Tampilkan postingan dengan label agama islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label agama islam. Tampilkan semua postingan

Kamis, 01 September 2011

Memahami dan Menyikapi Perbedaan dan Perselisihan

Memahami dan Menyikapi Perbedaan dan Perselisihan

Definisi .Ikhtilaf memiliki beberapa makna yang saling berdekatan, diantaranya; tidak sepaham atau tidak sama. Berasal dari kata khalaftuhu-mukhalafatan-wa khilaafan. Jadi ikhtilaf itu adalah perbedaan jalan, perbedaan pendapat atau perbedaan manhaj yang ditempuh oleh seseorang atau sekelompok orang dengan yang lainnya.
Macam-Macam Ikhtilaf (Perbedaan)

Ikhtilaf (perbedaan) bisa dibedakan menjadi dua ;
Pertama, ikhtilaful qulub (perbedaan dan perselisihan hati) yang termasuk kategori tafarruq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. Kedua, ikhtilaful ‘uqul wal afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan pemahaman), yang masih bisa dibagi lagi menjadi dua:

Secara umum Syaikh Dr. Ahmad Syuwaiki3 mengklasifikasikan ikhtilaf dalam dua kategori besar. Pertama: ikhtilaf yang terpuji. Ikhtilaf ini terkait dengan masalah-masalah furû’ dalam agama yang dalilnya zhanni seperti yang telah menjadi Ijmak Sahabat, ikhtilaf yang terjadi di antara mereka dan ikhtilaf yang terjadi di antara para ulama salaf. Kedua: ikhtilaf yang tercela. Ikhtilaf terjadi dalam masalah ushuluddin dan pada masalah-masalah yang qath’i dalam masalah-masalah furû’ dalam Islam serta hal-hal yang sudah dijelaskan dengan tegas dalam nash, seperti ‘ikhtilaf’ orang-orang kafir dan perpecahan mereka dalam masalah agama.
Antara Ikhtilaf (Perbedaan) dan Tafarruq (Perpecahan)

Setiap tafarruq (perpecahan) merupakan ikhtilaf (perbedaan), namun tidak setiap ikhtilaf (perbedaan) merupakan tafarruq (perpecahan). Namun setiap ikhtilaf bisa dan berpotensi untuk berubah menjadi tafarruq atau iftiraq antara lain karena:

1. Faktor pengaruh hawa nafsu, yang memunculkan misalnya ta’ashub (fanatisme) yang tercela, sikap kultus individu atau tokoh, sikap mutlak-mutlakan atau menang-menangan dalam berbeda pendapat, dan semacamnya. Dan faktor pelibatan hawa nafsu inilah secara umum yang mengubah perbedaan wacana dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah yang ditolerir menjadi perselisihan hati yang tercela.
2. Salah persepsi (salah mempersepsikan masalah, misalnya salah mempersepsikan masalah furu’ sebagai masalah ushul). Dan ini biasanya terjadi pada sebagian kalangan ummat Islam yang tidak mengakui dan tidak memiliki fiqhul ikhtilaf. Yang mereka miliki hanyalah fiqhut tafarruq wal iftiraq (fiqih perpecahan), dimana bagi mereka setiap perbedaan dan perselisihan merupakan bentuk perpecahan yang tidak mereka tolerir,
3. Tidak menjaga moralitas, akhlaq, adab dan etika dlm berbeda pendapat dan dalam menyikapi para pemilik atau pengikut madzhab dan pendapat lain.

Sebab – Sebab Terjadinya Ikhtilaf

Dapat disimpulkan dan dikelompokkan kedalam empat sebab utama:

1. Perbedaan pendapat tentang valid dan tidaknya suatu teks dalil syar’i tertentu sebagai hujjah (tentu saja ini tertuju kepada teks hadits, yang memang ada yang shahih dan ada yang dha’if, dan tidak tertuju kepada teks ayat Al-Qur’an, karena seluruh ayat Al-Qur’an disepakati valid, shahih dan bahkan mutawatir).
2. Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu. Jadi meskipun suatu dalil telah disepakati keshahihannya, namun potensi perbedaan dan perselisihan tetap saja terbuka lebar. Dan hal itu disebabkan karena adanya perbedaan dan perselisihan para ulama dalam memahami, menafsirkan dan menginterpretasikannya, juga dalam melakukan pemaduan atau pentarjihan antara dalil tersebut dan dalil-dalil lain yang terkait.
3. Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i (dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya) yang memang diperselisihkan di antara para ulama, seperti qiyas, istihsan, mashalih mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’, syar’u man qablana, dan lain-lain.
4. Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan realita kehidupan, situasi, kondisi, tempat, masyarakat, dan semacamnya. Oleh karenanya, di kalangan para ulama dikenal ungkapan bahwa, suatu fatwa tentang hukum syar’i tertentu bisa saja berubah karena berubahnya faktor zaman, tempat dan faktor manusia (masyarakat).

Bagaimana Menyikapi Ikhtilaf ?

1. Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara proporsional.
2. Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap masalah-masalah kecil seperti masalah-masalah khilafiyah
3. Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi ummat.
4. Memadukan dalam mewarisi ikhtilaf para ulama terdahulu dengan sekaligus mewarisi etika dan sikap mereka dalam ber-ikhtilaf. Sehingga dengan begitu kita bisa memiliki sikap yang tawazun (proporsional). Sementara selama ini sikap kebanyakan kaum muslimin dalam masalah-masalah khilafiyah, seringkali lebih dominan timpangnya. Karena biasanya mereka hanya mewarisi materi-materi khilafiyah para imam terdahulu, dan tidak sekaligus mewarisi cara, adab dan etika mereka dalam ber-ikhtilaf, serta dalam menyikapi para mukhalif (kelompok lain yang berbeda madzhab atau pendapat).
5. Mengikuti pendapat (ittiba’) ulama dengan mengetahui dalilnya, atau memilih pendapat yang rajih (kuat) setelah mengkaji dan membandingkan berdasarkan metodologi (manhaj) ilmiah yang diakui.
6. Untuk praktek pribadi, dan dalam masalah-masalah yang bisa bersifat personal individual, maka masing-masing berhak untuk mengikuti dan memgamalkan pendapat atau madzhab yang rajih (yang kuat) menurut pilihannya. Meskipun dalam beberapa hal dan kondisi sangat afdhal pula jika ia memilih sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath) dalam rangka menghindari ikhtilaf (sesuai dengan kaidah ”al-khuruj minal khilaf mustahabb” – keluar dari wilayah khilaf adalah sangat dianjurkan).
7. Menghindari sikap ghuluw (berlebih-lebihan) atau tatharruf (ekstrem), misalnya dengan memiliki sikap mutlak-mutlakan atau menang-menangan dalam masalah-masalah furu’ khilafiyah ijtihadiyah. Karena itu adalah sikap yang tidak logis, tidak islami, tidak syar’i
8. Menjaga agar ikhtilaf (perbedaan) dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah tetap berada di wilayah wacana pemikiran dan wawasan keilmuan, dan tidak masuk ke wilayah hati, sehingga tidak berubah mejadi perselisihan perpecahan (ikhtilafut- tafarruq), yang akan merusak ukhuwah dan melemahkan tsiqoh (rasa kepercayaan) di antara sesama kaum mukminin.

Bagi seorang Muslim mengadopsi satu hukum syariah untuk satu amal adalah suatu keniscayaan.
Islam adalah agama yang sempurna. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan baik individu, masyarakat maupun bernegara. Allah menegaskan dalam firman-Nya:
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya dibandingkan dengan Allah bagi orang-orang yang yakin? (5: 50).
Tentang ayat ini al-Hafidz Asy-Syaukani menegaskan,9 Untuk mereka yang masuk kategori ahlul yaqin, tidak ada yang lebih baik daripada hukum Allah. Namun, tidak demikian bagi orang yang bodoh dan pemuja hawa nafsu. Sebagaimana penjelasan di atas, bahwa hukum syariah yang datang di dalam al-Quran dan as-Sunnah itu, banyak persoalan yang di dalamnya mengandung beberapa makna ditinjau dari sisi bahasa maupun syariah. Karenanya, wajar jika terjadi ikhtilaf di antara kaum Muslim. Namun, ini hanya pada tataran pemikiran atau konsep. Adapun pada tataran implementasi (amal), justru menjadi keharusan dan tidak ada alternatif lain bagi seorang Muslim untuk mengadopsi (tabanni) satu hukum ketika dia harus melakukan suatu aktivitas. Sebab, seorang Muslim wajib terikat dengan hukum Allah dalam seluruh aktivitas yang di lakukan. Hukum Allah atas satu masalah bagi seorang Muslim adalah satu, tidak lebih. Karenanya, setiap Muslim harus menentukan satu hukum atas suatu masalah dan kemudian melaksanakannya. Karena itu, seorang Muslim wajib mengadopsi hukum syariah tertentu ketika melakukan aktivitas, baik ia mujtahid maupun muqallid.
Terkait dengan Khalifah, tabanni atas suatu hukum merupakan hal yang sangat urgen untuk melakukan ri’âyah asy-syu’ûn terhadap masyarakat. Dalil kebolehan Khalifah melakukan tabanni adalan Ijmak Sahabat. Khalifah hendaknya melakukan tabanni atas hukum-hukum tertentu yang sifatnya umum berlaku bagi seluruh kaum Muslim baik terkait dengan urusan pemerintahan, kekuasaan, seperti zakat, pajak, hubungan luar negeri, serta tiap hal yang menyangkut keutuhan negara maupun keutuhan pemerintahan.

Perlunya UKHUWAH DALAM KEMAJEMUKAN

“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu,” (QS al-Baqarah [2]: 147).

Agama Islam adalah satu, namun interpretasi terhadap ajaran Islam itu begitu beragam. Munculnya empat arus utama pemikiran (mazhab) dalam bi¬dang fikih; Maliki, Hambali, Syafi’i, Hanafi, merupakan contoh tak terbantahkan bahwa dalam memahami ajaran Islam kaum Mus¬lim berbeda-beda. Dalam bidang teologi (ilmu kalam), apalagi dalam politik, juga terjadi hal yang serupa.

Dalam menyikapi perbedaan pemikiran, mazhab, kelompok, umat Islam terpecah pada dua titik ekstrem. Pertama, kelompok yang membenarkan semua ragam pemikiran. Kelompok ini mengibaratkan Islam sebagai pelangi. Menurut mereka, tidak seorangpun berhak mengklaim satu kelompok sesat kare¬na tidak ada seorang pun yang memiliki ke¬wenangan untuk menentukan siapa yang sesat atau tidak. Mereka mengatakan bahwa Allah-lah yang berhak menentukan hal itu, sementara manusia tidak.

Selain itu, mereka tidak mengakui adanya kebenaran mutlak. Mereka mengklaim bah¬wa kebenaran mutlak hanya ada di sisi Allah. mereka merujuk firman Allah Swt berikut ini, “Kebenaran itu adalah dari Tuhan¬mu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu,” (QS al-Baqarah [2]: 147).
Karena itu, menurut mereka, di dunia ini tidak ada kebenaran mutlak, semuanya relatif; benar dan salah tergantung dari sudut pandang yang kita gunakan. Benar bagi kelompok A belum tentu benar bagi kelom¬pok B karena disebabkan perbedaan sudut pandang. Pemahaman kelompok ini cende¬rung filosofis.

Kelompok kedua berkebalikan dengan kelompok yang pertama. Kelompok kedua meyakini bahwa kelompoknya sebagai yang paling benar. Guna membenarkan pandangan dan keyakinannya mereka mengutip ayat dan hadits yang sesuai dengan keyakinan mereka. Kelompok kedua ini memandang orang di luar kelompok mereka sebagai kelompok bid’ah, sempalan, bahkan musyrik dan kafir. Pemahaman kelompok kedua ini cenderung simplistis dan menyederhanakan masalah.

Lalu, bagaimana kita mensikapi muncul perbedaan pendapat dan aliran serta kelom¬pok di tubuh umat Islam? Lebih penting lagi, apakah perbedaan pendapat merupakan hal yang terlarang (dalam Islam)? Marilah kita telisik pemikiran intelektual asal Mesir, Muhammad Imarah, dalam bukunya Islam dan Pluralitas: Mensikapi Perbedaan dan Kemaje¬mukan dalam Bingkai Persatuan guna men¬jernih¬kan masalah ini.

Antara Ushul dan Furu’
Menurut Muhammad Imarah, perbedaan bisa menjadi hal yang diperbolehkan (halal) dan bisa juga terlarang (haram). Imarah membangun pondasi pemikirannya pada dua hal, yakni pada masalah prinsip-prinsip Islam (ushul) dan masalah-macalah cabang (furu’).

Berangkat dari hal ini, Imarah berpenda¬pat bahwa perbedaan dalam masalah ushul adalah hal yang terlarang. Menurut Imarah, menyangkut masalah ushul umat Islam hen¬dak-lah menyatukan pemahamannya pada ke¬sepakatan kaum muslim sejak dulu, dari era para sahabat dan tabi’in, sampai sekarang.

Penyimpangan dari The Basic Islamic Mindframe (ushul) tersebut tidak dapat ditole¬ran¬si. Menurut Imarah, penyimpangan yang tidak dapat ditoleransi berkenaan dengan masalah-masalah aqidah, dasar-dasar Ibadah dan dasar-dasar Mu’amalah. Masuk dalam kategori ini, misalnya, mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad Saw.

Ada pun perbedaan pendapat, pemikiran dan aliran pada aspek-aspek cabang-cabang syari’ah maka hal tersebut dibolehkan dan ditolerir oleh Islam, sepanjang masih didasar¬kan pada dalil-dalil yang kuat dan benar, serta metode pengambilan hukumnya (istinbath ad-dalil) juga telah dilakukan secara benar.

Hal-hal ini biasanya berkaitan dengan masalah wasilah (sarana), uslub (metode) dan style/gaya berbagai aliran dalam memahami dalil-dalil yang multi-interpretatif (masalah-masalah ijtihadiyyah), sehingga ada yang menggunakan qiyas (reasoning by analogy), istihsan (preference), mashalih-mursalah (utility), dan lain sebagainya.

Becermin pada Sikap Ali
Saat ini umat Islam terkotak-kotak dalam pelbagai kelompok. Di Indonesia saja, ada NU (Nahdlatul Ulama), Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad, dan kelompok-kelompok lainnya dengan ciri khas masing-masing. Per¬bedaan kelompok ini sejatinya tidak diperten¬t¬angkan, tapi disenergikan dalam mewujud¬kan kemuliaan Islam dan umatnya (izzul Islam wa al-muslimin). Dengan lain kata, plura¬litas kelompok ini hendaknya tidak menjadi tembok penghalang menggapai cita-cita tersebut.

Mufti besar Saudi Arabia pernah ditanya mengenai perbedaan berbagai jamaah di negara-negara kaum muslim. Beliau menjawab, “Keberadaan jamaah-jamaah ini adalah baik bagi kaum muslimin dan agar setiap jamah Islam seperti Jama’ah Tabligh, Ittihad Thalabil Muslimin, Al-Ikhwanul Muslimin, Asy-Syub¬banul Muslimin, Anshar as-Sunnah al-Mu¬ham-madiyyah, al-Jami’ah asy-Syar’iyyah dan lain-lain bekerjasama satu dengan lainnya dalam kebenaran yang mereka sepakati dan agar saling memaklumi akan sisi-sisi perbeda¬an diantara mereka”.

Namun, seringkali perbedaan pemikiran dan pandangan serta kelompok tersebut dijadikan ajang untuk saling memusuhi. Ke¬luar¬lah klaim bahwa kelompok sendiri sebagai kelompok yang paling islami, sesuai dengan al-Qur’an dan as-sunnah. Tidak hanya itu saja, muncul klaim bahwa orang yang diluar kelompok mereka sebagai ahlul bid’ah, bah¬kan musyrik dan kafir.
Padahal yang menjadi titik perbedaannya hanya dalam masalah furu’ (cabang), bukan ushul (akidah). Karena itu, cap ahlul bid’ah, musyrik dan kafir, tidak layak disematkan kepada kelompok tertentu sepanjang akidah mereka masih sejalan dengan akidah yang disepakati oleh para ulama salaf (terdahulu).

Mengenai perbedaan pandangan atau pe¬mi¬kiran dalam masalah furu’ (cabang) ini, sikap Ali bin Abi Thalib ra kepada lawan politiknya patut kita contoh. Meskipun per¬selisihan politik ini sampai melahirkan perang saudara yang berdarah-darah, Ali ra tidak menganggap lawan politiknya sebagai kelom¬pok orang munafik, apalagi kafir.

Suatu ketika Ali ra di tanya pandangan¬nya atau sikapnya terhadap lawan politiknya, apakah mereka yang memeranginya adalah orang kafir. Ali menjawab bahwa mereka, lawan politik Ali ra, adalah orang-orang yang lari dari kekafiran. Ia kemudian ditanya lagi apakah lawan politiknya adalah orang muna¬fik atau tidak. Ali ra menjawab, “Orang munafik adalah orang yang tidak menyebut nama Allah Swt kecuali sedikit, tidak men¬diri¬kan shalat kecuali merasa malas dan tidak berinfak kecuali merasa berat”.

Lalu Ali ra ditanya lagi menganai status hukum lawan politiknya dalam pandangan Islam. Beliau menjawab, “Mereka adalah saudara-saudara kita yang sedang mem¬beron¬tak terhadap kita, maka sebab itulah kita memeranginya”.

Lalu khalifah yang adil ini berkhutbah: “Wahai sekalian manusia! Kita telah ber¬hadapan dengan mereka, Tuhan kita satu, nabi kita satu, dan dakwah kita satu. Kita tidak pernah menganggap keimanan kita ke¬pada Allah Swt lebih baik dari mereka, serta pem¬benaran kita kepada Rasulullah Saw lebih baik dari mereka, dan mereka pun tidak beranggapan lebih baik dari kita. Yang men¬jadi masalah kita adalah satu, yaitu per¬bedan pendapat kita tentang darah Utsman, sedang kita bebas dari hal tersebut”.

Dari kisah ini kita bisa mengambil hikmah bahwa apa pun titik perbedaan kita dengan saudara seiman, selama dalam ma¬salah furu’ (cabang), cap ahlul bid’ah, musy¬rik dan kafir tidak semestinya dilontarkan kepada orang yang berbeda pandangan atau kelompok dengan kita. Setiap kelompok hendaknya menghargai dan memaklumi per¬bedaan yang ada sehingga perbedaan ter¬sebut tidak merusak jalinan ukhuwah. Wallahu a’lamu bis shawab.

Senin, 29 Agustus 2011

ucapan selamat idul fitri kepada seluruh umat islam didunia...

Berikut ini adalah ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri dalam beberapa bahasa di dunia. Siapa tahu anda ingin mengucapkannya kepada teman anda di daerah lain atau di negara lain, yang ikut merayakannya.
Indonesia : Selamat Lebaran, Selamat Idul Fitri
Banjar : Salamat Bahari raya
Jawa : Sugeng Riyadin
Padang : Selamet Idul Fitri
Sunda : Wilujeng boboran siyam
Afghanistan : Kochnay Akhtar
Arab : Aid Mubarok
Bangladesh : Rojar Eid
Belanda : Eigendom Mubarak
Bosnia : Ramazanski Bajram
Bulgaria : Pritezhavani Mubarak
Chech : Vlastnictvi Mubarak
Cina : Guoyou Mubalake
Denmark : Ejet Mubarak
Finladia : Omistama Mubarakiin
Inggris : Happy Eid El Fitr
Israel : Bebe’lanat Mawba’rak
Itali : Proprieta Mubarak
Jepang : Chuuko Mubaraku
Jerman : Besitz Mubarak
Korea : Junggo mubarakeu
Kroasia : Vlasnistvu Mubarak
Kurdishtan : Cejna Remezanê
Malaysia : Salam Aidilfitri
Mesir : Ed Karim atau Eid Sahid
Nigeria : Sallah
Perancis : Fete de l’aid
Persia Iran : Eid-e-Sayed Fitr
Polandia : Wlasnosia Mubarak
Portugis : Mubarak propriedade
Rumania : Mubarak aflate in proprietatea
Rusia : Prinadlezhashchikh Mubarakj
Senegal : Korite
Spanyol : Mubarak, de propiedad
Swedia : Agda Mubarak
Turki : Ramazan Bayrami
Urdu India : Choti Eid
Yunani : Aneekoeen Moeemparak
Selamat hari raya idul fitri 1430, minal aidzin wal faizin maafkan lahir dan batin

Sabtu, 27 Agustus 2011

Idul Fitri Momentum Merajut Perdamaian

Idul Fitri Momentum Merajut Perdamaian

Bagi kaum Muslim, momentum Idul Fitri adalah saat-saat penting untuk bersilaturrahim dan saling memaafkan. Seluruh kesalahan yang pernah dilakukan terhadap sesama selama setahun, seolah ingin dilebur di hari Lebaran. Ucapan minal a’idin wal-faizin pun terdengar di mana-mana Kaum Muslim seolah kembali ke asal kesucian.
Menurut tokoh NU Said Aqil Siradj, memaafkan adalah pekerjaan gampang-gampang susah. Tidak semua orang mau berbesar hati memaafkan kesalahan orang lain. Apalagi jika dia menganggap kesalahan itu terlalu besar sehingga kata maaf dianggap terlalu ringan dan tidak cukup untuk menebus kesalahan itu. “Kata memaafkan sendiri dalam surat Ali Imran Ayat 134 didahului dengan kata menahan amarah. Karena orang yang tidak bersedia memaafkan kesalahan orang lain, biasanya memendam amarah atau menyimpan dendam,” jelasnya.
Lebih jauh Said menyatakan, dalam Al Quran, kata dendam yang terkait gejala kemanusiaan paling sedikit disebutkan dua kali, yaitu dalam surat Al-Hijr Ayat 45-50 dan surat Al-A’raf Ayat 43. Kedua redaksi ayat itu persis sama: “Dan kami lenyapkan segala macam dendam yang ada dalam dada mereka”. Keduanya dirangkai dengan keterangan mengenai keadaan surga. “Kesimpulan ringkas yang diurai petunjuk Al Quran adalah sifat dendam-yang salah satu bentuknya adalah tidak mau memaafkan kesalahan orang lain-bukanlah sifat orang yang beriman. Sebab, Allah sendiri Maha Pemaaf. Allah juga mencirikan orang-orang yang beriman sebagai orang yang apabila marah mau memberi maaf,” tegasnya.
Bagi kalangan tertentu yang menginginkan dakwah secara radikal dan menimbulkan permusuhan, kata Said, maka di hari Idul Fitri, kini adalah saatnya untuk merenungkan kembali sikap dakwah yang lebih arif (bi al-hikmah). Pesan nabi Muhammad, “Jangan sampai perselisihan itu berlanjut lebih dari tiga hari”. “Mudah-mudahan melalui hari Idul Fitri ini kita bisa memetik hikmah untuk diterapkan dalam kehidupan nyata, agar rasa damai dan persaudaraan selalu menyertai kita di mana pun dan kapan pun,” harapnya.
Dosen Mahad Al-Birr Unismuh Makassar Muh Ilham Muchtar menambahkan, Idul Fitri adalah hari raya penuh kegembiraan dan kebahagiaan bagi segenap umat Islam, karena mereka telah memenangkan ‘pertempuran’ yang begitu hebat. Yaitu pertempuran melawan hawa nafsu sendiri melalui ibadah puasa. “Sehingga wajarlah bila seluruh umat Islam di mana saja berada, pasti selalu menyambut hari raya ini dengan antusias,” ujarnya.
Namun demikian, kata Ilham, hendaknya kaum Muslim selalu menyadari bahwa hakikat dari Idul Fitri tidaklah terletak pada momentum perayaan dan keramaiannya saja. Melainkan pada kesadaran bahwa kita semua –insya Allah- telah disucikan oleh Allah SWT dari noda-noda dosa yang selama ini menyelimuti tubuh kita. “Sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Barang siapa berpuasa dan melaksanakan salat pada malamnya (qiyamullail), karena motivasi iman dan penuh pengharapan, maka ia akan bebas dari dosa-dosanya seperti seorang bayi yang keluar dari rahim ibunya” (HR. Ahmad),” jelasnya.
Walau demikian, kata Ilham, kiranya sangat naif, bila kita telah bebas dan bersih dari noda-noda dosa kepada Allah SWT, namun ternyata kita masih punya utang dosa kepada sesama manusia. Mungkin saja kita pernah menyakiti perasaan orang lain, kasar, melakukan kekerasan, atau perbuatan zalim lainnya. “Maka perbuatan seperti ini, tidak diampuni oleh Allah SWT kecuali orang itu telah lebih dahulu memaafkan kesalahan,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Tanfidziah Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi, mengatakan, Lebaran bisa menjadi momentum untuk menghindari kekerasan yang kadang dilakukan sekelompok kecil umat. “Karena kekerasan juga bukan ajaran Islam sebab Islam mengajarkan umatnya untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil-’alamiin),” ujarnya.
Menurut Hasyim, sudah lebih dari 100 tahun bangsa Indonesia yang mayoritas umat Islam hidup dengan damai tanpa kekerasan. Ia menengarai maraknya unjukrasa yang berakhir rusuh maupun kasus-kasus pertikaian antarumat agama di Indonesia bukan karena faktor agama.
Pemicu kekerasan, menurut Hasyim, lebih disebabkan munculnya eksklusivisme dan ketidakadilan yang dirasakan hingga muncul upaya ‘pembelaan’. “Kondisi ini dialami negara-negara di Timur Tengah seperti Palestina, Irak, dan Afghanistan,” tegasnya.

Kecerdasan Spiritual Menentukan Jati Diri

“Bangun Silaturrahim yang Berkualitas”

Setelah sebulan lamanya umat Islam menjalankan ibadah puasa, beberapa hari lagi kaum Muslimin akan merayakan ‘kemenangan’, yakni Hari Raya Idul Fitri. Bagaimana sebaiknya umat Islam memaknai dan menyikapi hari mulia tersebut agar tidak sia-sia dan terkesan simbolik? Apa yang harus dilakukan umat beragama agar momentum lebaran ini dapat menjadi pintu masuk untuk membangun perdamaian dan menjauhkan dari segala tindak kekerasan?
Membahas masalah tersebut, tim At-Tanwir mewawancarai intelektual dan Katib Syuriah PBNU, Prof Dr Said Aqil Siradj. Petikannya:
Hari Raya Idul Fitri setiap tahun kita rayakan. Bagaimana sebaiknya umat Islam memaknai dan menyikapinya?
Pemaknaan yang paling tepat adalah ‘silaturrahim,’ yakni memperkuat tali persaudaraan antar sesama umat Islam, juga umat lainnya. Umat Islam minimal 5 kali menjaga silaturrahim dengan Allah, melalui shalat. Dan melalui shalat pula (shalat berjamaah), minimal 5 kali umat Islam menjaga dan memperkuat tali persaudaraan sesama kaum Muslim. Al-Quran menjelaskan dalam Surat Ar-Ra’d ayat 26, “Orang-orang yang mau menghubungkan tali silaturrahim sesuai perintah Allah, dan takut kepada Allah dilandasi rasa keimanan.” Jadi menyambung tali silaturrahim itu jelas ajarannya.
Persoalannya, silaturrahim yang seperti apa? Apakah hanya sebatas saling bertemu?
Bukan seperti itu maksudnya. Kalau hanya saling bertemu mudah saja dilakukan. Tapi, yang diajarkan oleh Islam adalah silaturrahim yang ada tindaklanjut. Artinya, hubungan yang berkualitas antar sesama Muslim itu hanya bisa dibangun kalau ada tindaklanjut dalam bentuk amal, kreatifitas, dan sejenisnya, yang bermanfaat bagi umat dan bangsa. Dari situ akan terwujud bangunan silaturrahim yang hakiki, kuat, dan tak mudah goyah. Sekarang ini antar negara Islam saja kan tidak kuat hubungannya. Seperti di bidang ekonomi, mereka lebih suka berhubungan dengan Barat. Jadi kerjasama di sini penting.
Apa yang harus dilakukan agar pelajaran dari berpuasa itu berdampak nyata, dan juga manfaat lebaran berdampak pada tindakan riil?
Hemat saya, meningkatkan kesadaran menghayati dan memahami ajaran Islam. Harus diakui, umat Islam kurang familiar dengan ajaran agamanya. Shalat itu minimalnya 5 kali sehari, zakat minimalnya 2.5 persen setahun, puasa minimalnya sekali dalam setahun, haji minimalnya sekali seumur hidup (bagi yang mampu), dan sebagainya. Tapi yang minimal saja kan umat Islam masih banyak yang bolong-bolong, tidak taat menjalankannya. Padahal, semua agama saya yakin berdampak baik bagi kehidupan sosial. Jadi kesadaran terhadap nilai agama yang lemah.
Di bulan suci ini, dan menjelang Idul Fitri, tindak kekerasan terus terjadi, seperti peledakan bom di Poso dan di tempat lain. Apa pendapat Anda?
Ya, kita prihatin dan sayangkan kejadian semacam itu terus berulang, apalagi di bulan suci ini. Karena itu, saya menghimbau agar umat beragama, khususnya umat Islam, jangan sampai terpancing. Sebab, kejadian semacam itu tidak sertamerta terjadi dengan sendirinya, tapi ada rekayasa. Semua itu politis. Karena itu, kuncinya, hukum harus ditegakkan, polisi mesti tegas, dan umat beragama memahami dan mengamalkan ajaran agamanya secara benar. Kalau hukum tidak tegak, aparat kosong kehadirannya, maka dapat memicu munculnya tindakan dan benih-benih radikalisme lainnya. Jangan sampai ini terjadi.

Kecerdasan Spiritual Menentukan Jati Diri

In Islam, psikologi on 14 Oktober 2010 at 6:56 AM
Sudah tertanam anggapan umum masyarakat, anak yang nilai matematikanya kurang bagus dikelompokkan sebagai anak bodoh. Wajar jika sebagian besar orang tua cemas bila anaknya kurang pandai matematika.
Padahal kecerdasan tidak hanya terbatas pada intelektual, dikenal juga kecerdasan emosional (emotional intelligence) dan kecerdasan spiritual (spiritual intelligence).
Jika kecerdasan emosional memang membuat orang lebih mudah mencapai sukses dalam hidup. Tapi, untuk menemukan kebahagiaan dan makna dari kehidupan, diperlukan kecerdasan spiritual.
Kecerdasan spiritual diyakini sebagai kecerdasan yang paling utama dibandingkan dengan berbagai jenis kecerdasan yang lain. Kata spiritual memiliki akar kata spirit yang berarti roh. Kata ini berasal dari bahasa Latin, spiritus, yang berarti napas.
Roh bisa diartikan sebagai energi kehidupan, yang membuat manusia dapat hidup, bernapas dan bergerak. Spiritual berarti pula segala sesuatu di luar fisik, termasuk pikiran, perasaan, dan karakter kita.
Kecerdasan spiritual berarti kemampuan seseorang untuk dapat mengenal dan memahami diri seseorang sepenuhnya sebagai makhluk spiritual maupun sebagai bagian dari alam semesta. Dengan memiliki kecerdasan spiritual berarti bisa memahami sepenuhnya makna dan hakikat kehidupan yang kita jalani dan ke manakah kita akan pergi
Menurut Roberts A. Emmons dalam buku The Psychology of Ultimate Concerns, ada lima karakteristik orang yang cerdasa secara spiritual yaitu kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material, kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak, kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari, kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan masalah dan kemampuan untuk berbuat baik.
“Dua karakteristik yang pertama sering disebut sebagai komponen inti kecerdasan spiritual,” ujar Emmons.
Orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasional atau emosional saja. Dia menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual. Dia merujuk pada warisan spiritual seperti teks-teks Kitab Suci untuk memberikan penafsiran pada situasi yang dihadapinya, untuk melakukan definisi situasi.
Pengamat dan pakar pendidikan, DR. H. Arief Rachman MPd mengemukakan pentingnya mengembangkan potensi anak untuk mendukung kecerdasan majemuk. Menurut Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu, orangtua hendaknya mengenali ragam potensi kecerdasan anak yaitu potensi spiritual, potensi perasaan, potensi akal, potensi sosial, potensi jasmani.
Potensi spiritual terdiri dari kemampuan menghadirkan Tuhan atau keimanan dalam setiap aktivitas, kegemaran berbuat untuk Tuhan, disiplin beribadah, sabar berupaya, dan bersyukur atas pemberian Tuhan kepada kita. Sedangkan potensi perasaan mencakup pengendalian emosi, mengerti perasaan orang lain, senang bekerjasama, menunda kepuasan sesaat dan berkepribadian stabil.
Menurut Psikolog Anak & Remaja Lentera Insan Child Development & Education Center, Hj. Fitriani F. Syahrul, Msi.Psi, perayaan hari raya Idul Fitri sebenarnya sebagai salah satu waktu yang tepat dalam mengasah kecerdasan spiritual.
Sayangnya, masih banyak orangtua yang belum mencontohkan hari raya Idul sebagai ajang untuk membersihkan jiwa sehingga kembali suci. Namun, masih sebatas ritual seperti baju baru atau pemberian angpau pada waktu silaturahmi ke rumah kerabat.
“Sebenarnya bermaaf-maafan itu sebaiknya dilakukan sebelum bulan puasa, kemudian kita menjalankan ibadah puasa sebaik-baiknya. Sehingga memudahkan kita untuk kembali suci diri pada hari Idul Fitri,” ujar ibu dari tiga anak ini.
Selain itu, mengasah kecerdasan spiritual juga dapat dilakukan dengan mengajarkan anak-anak bersyukur atas makanan yang lebih banyak di hari raya Lebaran sebagai berkah atas ketakwaan yang dilakukan selama bulan Ramadhan.
Yang sering dilupakan oleh kaum muslim di Indonesia ialah perayaan dari Hari Raya Kurban atau Idul Adha. Padahal, lanjut Fitri, Idul Adha merupakan salah satu simbol dari penaklukan hawa nafsu manusia dan pasrah kepada perintah Tuhan.
“Hari raya Idul Fitri juga sebaiknya jangan berlebih-lebihan, karena ada ibadah puasa Syawal yang harus dilakukan umat muslim,” pungkas Fitri.

Rabu, 24 Agustus 2011

Kegembiraan Orang yang Berpuasa

Kegembiraan Orang yang Berpuasa

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ رَسُوْلُ الله صلي الله عليه وسلم كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan yaitu kegembiraa ketika dia berbuka dan kegembiraan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.”“[1]

Betapa istimewanya hadits ini. Di dalamnya diterangkan amalan secara umum dan puasa secara khusus. Diuraikan pula tentang keutamaan, keistimewaan, pahala (sekarang atau kemudian hari), hikmah dan tujuan puasa. Inilah salah satu contoh betapa luas karunia dan kebaikan Allah ‘Azza wa Jalla kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.
Allah ‘Azza wa Jalla membalas satu kesalahan dan penyimpangan dengan balasan yang sesuai dengan kesalahan itu. Sedangkan ampunan Allah ‘Azza wa Jalla lebih banyak dari padanya. Adapun kebaikan, paling sedikit, satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipat dan akan semakin bertambah sesuai dengan sebab-sebabnya.
Hadits ini juga menerangkan hikmah pengkhususan, bahwa orang yang berpuasa ketika meninggalkan semua yang disukai oleh hawa nafsunya yang memang diciptakan dengan tabiat (watak, kebiasaan) sangat menyukainya, bahkan cenderung mendahulukannya dari apapun juga, apalagi jika hal itu merupakan kebutuhan pokok namun dia justru mengedepankan kecintaannya kepada Rabb-nya diatas kesenangan tersebut. Oleh sebab itulah Allah ‘Azza wa Jalla mengkhususkan amalan ini untuk diri-Nya dan Dia sendiri yang memberi pahala orang-orang yang berpuasa.
Ditegaskan pula bahwa puasa yang sempurna adalah ketika seseorang meninggalkan dua perkara yaitu,
Pertama, Meninggalkan semua perkara yang yang membatalkan puasa seperti makan, minum, bersetubuh dan semua yang semisalnya (dalam kategori membatalkan puasa secara dzahir).
Kedua, Meninggalkan semua yang menyebabkan berkurangnya pahala amalan itu seperti melakukan rafats (perbuatan keji), berteriak-teriak (bertengkar) dan mengerjakan atau mengucapkan kata-kata yang diharamkan, menjauhi semua bentuk kemasiatan, pertengkaran dan berbantah-bantahan yang menimbulkan permusuhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ
“Puasa itu adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah mengucapkan ucapan kotor, dan jangan pula bertindak bodoh. Jika ada seseorang yang mencelanya atau mengganggunya, hendaklah mengucapkan: sesungguhnya aku sedang berpuasa.“[2]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata فَلَا يَرْفُثْ (maka janganglah berkata kotor), yakni janganlah berbicara dengan kata-kata yang buruk; وَلَا يَصْخَبْ (jangan ribut bertengkar), yaitu dengan kata-kata yang menimbulkan fitnah dan pertengkaran. Sebagaimana diterangkan dalam hadits lain, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta bahkan mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.”[3]
Maka, barangsiapa yang merealisasikan kedua hal itu, yakni meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa dan hal-hal yang dilarang, sempurnalah pahalanya sebagai orang yang berpuasa. Sedangkan yang tidak melaksanakan hal ini, maka janganlah mencela siapapun kecuali dirinya sendiri.
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing orang yang berpuasa jika ada seseorang yang mengajaknya bertengkar atau mencacinya, hendaknya dia mengatakan kepada orang tersebut :إِنِّي صَائِمٌ (saya sedang berpuasa).
Adapun manfaatnya ialah seakan-akan dia ingin mengatakan, “Ketahuilah, bukannya saya tidak mampu menghadapi perbuatanmu, akan tetapi saya sedang berpuasa. Saya menghormati dan menjaga kesempurnaan puasa saya. Inilah yang diperintahkan Allah’Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Ketahuilah, bahwa puasa mengajakku untuk tidak mengimbangi perbuatanmu, tetapi menganjurkan aku agar bersabar. Maka, apa yang aku lakukan jauh lebih baik daripada apa yang kamu kerjakan terhadapku.”
Sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ (untuk orang yang berpuasa ada dua kegembiraan; kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabb-nya). Keduanya adalah pahala yang diberikan Allah ‘Azza wa Jalla yang disegerakan atau ditunda di akhirat.
Kegembiraan pertama, kegembiraannya ketika berbuka, yaitu kegembiraan dengan nikmat yang telah Allah ‘Azza wa Jalla berikan kepadanya dengan menyempurnakan puasanya. Ibadah ini termasuk amal shalih yang paling utama, namun betapa banyak orang yang terhalang dari puasa. Selain itu, ia juga bergembira dengan apa yang kembali dihalalkan Allah untuknya, berupa makanan, minuman dan persetubuhan (jima’),mengingat hal-hal tersebut sebelumnya diharamkan baginya pada saat sedang berpuasa.
Kegembiraan kedua, Kegembiraannya ketika berjumpa dengan Rabb-nya dengan keridhaan dan kemurahanNya. Ia gembira dengan membawa pahala puasanya. Ketika dia mendapatkan pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’âla yang telah disediakan untuknya, ketika dikatakan kepadanya, “Mana orang-orang yang berpuasa, hendaklah dia masuk surga dari pintu Ar-Royyan, yang hanya dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa.”
إِنَّ فِى الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ ، فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ
“Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang bernama Ar-Royyaan. Pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa akan masuk surga melalui pintu tersebut dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Dikatakan kepada mereka,’Di mana orang-orang yang berpuasa?’ Maka orang-orang yang berpuasa pun berdiri dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Jika mereka sudah masuk, pintu tersebut ditutup dan tidak ada lagi seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut.”[4]
Juga dalam ayat yang mulia ini dijelaskan mengenai balasan bagi orang yang berpuasa. Allah Ta’ala berfirman,
كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ
“(Kepada mereka dikatakan): ‘Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.’” (QS. Al Haqqah [69]: 24)
Mujahid dan selainnya mengatakan, “Ayat ini turun pada orang yang berpuasa”. Barangsiapa yang meninggalkan makan, minum, dan syahwatnya karena Allah, maka Allah akan memberi ganti dengan yang makanan dan minuman yang lebih baik.”[5]
Saudariku, apakah kita tidak ingin memasuki pintu surga Ar-Royyaan? Betapa besarnya ganjaran Allah terhadap orang-orang yang berpuasa. Dan betapa pula, hati setiap orang yang berpuasa luruh dalam kegembiraan dan kebahagiaan dengan amalan yang diistimewakan Allah ‘Azza wa Jalla untuk diriNya dan dijanjikan balasannya murni dari karunia dan kebaikanNya. Sesungguhnya, Allah ‘Azza wa Jalla Maha Memiliki karunia yang besar.
Kemudian sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ (sungguh, bau mulut orang yang berpuasa jauh lebih harum di sisi Allah Azza wa Jalla daripada bau misik (minyak wangi)). Meskipun tidak disukai orang, janganlah bersedih duhai orang yang berpuasa, sesungguhnya dia lebih harum disisi Allah ‘Azza wa Jalla daripada bau minyak kesturi (misik). Inilah hasil ibadah dan taqarrub-nya kepada Allah’Azza wa Jalla.
Kegembiraan ketiga, kita juga dapat bergembira karena puasa mampu memberikan syafaat kepada pelakunya pada hari kiamat. Diriwayatkan dari ‘Abdullan bin ‘Amr radhiallaahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اَلصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. يَقُوْلُ الصِّيَامُ: أَيْ رَبِّ، مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِيْ فِيْهِ. وَيَقُوْلُ الْقُرْآنُ: مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِيْ فِيْهِ
“Puasa dan al-Qur’an akan memberi syafa’at kepada seorang hamba pada Hari Kiamat. Puasa berkata, ‘Wahai Rabbku, aku telah menghalanginya dari makan dan syahwatnya di siang hari, maka izinkan aku memberi syafa’at kepadanya.’ Al-Qur`an berkata, ‘Aku telah menghalanginya dari tidur di malam hari, maka izinkan aku memberi syafa’at kepadanya”.[6]
Kegembiraan keempat, kebahagiaan terhadap puasa sebagai kaffarat (pelebur) dosa-dosa. Dosa menyebabkan kecemasan dan ketakutan karena akibatnya yang buruk, manakala disediakan peleburnya, berarti kecemasan tersebut akan teratasi, pelakunya pun tenang dan berbahagia, sama halnya dengan peminum racun yang membahayakan, ketika penawarnya ditemukan, dia akan senang sekali. Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,
فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَوَلَدِهِ وَجَارِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلَاةُ وَالصَّوْمُ وَالصَّدَقَةُ
“Fitnah (kelalaian) seseorang pada keluarga, harta, anak, dan tetangganya dapat dilebur dengan shalat, puasa dan sedekah.”[7]
Melihat kebaikan-kebaikan puasa di atas, penulis teringat Firman Allah Ta’ala ,
وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 184).
Akhirul kalam…
والله الموفّق إلى أقوم الطريق
وصلى الله وسلم على نبينا وعلى آله وأصحابه ومن اتّبعهم بإحسان الى يوم الدين
Penulis: Ummu Izzah Yuhilda
Muraja’ah: Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal
[1] HR. Muslim no. 1151
[2] HR. Al Bukhari 1904
[3]HR. Al-Bukhariy no.190
[4] HR. Bukhari no. 1896 dan Muslim no. 1152
[5] Latho’if Ma’arif, hal. 281.
[6] HR. Ahmad no. 6626 dari Ibnu Umar. Al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawa`id, 3/181 berkata, “Rawi-rawinya adalah rawi hadits shahih”
[7]HR. al-Bukhari dari Hudzaifah bin al-Yaman. Mukhtashar Shahih al-Bukhari, no. 310
Maraji’ :
Qur’anul Karim dan Terjemahannya

Sabtu, 30 Juli 2011

perbedaan itu indah apabila di pahami

Memahami Perbedaan
Selasa, 19 April 2011 21:47 WIB
Oleh Hepi Andi Bastoni, MA

Jika dalam hal fiqih yang kadang menghajatkan kepastian hukum, para ulama saling menghormati, apalagi masalah perbedaan pandangan politik. Di bidang yang tak selalu ‘hitam putih’ ini, umat Islam mestinya jauh lebih bisa saling menghargai.

Rabu, pekan terakhir Dzulqa’dah 5 Hijriyah. Matahari mulai meninggi. Rasulullah saw dan para sahabatnya berjalan pelan meninggalkan Khandaq. Perang Ahzab baru saja usai. Umat Islam keluar sebagai pemenang. Pasukan Sekutu yang jumlahnya mencapai 10 ribu prajurit terpaksa meninggalkan Madinah dengan tangan hampa setelah mengepung kota itu hampir sebulan. Mereka gagal menghabisi kaum Muslimin. Bahkan, dalam pertempuran yang lebih mengedepankan perang urat syaraf ini, korban Pasukan Ahzab lebih banyak, mencapai 10 orang. Sedangkan syahid dari umat Islam hanya enam orang.
 

Menjelang Zuhur, Rasulullah saw berjalan menuju rumah Ummu Salamah. Setelah membersihkan diri dan beristirahat sejenak lalu bersiap melaksanakan shalat Zuhur, saat itulah malaikat Jibril mendatangi beliau. “Apakah engkau akan meletakkan senjata, wahai Rasulullah?”

Rasulullah saw mengiyakan pertanyaan itu. Malaikat Jibril berkata lagi, “Para malaikat belum meletakkan senjata. Mereka sekarang sedang mengejar kaum tersebut (maksudnya Yahudi Bani Quraizhah yang telah berkhianat dengan membantu Pasukan Ahzab untuk menyerang kaum Muslimin, red). Hai Muhammad, sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu berangkat ke Bani Quraizhah. Aku juga akan pergi untuk mengguncang mereka.”

Usai melaksanakan shalat Zuhur bersama para sahabatnya, Rasulullah saw segera memberikan komando untuk mendatangi Bani Quraizhah. “Barangsiapa mendengar dan taat, jangan sekali-kali mengerjakan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah,” ujar beliau menutup instruksinya.
 

Rasulullah saw menunjuk Ali bin Abi Thalib di depan barisan dengan membawa bendera perang. Informasi yang diberikan malaikat Jibril benar. Ketika Ali bin Abi Thalib dan pasukannya hampir mendekati benteng-benteng Bani Quraizhah, mereka mendengar orang-orang Yahudi itu mencaci maki Rasulullah saw.
 

Rasulullah saw berangkat menyusul bersama kaum Anshar dan Muhajirin. Mereka sempat beristirahat di salah satu sumur Bani Quraizhah di samping kebun mereka bernama Sumur Anna. Sebagian kaum Muslimin terus bergegas menuju pemukiman Bani Quraizhah. Ketika waktu Ashar tiba, mereka masih dalam perjalanan.
 

Saat itu terjadi perbedaan pendapat. Mereka ingat dengan pesan Nabi saw yang berbunyi, “Barangsiapa mendengar dan taat, jangan sekali-kali mengerjakan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah.”

Sebagian dari pasukan kaum Muslimin tidak melaksanakan shalat Ashar. Bahkan sebagian riwayat mengatakan, ada di antara mereka yang melaksanakan shalat Ashar setelah Isya di perkampungan Bani Quraizhah.

Namun sebagian lain melaksanakan shalat Ashar di perjalanan. Ungkapan Nabi yang mengatakan, “Jangan sekali-kali mengerjakan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah,” dipahami agar mereka bersegera menuju perkampungan Bani Quraizhah sehingga bisa melaksanakan shalat Ashar di tempat itu.
 

Ketika hal itu diketahui oleh Rasulullah saw, beliau tidak mempermasalahkannya. Beliau mendiamkan dan tidak menyalahkan salah satu dari dua pendapat itu. Demikianlah, pasukan Islam bergerak menuju Bani Quraizhah hingga disusul oleh pasukan Nabi saw. Mereka berjumlah tiga ribu orang dan membawa 30 ekor kuda. Pasukan kaum Muslimin tiba di perkampungan Bani Quraizhah dan mengepung tempat itu.
 

Pengepungan berlangsung hingga 25 hari. Yahudi Bani Quraizhah dilanda ketakutan luar biasa. Mereka tak memberikan perlawanan sama sekali. Pimpinan mereka, Ka’ab bin Asad sempat memberikan pilihan kepada teman-temannya dengan tiga opsi: masuk Islam, membunuhi anak-anak dan wanita mereka sendiri lalu menghunus pedang menyerang kaum Muslimin, atau melanggar kedamaian hari Sabtu dengan cara menyerbu umat Islam secara tiba-tiba.
 

Dari tiga hal itu tak ada yang dipilih Bani Quraizhah. Mereka dilanda ketakutan yang mencekam dan akhirnya bersepakat untuk menyerahkan diri sambil menanti keputusan Nabi saw.
 

Untuk memberikan keputusan atas para pengkhianat ini, Nabi saw menyerahkannya kepada Sa’ad bin Muadz yang merupakan sekutu Bani Quraizhah. Kala itu sahabat Nabi saw ini sedang sakit akibat luka-luka pada Perang Ahzab. Saat akan memberikan keputusan, beberapa orang sempat menyarankan agar berbuat baik kepada orang-orang Yahudi tersebut. Tapi hal itu tak menghalangi Sa’ad untuk menjalankan hukum Allah dengan tegas. Maka, dengan suara lantang Sa’ad memutuskan, “Tentang Bani Quraizhah, aku putuskan bahwa laki-laki dari mereka harus dibunuh, kekayaan mereka dibagi-bagi, dan anak-anak serta wanita-wanita ditawan.”

“Sungguh engkau telah memutuskan perkara dengan hukum Allah dari atas tujuh langit,” ujar Nabi saw mengomentari keputusan Sa’ad.

Demikianlah, para pengkhianat itu dijatuhi hukuman mati. Hampir sembilan ratus orang dipenggal kepalanya dan dimasukkan ke dalam parit yang sudah disiapkan sebelumnya.

Banyak sisi yang bisa kita ambil sebagai hikmah di balik Perang Bani Quraizhah ini. Selain ketegasan Nabi saw dan para sahabatnya saat menghadapi orang-orang Yahudi, kita juga belajar kebijaksanaan Rasulullah saw. Pertama, kebijakan beliau dalam memberikan keputusan atas orang-orang Yahudi. Beliau tidak memutuskan sendiri, tapi meminta sahabatnya Sa’ad bin Muadz, sebagai orang yang dianggap cukup dekat dengan Bani Quraizhah.
 

Kedua—dan sisi ini yang sering dilupakan, kebijaksanaan Nabi dalam menyikapi perbedaan para sahabatnya saat memahami instruksi beliau. Dalam hal ini contohnya ungkapan beliau yang menyatakan agar para sahabatnya tidak shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah.

Meski nash hadits itu dianggap sangat jelas bagi sebagian para sahabat, tapi tetap saja membuka peluang perbedaan pendapat. Sebagian memahami teks ungkapan beliau itu apa adanya, yakni agar mereka shalat Ashar di Bani Quraizhah. Namun sebagian lain justru memahami ‘spirit’ ucapan beliau yang menghendaki agar mereka berjalan lebih cepat supaya tiba di Bani Quraizhah sebelum waktu Ashar lewat.

Menyikapi dua perbedaan itu, Nabi saw tak menyalahkan mereka. Beliau menghormati perbedaaan itu. Hal tersebut memberikan isyarat bahwa dalam memahami teks, baik al-Qur’an maupun Hadits, peluang perbedaan pendapat itu memang terbuka.
 

Pada peristiwa lain kita bisa lihat toleransi Nabi saw menyikapi perbedaan pendapat. Dalam Fiqih Sunnah-nya (Jilid I/89) pada bab Hal-hal yang Membatalkan Tayamum, Sayyid Sabiq menceritakan ulang hadits dari Abu Said al-Khudri. Diriwayatkan, suatu ketika dua laki-laki melakukan perjalanan. Ketika waktu shalat tiba, keduanya tak mendapatkan air. Maka, mereka pun bertayamum. Tak lama kemudian, keduanya mendapatkan air—setelah shalat. Lalu, salah seorang di antara keduanya mengulang shalat dengan berwudhu. Sementara temannya tidak mengulangi lagi shalatnya.

Ketika bertemu Nabi saw, keduanya memaparkan perbedaan pendapat itu. Kepada yang tidak mengulang shalatnya, Nabi saw bersabda, “Engkau telah menepati sunnah dan shalatmu sah.“ Adapun kepada laki-laki yang berwudhu dan mengulang shalatnya, Nabi saw bersabda, “Anda mendapatkan dua pahala.“ (HR Abu Daud dan Nasai).
 

Nabi saw membenarkan dua pendapat yang berbeda. Nah, kalau perbedaan pendapat itu bisa terjadi ketika Nabi saw masih hidup, apalagi setelah beliau wafat. Peluang itu pasti akan terbuka lebar. Sikap umat Islam dalam menghadapi perbedaan pendapat ini mesti arif dan bijak selagi masih dalam koridor yang dibenarkan. Dalam konteks kisah di atas, kedua belah pihak tetap melaksanakan shalat, sebagian di tengah perjalanan, sebagian lagi di perkampungan Bani Quraizhah.

 Pilihan hukum dalam hal furu’iyah (cabang) tak harus selalu sunnah atau bid’ah, tapi bisa jadi rajih (kuat) dan marjuh (yang dikuatkan). Mengamalkan yang marjuh bisa menjadi pilihan jika membawa kemaslahatan. Ini bukan plin-plan, tapi cerminan sikap bijak dan cerdas.
 

Jika dalam hal fiqih yang kadang menghajatkan kepastian hukum, para ulama saling menghormati, apalagi masalah perbedaan pandangan politik. Di bidang yang tak selalu ‘hitam putih’ ini, umat Islam semestinya jauh lebih bisa saling menghargai. Ijitihad politik yang senantiasa dinamis sesuai konteks zaman dan waktu, pasti akan membuka peluang perbedaan yang begitu terbuka. Perbedaan tempat dan kondisi kerap tak bisa men-general-kan keputusan.
 

Untuk itu, umat Islam dituntut agar saling menghormati pendapat, khususnya dalam berpolitik.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons