesionalisme tenaga kependidikan, serta sistem administrasi secara keseluruhan. Berdasarkan analisis dari berbagai sumber, dapat diidentifikasi beberapa karakteristik dasar MBS sebagai berikut: (a) Pemberian otonomi luas kepada sekolah.(b) Tingginya partisipasi masyarakat dan orang tua. (c) Kepemimpinan yang Demokratis dan Profesional. (d) team-work yang kompak dan transparan.
6. Faktor Pendukung Keberhasilan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Faktor-faktor keberhasilan pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah :


1.      Kepemimpinan dan manajemen sekolah yang baik.
MBS akan berhasil jika ditopang oleh kemampuan professional kepala sekolah dalam memimpin dan mengelola sekolah secara efektif dan efisien, serta mampu menciptakan iklim organisasi yang kondusif untuk proses belajar mengajar.
2.      Kondisi sosial, ekonomi dan apresiasi masyarakat terhadap pendidikan. Faktor eksternal yang akan turut menentukan keberhasilan MBS adalah kondisi tingkat pendidikan orangtua siswa dan masyarakat, kemampuan dalam membiayai pendidikan, serta tingkat apresiasi dalam mendorong anak untuk terus belajar.
3.      Dukungan pemerintah
Faktor ini sangat membantu efektifitas implementasi MBS terutama bagi sekolah atau sekolah yang kemampuan orangtua/ masyarakatnya relatif belum siap memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan pendidikan. alokasi dana pemerintah dan pemberian kewenangan dalam pengelolaan sekolah atau sekolah menjadi penentu keberhasilan.
4.      Profesionalisme
 Faktor ini sangat strategis dalam upaya menentukan mutu dan kinerja sekolah. Tanpa profesionalisme kepala sekolah, guru, dan pengawas, akan sulit dicapai program MBS yang bermutu tinggi serta prestasi siswa.
            Dengan adanya faktor-faktor keberhasilan dalam melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) maka seluruh pihak yang terlibat didalam pelaksanaanya (MBS) harus berkomitmen dan berperan serta dalam menghasilkan suatu pendidikan yang bermutu sesuai dengan tujuan Pendidikan Nasional .



















BAB III
KESIMPULAN
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada intinya adalah memberikan kewenangan terhadap sekolah untuk melakukan pengelolaan dan perbaikan kualitassecara terus menerus. Dapat juga dikatakan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Tujuan diterapkannya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah dalam mewujudkan kemerdekaan pemerintah daerah dalam mengelola pendidikan. Dengan demikian peran pemerintah pusat akan berkurang. Sekolah diberi hak otonom untuk menentukan nasibnya sendiri. Paling tidak ada tiga tujuan dilaksanakannya MBS Peningkatan Efesiensi, Peningkatan Mutu, Peningkatan Pemerataan Pendidikan.
Terdapat empat faktor pendukung keberhasilan pelaksanaan atau inplementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), yaitu :1) Kepemimpinan dan manajemen sekolah yang baik, 2) Kondisi sosial, ekonomi dan apresiasi masyarakat terhadap pendidikan, 3) Dukungan pemerintah, 4) Profesionalisme.
Oleh karena itu, Idealnya pendidikan di Indonesia menerapkan MBS dalam meningkatkan mutu pendidikan di sekolah, dan dibutuhkan peranan dari semua unsure masyarakat sekolah dan pemerintah dalam mewujudkan cita-cita pendidikan nasional.













DAFTAR PUSTAKA

Caldwell, B.J. and J.M. Spinks. (1988), Towards the Self-Managing School. The Self-Managing School, The Falmer Press, London.
Depdiknas, (2003), Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Depdiknas, Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS : 2005)
Ibrahim, (1988), Inovasi Pendidikan , Depdikbud, Dirjen Dikti, Proyek Pengembangan LPTK, Jakarta.
Mulyasa, E. 2002. manajemen berbasis sekolah konsep, strategi dan inplementasi.bandung: remaja rosdakarya
Suryosubroto. (2004), Manajemen Pendidikan di Sekolah, Pt Rineka Cipta, Jakarta.
Sumber : Bahan Ajar Pelatihan MBS/CLCC http://pendidikan.net/download.html

Wijaya, Cece, Djaja Jajuri, A. Tabrani Rusyam. (1991), Upaya Pembaharuan dalam Bidang Pendidikan dan Pengajaran, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.


Referensi :


pentingnya keterampilan sosial pada anak sma

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Banyaknya jumlah anak yang mengalami gangguan perilaku perlu mendapat perhatian yang serius untuk segera diberikan intervensi yang tepat. Penelitian menunjukkan bahwa gangguan perilaku ini berdampak sangat merugikan, tidak hanya bagi anak-anak dan remaja yang mengalaminya, tetapi juga bagi masyarakat. Meskipun anak dengan masalah perilaku tidak selalu menjadi dewasa yang antisosial, namun sebagian besar diantara mereka setelah dewasa cenderung terlibat dengan tindakan kriminal dan mengembangkan perilaku antisosial, serta bermasalah dengan obat-obatan (Lohey dkk. Dalam McCabe, Hough, Wood & Yeh, 2001). Mereka juga cenderung memiliki masalah psikologis, sulit menyesuaikan diri dengan pendidikan dan pekerjaan, memiliki perkawinan yang tidak stabil, resisten terhadap upaya penyembuhan, serta cenderung akan bersikap keras dalam mengasuh anak-anaknya yang pada akhirnya akan membuat anak-anak mereka mengalami gangguan perilaku juga (Kazdin dalam Carr, 2001). Gangguan perilaku merupakan gangguan yang bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi (Cartledge & Milburn, 1995). Faktor-faktor keluarga seperti pola asuh orang tua dan stabilitas keluarga, dan faktor lingkungan seperti kualitas hubungan dengan sebaya.
            Salah satu dampak dari interaksi beberapa faktor di atas yang cukup penting mempengaruhi munculnya gangguan perilaku adalah rendahnya ketrampilan sosial anak, yaitu kemampuan anak mengatur emosi dan perilakunya untuk menjalin interaksi yang efektif dengan orang lain atau lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami gangguan perilaku ini memiliki ketrampilan sosial yang rendah (Cartledge & Milburn, 1995; Coie, Dodge & Kupersmidt dalam Conduct Problems Prevention Research Group (CPPRG), 1999). Mereka cenderung menunjukkan prasangka permusushan, saat berhadapan dengan stimulus sosial yang ambigu mereka sering mengartikannya sebagai tanda permusuhan sehingga menghadapinya dengan tindakan agresif (Crick & Dodge dalam Carr, 2001). Mereka juga kurang mampu mengontrol emosi, sulit memahami perasaan dan keinginan orang lain, dan kurang terampil dalam menyelesaikan masalah-masalh sosial (Lochman, dkk. Dalam CPPRG, 1999; Carr, 2001). Rendahnya ketrampilan sosial ini membuat anak kurang mampu menjalin interaksi secara efektif dengan lingkungannya dan memilih tindakan agresif sebagai strategi coping. Mereka cenderung mengganggap tindakan agresif merupakan cara yang paling tepat utnuk mengatasi permasalahan sosial dan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Akibatnya, mereka sering ditolak oleh orang tua, teman sebaya, dan lingkungan (,Patterson & Bank dalam CPPRG 1999).
Gangguan perilaku. Yaitu gangguan penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial yang disebabkan oleh lemahnya kontrol diri, merupakan kasus yang paling banyak terjadi pada anak-anak. Kazdin (dalam Carr, 2001) menyebutkan bahwa dari seluruh anak-anak yang dirujuk karena mengalami gangguan klinis, sepertiga sampai setengah diantaranya karena mengalami gangguan perilaku. Bahkan pada populasi yang bukan klinis, ditemukan bahwa 50% atau lebih anak usia 4-5 tahun telah menunjukkan beberapa yang tetap (Campbell, Coie & Reid, dalam Bennett, Brown, Lipman, Racine, Boyle & Offord, 1999).
            Fenomena seperti ini umum terjadi di banyak Negara. Penelitian epidemiologi di beberapa Negara seperti di Kanada, Queensland, dan Selandia Baru menunjukkan sekitar 5 – 7 % anak-anak mengalami gangguan perilaku (Grainger, 2003). Di Indonesia sendiri, walau belum ada angka yang pasti, namun dari jumlah anak yang terlibat kejahatan hukum dan kenakalan dapat diprediksikan bahwa cukup banyak anak yang dapat mencatat sebanyak 4.000 tersangka berusia di bawah 16 tahun diajukan ke pengadilan dan yang kasusnya tidak sampai diajukan ke pengadilan lebih banyak lagi. Pada tahun 2000, BAPAS (Balai Permasyarakatan) mencatat bahwa di Lampung saja setiap bulannya terjadi 35 kasus anak yang berkonflik dengan hukum, yang berarti satu tahunnya berjumlah 420 kasus. Kejahatan yang mereka lakukan bermacam-macam, mulai dari pencurian, pemerasan dan pengeroyokan sampai penggunaan obat-obatan, pemerkosaan, dan pembunuhan (Lembaga Advokasi Anak-Damar Lampung, 2002).
            Jumlah ini terus bertambah setiap tahunnya. Pada tahun 2002, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah kenakalan anak sebanyak 193.115 kasus, namun seperti fenomena gunung es, diduga angka kenakalan dan permasalahan sosial lainnya sebenarnya berjumlah 10 kali lipat (Tambunan, 2003).
             Penolakan ini justru semakin berdampak buruk bagi anak. Jaringan sosial dan kualitas hubungan mereka dengan lingkungan menjadi rendah, padahal kedua kondisi ini merupakan media yang paling dibutuhkan anak untuk mengembangkan ketrampilan sosialnya. Anak juga menjadi lebih suka bergaul dengan teman yang memiliki karakteristik sama dengan mereka. Seolah-olah seperti “lingkaran setan”, hal ini akan membuat ketrampilan sosial anak tetap rendah dan gangguan perilaku mereka semakin parah yang pada akhirnya akan membuat mereka semakin dijauhi oleh lingkungan.
1.2 RUMUSAN MASALAH
            Berdasar latar belakang masalah di atas, Maka masalahnya dapat di rumuskan sebagai berikut :
a. Bagaimana Peran Guru serta Orang Tua Siswa untuk menginterpensi perilaku siswa    dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
b. Apakah Perilaku anak SMA yang menyimpang sebagai penyebab dari ketidak terampilan sosial?
c.  Faktor-faktor apa yang mendukung dan menghambat pendidikan             keterampilan sosial anak SMA   
1.3 TUJUAN
            Tujuan dari Pentingnya Keterampilan Sosial pada Anak Sekolah Menengah Akhir :
1. Mengkaji Peran Guru dan Orang Tua dalam mengatasi gangguan perilaku siswa yang menyimpang terhadap lingkungannya.
2. Untuk mengetahui perilaku anak SMA yang menyimpang sebagai penyebab dari ketidak terampilan social.
3.  Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat keterampilan sosial anak SMA





BAB II
PEMBAHASAN
2.1      Pengertian Ketrampilan Sosial
Definisi Keterampilan Sosial
Keterampilan sosial adalah kemampuan individu untuk berkomunikasi efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu, di mana keterampilan ini merupakan perilaku yang dipelajari. Remaja dengan keterampilan sosial akan mampu mengungkapkan perasaan baik positif maupun negatif dalam hubungan interpersonal, tanpa harus melukai orang lain (Hargie, Saunders, & Dickson dalam Gimpel & Merrell, 1998). Keterampilan sosial membawa remaja untuk lebih berani berbicara, mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan yang dihadapi dan sekaligus menemukan penyelesaian yang adaptif, sehingga mereka tidak mencari pelarian ke hal-hal lain yang justru dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Libet dan Lewinsohn (dalam Cartledge dan Milburn, 1995) mengemukakan keterampilan sosial sebagai kemampuan yang kompleks untuk menunjukkan perilaku yang baik dinilai secara positif atau negative oleh lingkungan, dan jika perilaku itu tidak baik akan diberikan punishment oleh lingkungan. Kelly (dalam Gimpel & Merrel, 1998) mendefinisikan keterampilan sosial sebagai perilaku-perilaku yang dipelajari, yang digunakan oleh individu pada situasi-situasi interpersonal dalam lingkungan. Keterampilan sosial, baik secara langsung maupun tidak membantu remaja untuk dapat menyesuaikan diri dengan standar harapan masyarakat dalam norma-norma yang berlaku di sekelilingnya (Matson, dalam Gimpel & Merrell, 1998).
Mu’tadin (2006) mengemukakan bahwa salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja yang berada dalam fase perkembangan masa remaja madya dan remaja akhir adalah memiliki ketrampilan sosial (social skill) untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari. Keterampilanketerampilan sosial tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi atau menerima feedback, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku, dsb. Apabila keterampilan sosial dapat dikuasai oleh remaja pada fase tersebut maka ia akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
Hal ini berarti pula bahwa sang remaja tersebut mampu mengembangkan aspek psikososial dengan maksimal. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa keterampilan social merupakan kemampuan seseorang untuk berani berbicara, mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan yang dihadapi sekaligus menemukan penyelesaian yang adaptif, memiliki tanggung jawab yang cukup tinggi dalam segala hal, penuh pertimbangan sebelum melakukan sesuatu, mampu menolak dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan.
2.2       Ciri-ciri Keterampilan Sosial
Secara lebih spesifik, Elksnin & Elksnin (dalam Adiyanti, 1999) mengidentifikasi keterampilan sosial dengan beberapa ciri, yaitu:
1.      Perilaku interpersonal                                            
Merupakan perilaku yang menyangkut ketrampilan yang dipergunakan selama melakukan interaksi sosial. Perilaku ini disebut juga ketrampilan menjalin persahabatan, misalnya memperkenalkan diri, menawarkan bantuan, dan memberikan atau menerima pujian. Ketrampilan ini kemungkinan berhubungan dengan usia dan jenis kelamin.
2.      Perilaku yang berhubungan dengan diri sendiri
Merupakan ketrampilan mengatur diri sendiri dalam situasi sosial, misalnya ketrampilan menghadapi stress, memahami perasaan orang lain, mengontrol kemarahan dan sejenisnya. Dengan kemampuan ini, anak dapat memperkirakan kejadian-kejadian yang mungkin akan terjadi dan dampak perilakunya pada situasi sosial tertentu.

3.      Perilaku yang berhubungan dengan kesuksesan akademis
Merupakan perilaku atau ketrampilan sosial yang dapat mendukung prestasi belajar di sekolah, misalnya mendengarkan dengan tenang saat guru menerangkan pelajar, mengerjakan pekerjaan sekolah dengan baik, melakukan apa yang diminta oleh guru, dan semua perilaku yang mengikuti aturan kelas.
4.      Peer acceptance
Merupakan perilaku yang berhubungan dengan penerimaan sebaya, misalnya memberi salam, memberi dan meminta informasi, mengajak teman terlibat dalam suatu aktivitas, dan dapat menangkap dengan tepat emosi orang lain.
5.      Ketrampilan komunikasi
Ketrampilan komunikasi merupakan salah satu ketrampilan yang diperlukan untuk menjalin hubungan sosial yang baik. Kemampuan anak dalam berkomunikasi dapat dilihat dalam beberapa bentuk, antara lain menjadi pendengar yang responsif, mempertahankan perhatian dalam pembicaraan dan memberikan umpan balik terhadap kawan bicara.
            Ketrampilan sosial bukanlah kemampuan yang dibawa individu sejak lahir tetapi diperoleh melalui proses belajar, baik belajar dari orang tua sebagai figur yang paling dekat dengan anak maupun belajar dari teman sebaya dan lingkungan masyarakat. Michelson, dkk. (dalam Ramdhani, 1994) menyebutkan bahwa ketrampilan sosial merupakan suatu ketrampilan yang diperoleh individu melalui proses belajar, mengenai cara-cara mengatasi atau melakukan hubungan sosial dengan tepat dan baik. Mirip dengan pendapat Michelson, dkk. tersebut, Kelly, dkk. (dalam Ramdhani, 1994) mengatakan bahwa ketrampilan sosial adalah perilaku-perilaku yang dipelajari, yang digunakan individu dalam situasi-situasi interpersonal untuk memperoleh atau memelihara pengukuh dari lingkungannya.
            Berdasarkan beberapa pengertian yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa ketrampilan sosial merupakan suatu kemampuan mengatur pikiran, emosi dan perilaku untuk memulai dan memelihara hubungan atau interaksi dengan lingkungan sosial secara efektif dengan mempertimbangkan norma dan kepentingan sosial serta tujuan pribadi. Secara umum, ketrampilan sosial ini dapat dilihat dalam beberapa bentuk perilaku: pertama, perilaku yang berhubungan dengan diri sendiri (bersifat intrapersonal) seperti mengontrol emosi, menyelesaikan permasalahan sosial secara tepat, memproses informasi dan memahami perasaan orang lain; kedua, perilaku yang berhubungan dengan orang lain (bersifat interpersonel) seperti memulai interaksi dan komunikasi dengan orang lain; dan ketiga perilaku yang berhubungan dengan akademis, seperti mematuhi peraturan dan melakukan apa yang diminta oleh guru. 

2.3       Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketrampilan Sosial
Sebagai sebuah kemampuan yang diperoleh melalui proses belajar, maka perkembangan ketrampilan sosial anak tergantung pada berbagai faktor, yaitu kondisi anak sendiri serta pengalaman interaksinya dengan lingkungan sebagai sarana dan media pembelajaran. Secara lebih terperinci, faktor-faktor tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 
a.       Kondisi anak
Ada beberapa kondisi anak yang mempengaruhi tingkat ketrampilan sosial anak, antara lain temperamen anak (Kagan & Bates dalam Rubin, Bukowski & Parker, 1998), serta kemampuan sosial kognitif (Robinson & Garber, 1995).
Penelitian memperlihatkan bahwa anak-anak yang memiliki temperamen sulit dan cenderung mudah terluka secara psikis, biasanya akan takut atau malu-malu dalam menghadapi stimulus sosial yang baru, sedangkan anak-anak yang ramah dan terbuka lebih responsif terhadap lingkungan sosial (Kagan & Bates dalam Rubin, Bukowski & Parker, 1998). Selain itu, anak-anak yang memiliki temperamen sulit ini cenderung lebih agresif dan impulsif sehingga sering ditolak oleh teman sebaya (Bates dalam Rubin, Bukowski & Parker, 1998). Kedua kondisi ini menyebabkan kesempatan mereka untuk berinteraksi dengan teman sebaya berkurang, padahal interaksi merupakan media yang penting dalam proses belajar ketrampilan sosial.
Kemampuan mengatur emosi juga mempengaruhi ketrampilan sosial anak. Penelitian yang dilakukan oleh Rubin, Coplan, Fox & Calkins (dalam Rubin, Bukowski & Parker, 1998) membuktikan bahwa pengaturan emosi sangat membantu, baik bagi anak yang mampu bersosialisasi dengan lancar maupun yang tidak. Anak yang mampu bersosialisasi dan mengatur emosi akan memiliki ketrampilan sosial yang baik sehingga kompetensi sosialnya juga tinggi. Anak yang kurang mampu bersosialisasi namun mampu mengatur emosi, maka walau jaringan sosialnya tidak luas tetapi ia tetap mampu bermain secara konstruktif dan berani bereksplorasi saat bermain sendiri. Sedangkan bermain secara konstruktif dan berani bereksplorasi saat bermain sendiri. Sedangkan anak-anak yang mampu bersosialisasi namun kurang dapat mengontrol emosi, cenderung akan berperilaku agresif dan merusak. Adapun anak-anak yang tidak mampu bersosialisasi dan mengontrol emosi, cenderung lebih pencemas dan kurang berani bereksplorasi.
Perkembangan ketrampilan sosial anak juga dipengaruhi oleh kemampuan sosial kognitifnya yaitu ketrampilan memproses semua informasi yang ada dalam proses sosial. Kemampuan ini antara lain kemampuan mengenali isyarat sosial, menginterpretasi isyarat sosial dengan cara yang tepat dan bermakna, mengevaluasi konsekuensi dari beberapa kemungkinan respon serta memilih respon yang akan dilakukan (Dodgem dkk. dalam Robinson & Garber, 1995). Kemampuan sosial kognitif lainnya yang juga penting adalah kemampuan melihat dari perspektif orang lain (perspective taking) dan kemampuan empati (Robinson & Garber, 1995). Semakin baik ketrampilan memproses informasi sosial anak, maka akan semakin mudah baginya untuk membentuk hubungan suportif dengan orang lain, yang berarti akan menambah luas jaringan sosial sebagai media pengembangan ketrampilan sosialnya (Robinson & Garber, 1995). 
b.      Interaksi anak dengan lingkungan
Secara umum, pola interaksi anak dan orang tua serta kualitas hubungan pertemanan dan penerimaan anak dalam kelompok merupakan dua faktor eksternal atau lingkungan yang cukup berpengaruh bagi perkembangan sosial anak (Rubin, Bukowski & Parker, 1998). Anak banyak belajar mengembangkan ketrampilan sosial baik dengan proses modeling (peniruan) terhadap perilaku orang tua dan teman sebaya, ataupun melalui penerimaan penghargaan saat melakukan sesuatu yang tepat dan penerimaan hukuman saat melakukan sesuatu yang tidak pantas menurut orang tua dan teman sebaya.
Ketrampilan sosial anak terutama dipengaruhi oleh proses sosialisasinya dengan orang tua yang mulai terjalin sejak awal kelahiran. Melalui proses sosialisasi ini, orang tua menjamin bahwa anak mereka memiliki standar perilaku, sikap, ketrampilan dan motif-motif yang sedapat mungkin sesuai dengan yang diinginkan atau tepat dengan perannya dalam masyarakat (Hetherington & Parke, 1999). Proses sosialisasi yang berawal sejak bayi ini, menjadi lebih disadari dan sistematis seiring dengan bertambahnya kemampuan anak dalam ketrampilan motorik dan penggunaan bahasa. Pelukan yang diberikan oleh orang tua dan pujian yang mereka terima saat memperoleh kemampuan baru atau larangan saat melakukan sesuatu merupakan beberapa contoh sosialisasi yang secara sistematis mempengaruhi anak. Nilai, kepercayaan, ketrampilan, sikap dan motif yang disosialisasikan oleh rang tua ini kemudian diinternalisasikan oleh anak dan menjadi dasar perilakunya dalam kehidupan (Kuczynski, Marshall & Schell, 1997).
            Sebagai figure yang paling banyak dengan anak, orang tua tidak hanya berperan dalam mengajarkan ketrampilan sosial secara langsung pada anak, tetapi juga berperan dalam pembentukan hubungan dengan lingkungan terutama dengan teman sebaya. Menurut Pettit & Mize (dalam Rubin, Bukowski & Parker, 1998), orang tua mempengaruhi perkembangan perilaku sosial, pola interaksi dan kualitas hubungan anak dengan sebayanya melaui :
  1. memberi anak kesempatan untuk berhubungan dengan teman sebayanya
  2. mengawasi pertemuan anak dengan teman sebayanya (bila dibutuhkan)
  3. mengajarkan anak untuk mampu memenuhi tugas-tugas yang berkaitan dengan hubungan interpersonal dengan teman sebaya; dan
  4. menegakan disiplin terhadap perilaku yang tidak dapat diterima dan maladaptive 
Pemberian kesempatan pada anak untuk menjalin hubungan dengan teman sebaya ini merupakan media bagi anak untuk mencoba dan mengembangkan ketrampilan sosial yang telah didapatnya dari orang tua. Dan dengan adanya pengawasan, orang tua dapat memastikan bahwa anak tetap menginternalisasikan nilai-nilai yang disosialisasikannya.
Seiring anak tumbuh semakin besar, pengaruh teman sebaya sangat menonjol sebagai sumber penguat dan model. Anak memperoleh rentang pengetahuan yang luas dan bermacam respon dengan cara mengobservasi dan melakukan imitasi perilaku teman sebayanya, dan dengan adanya reinforcement atau penguat anak akan mampu menilai respon mana yang dapat diterima oleh teman-temannya (Hetherington & Parke, 1999). Proses imitasi dan pengukuhan ini biasanya diikuti dengan peningkatan interaksi sosial yang pada akhirnya berpengaruh pula pada peningkatan ketrampilan sosial anak.
            Stoscker & Dunn (dalam Rubin, Bukowski & Parker, 1998) menyebutkan bahwa anak yang memiliki hubungan sosial yang positif dan lebih popular memiliki ketrampilan sosial yang lebih baik dibandingkan anak yang kurang mampu bersosialisasi. Begitu pula anak-anak yang jaringan sosialnya lebih luas akan lebih terampil dalam bersosialisasi dibandingkan anak yang jaringan sosialnya terbatas (Robinson & Garber, 1995).


2.4       Arti Pentingnya Pendidikan Keterampilan Sosial
Johnson dan Johnson (1999) mengemukakan 6 hasil penting dari memiliki keterampilan sosial, yaitu :
1. Perkembangan Kepribadian dan Identitas Hasil pertama adalah perkembangan kepribadian dan identitas karena kebanyakan dari identitas masyarakat dibentuk dari hubungannya dengan orang lain. Sebagai hasil dari berinteraksi dengan orang lain, individu mempunyai pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri. Individu yang rendah dalam keterampilan interpersonalnya dapat mengubah hubungan dengan orang lain dan cenderung untuk mengembangkan pandanagn yang tidak akurat dan tidak tepat tentang dirinya.
2. Mengembangkan Kemampuan Kerja, Produktivitas, dan Kesuksesan Karir Keterampilan sosial juga cenderung mengembangkan kemampuan kerja, produktivitas, dan kesuksesan karir, yang merupakan keterampilan umum yang dibutuhkan dalam dunia kerja nyata. Keterampilan yang paling penting, karena dapat digunakan untuk bayaran kerja yang lebih tinggi, mengajak orang lain untuk bekerja sama, memimpin orang lain, mengatasi situasi yang kompleks, dan menolong mengatasi permasalahan orang lain yang berhubungan dengan dunia kerja.
3. Meningkatkan Kualitas Hidup
Meningkatkan kualitas hidup adalah hasil positif lainnya dari keterampilan social karena setiap individu membutuhkan hubungan yang baik, dekat, dan intim dengan individu lainnya.
4. Meningkatkan Kesehatan Fisik
Hubungan yang baik dan saling mendukung akan mempengaruhi kesehatan fisik. Penelitian menunjukkan hubungan yang berkualitas tinggi berhubungan dengan hidup yang panjang dan dapat pulih dengan cepat dari sakit.
5. Meningkatkan Kesehatan Psikologis
Penelitian menunjukkan bahwa kesehatan psikologis yang kuat dipengaruhi oleh hubungan positif dan dukungan dari orang lain. Ketidakmampuan mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang positif dengan orang lain dapat mengarah pada kecemasan, depresi, frustasi, dan kesepian. Telah dibuktikan bahwa kewmampuan membangun hubungan yang positif dengan orang lain dapat mengurangi distress psikologis, yang menciptakan kebebasan, identitas diri, dan harga diri.
6. Kemampuan Mengatasi Stress
Hasil lain yang tidak kalah pentingnya dari memiliki keterampilan sosial adalah kemampuan mengatasi stress. Hubungan yang saling mendukung telah menunjukkan berkurangnya jumlah penderita stress dan mengurangi kecemasan. Hubungan yang baik dapat membantu individu dalam mengatasi stress dengan memberikan perhatian, informasi, dan feedback.
Individu yang rendah dalam keterampilan interpersonalnya dapat mengubah hubungan dengan orang lain dan cenderung untuk mengembangkan pandanagn yang tidak akurat dan tidak tepat tentang dirinya.
2. Mengembangkan Kemampuan Kerja, Produktivitas, dan Kesuksesan Karir Keterampilan sosial juga cenderung mengembangkan kemampuan kerja, produktivitas, dan kesuksesan karir, yang merupakan keterampilan umum yang dibutuhkan dalam dunia kerja nyata. Keterampilan yang paling penting, karena dapat digunakan untuk bayaran kerja yang lebih tinggi, mengajak orang lain untuk bekerja sama, memimpin orang lain, mengatasi situasi yang kompleks, dan menolong mengatasi permasalahan orang lain yang berhubungan dengan dunia kerja.
3. Meningkatkan Kualitas Hidup                                                   
Meningkatkan kualitas hidup adalah hasil positif lainnya dari keterampilan social karena setiap individu membutuhkan hubungan yang baik, dekat, dan intim dengan individu lainnya.
4. Meningkatkan Kesehatan Fisik
Hubungan yang baik dan saling mendukung akan mempengaruhi kesehatan fisik. Penelitian menunjukkan hubungan yang berkualitas tinggi berhubungan dengan hidup yang panjang dan dapat pulih dengan cepat dari sakit.
5. Meningkatkan Kesehatan Psikologis
Penelitian menunjukkan bahwa kesehatan psikologis yang kuat dipengaruhi oleh hubungan positif dan dukungan dari orang lain. Ketidakmampuan mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang positif dengan orang lain dapat mengarah pada kecemasan, depresi, frustasi, dan kesepian. Telah dibuktikan bahwa kewmampuan membangun hubungan yang positif dengan orang lain dapat mengurangi distress psikologis, yang menciptakan kebebasan, identitas diri, dan harga diri.
6. Kemampuan Mengatasi Stress
Hasil lain yang tidak kalah pentingnya dari memiliki keterampilan sosial adalah kemampuan mengatasi stress. Hubungan yang saling mendukung telah menunjukkan berkurangnya jumlah penderita stress dan mengurangi kecemasan. Hubungan yang baik dapat membantu individu dalam mengatasi stress dengan memberikan perhatian, informasi, dan feedback.

















BAB III
KESIMPULAN
Peran Guru dan Orang Tua dalam mengatasi gangguan perilaku siswa yang menyimpang sangat erat hubungannya. Hubungan yang erat antara keluarga dan sekolah itu disebabkan secara hukum mempunyai tanggung jawab bersama terhadap pendidikan anak secara kodrat pendidikan anak memang merupakan tanggung jawab orang tua, tetapi secara hukum pemenintah/negara juga bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Di samping orang tua dan pemerintah masih ada lagi yaitu masyarakat.
            Gangguan perilaku adalah gangguan penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial yang bukan disebabkan karena neurosis, psikosis, retardasi mental, dan gangguan fisik atau kerusakan organik, tetapi lebih karena lemahnya kontrol diri. Perilaku yang diperlihatkan memiliki frekeunsi dan intensi yang lebih tinggi dari perilaku normal serta telah cukup lama dilakukan oleh ketidakpatuhan kepada orang dewasa yang memiliki otoritas, bersikap agresif sampai melakukan tindak kenakalan atau kejahatan.
            Siswa dengan gangguan kepribadian sarat dengan berbagai pengalaman konflik dan ketidakstabilan dalam beberapa aspek dalam kehidupan mereka. Gejala secara umum gangguan kepribadian berdasarkan kriteria dalam setiap kategori yang ada. Pengalaman dan perilaku individu yang menyimpang dari keterampilan sosial. Cara berpikir (kognisi) termasuk perubahan persepsi dan interpretasi terhadap dirinya, orang lain dan waktu. Afeksi (respon emosional terhadap terhadap diri sendiri, labil, intensitas). Fungsi-fungsi interpersonal dan kontrol terhadap impuls













DAFTAR PUSTAKA
Alan Carr. 2001. Abnormal psychology ; Psychology focus. Psychology Press
Conant, J.B. (1950). General Education in a Free Society. Cambridge, Massachusstetts : Harvard University Press.
Depdiknas. (2004). Kurikulum Sosiologi. Jakarta : Balitbang.
Eileen Mavis Hetherington, Ross D. Parke, Virginia O. Locke. 2003 Child psychology; a contemporary viewpoint. McGraw-Hill, Cornell University
Fajar, M. (1998). Visi Pembaharuan Pendidikan. Jakarta : LP3NI.
Gwendolyn Cartledge, JoAnne Fellows Milburn, 1995. Teaching social skills to children and youth: innovative approaches. University of Virginia
Grainger. 2003. Power System Analysis. McGraw-Hill Education (India) Pvt Ltd
Hurlock, Elizabeth B., 1994. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Alih Bahasa: Istiwidayanti dan Soedjarwo. Erlangga. Jakarta.
Kuczynski, Marshall & Schell, 1997. Handbook of dynamics in parent-child relations
SAGE, 2003
McCabe, Hough, Wood & Yeh, 2001. Civic librarianship: renewing the social mission of the public library G - Reference, Information and Interdisciplinary Subjects Series. Scarecrow Press
National Association of School Psychologists., 1998.School psychology review, Volume 27,Masalah 1-2. Universitas Michigan
Rice, F.P. 2001. Human Development: Life Span Approach. Prantice Hall. New Jersey.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23250/2/Chapter%20II.pdf

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons