This is featured post 1 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.

This is featured post 2 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.

This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 27 Maret 2014
sosial kebangsaan
4 PILAR KEBANGSAAN atau 3 PILAR KEBANGSAAN
Opini tentang 4 Pilar Kebangsaan Indonesia
Berbicara tentang Pancasila mungkin dianggap sudah begitu klasik dan membosankan bagi sebagian besar kalangan masyarakat Indonesia. Sejak runtuhnya kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru oleh gerakan reformasi yang memuncak di pertengahan Mei 1998 lalu, Pancasila memang nyaris dilupakan dan secara sadar mulai dikubur dalam-dalam dari ingatan kita sendiri. Termasuk pada peringatan kelahirannya yang ke-68 tahun ini, pun terasa begitu biasa-biasa saja, seakan tidak ada urgensinya sama sekali untuk dirayakan atau sekedar direfleksikan dan menjadi perhatian bersama.
Bila dicermati, kini muncul pula permasalahan baru tentang pengukuhan Pancasila sebagai falsafah dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Maret 2013 lalu, ketua MPR RI Taufiq Kiemas mewakili lembaga negara yang dipimpin, memperoleh gelar kehormatan doctor honoris causa (H.C) dari Universitas Trisakti atas jasanya telah melahirkan gagasan sosialisasi empat pilar kebangsaan Indonesia, yakni :
1. Pancasila,
2. Bhineka Tunggal Ika,
3. Undang Undang Dasar (UUD) 1945, dan
4. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Gagasan yang gencar disosialisasikan sejak 3 tahunan lalu oleh lembaga MPR RI tersebut dinilai sangat efektif guna menanamkan kembali nilai-nilai luhur yang perlu dijadikan acuan dan pedoman bagi setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut almarhum Pak Taufi Kemas, Empat Pilar Bangsa harus dijabarkan dan menjiwai semua peraturan perundangan, institusi pendidikan, pertahanan serta semua sendi kehidupan bernegara.
Namun belakangan ini, gagasan 4 Pilar Kebangsaan ini digugat oleh sejumlah kalangan yang tidak setuju penempatan Pancasila sebagai Pilar Kebangsaan. Menurut mereka, Pancasila adalah pondasi dasar, bukan salah satu pilar dalam kehidupan kebangsaan. Selain itu, penggunaan kata Empat Pilar tidak tepat dan rentan penyimpangan anggaran APBN melalui kewenangan MPR dan pelanggaran hukum.
Menyikapi sejumlah permasalahan itu, sudah selayaknya 4 Pilar Kebangsaan dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, Empat Pilar Kebangsaan itu harus dilihat sebagai pemahaman dan upaya pemimpin untuk meyakinkan masyarakat bahwa ada prinsip-prinsip yang harus dipegang teguh dalam menjalani kehidupan berbangsa dan negara.
Bangsa kita sedang terkoyak, dari luar kita dijadikan sasaran penghisapan oleh kepentingan asing, sementara di dalam, kita masih terpuruk dengan benang kusut budaya korupsi anggaran negara, kerusuhan sosial dan konflik horizontal, lemahnya taraf hidup masyarakat, minimnya akses pendidikan dan kesehatan, juga belitan persoalan lainnya. Pancasila sebagai gagasan pencerah semestinya dapatlah kembali menginsprasi jiwa kita secara utuh sebagai Bangsa merdeka yang punya kemampuan untuk mewujudkan cita-cita nasional tentang Bangsa Indonesia yang berdaulat, mandiri, berkepriadian, adil dan makmur.
Upaya memperkokoh pilar-pilar negara haruslah didukung aktif seluruh komponen bangsa terutama keteladanan dari para penyelenggara negara dengan memahami dan melaksanakan nilai-nilai luhur bangsa yang terangkum dalam 4 Pilar dalam segala aspek. Kita berharap para pimpinan MPR RI bisa meneruskan gagasan 4 Pilar Kebangsaan yang sudah dijalankan oleh Pak Taufiq
KONTROVERSI tentang Pancasila yang diposisikan sebagai salah satu pilar kebangsaan berujung pada uji materi UU Parpol dalam sidang Mahkamah Konstitusi, Senin 17 Februari. Uji materi UU Parpol itu dimohonkan oleh Masyarakat Pengawal
Pancasila Jogja, Solo dan Semarang (Joglosemar). Penyebutan Pancasila sebagai pilar pada Pasal 34 ayat (3) huruf b Undang-Undang No 2 Tahun 2011 itu menggelisahkan banyak kalangan, terutama para akademisi. Argumen yang dibangun untuk mempertahankannya dengan mengatakan keberadaan pilar kebangsaan tidak mereduksi kedudukan Pancasila sebagai
dasar/ideologi negara. Jadi sama sekali tidak menyamakan kedudukan Pancasila dengan pilar-pilar lain (KR, 18/2). Pernyataan ini justru membingungkan masyarakat. Bagaimana mungkin, pilar-pilar bangunan berbangsa dan bernegara itu berbeda-beda kapasitasnya. Seyogianya dengan lapang dada, lembaga yang berwenang meninjau kembali pasal itu.
Pancasila adalah suatu fundamen, di atasnya dibangun Negara Indonesia yang berdaulat. Sebagai sebuah bangunan, butuh fundamen yang kokoh dan di atasnya dipancangkan pilar-pilar sebagai tulang punggung untuk menyangga kerangka atap bangunan, sehingga pilar-pilar itu harus memiliki bentuk dan kekuatan sama. Pilar utama bangunan rumah Joglo tradisi Jawa
berjumlah empat dan dinamakan saka guru. Rumah Jawa ini sarat nilai-nilai filosofis, yang membentuk struktur kosmologi. Maka struktur dan filosofi ini dapat dimanfaatkan sebagai inspirasi analogi pada bangunan kosmologi politik Negara Indonesia.
Oleh karena itu, Pancasila sebagai dasar dan sekaligus sebagai ideologi negara tentunya tidak dibenarkan berkedudukan sebagai pilar. Jelas, bahwa fundamen bangunan itu bukan dan berbeda dengan pilar. Pancasila adalah dasar dan ideologi negara, sementara UUD 1945 adalah dimensi normatifnya, dan NKRI adalah kesatuan geo-politik dan 'Bhinneka Tuggal Ika'
semboyan kesatuan berbangsa dari keanekaan. Ketiga pilar terakhir ini memiliki kapasitas dan kekuatan sama, sementara Pancasila melebihi ketiganya.
Sebagai dasar negara Pancasila adalah meja statis yang mempersatukan Bangsa Indonesia, sementara sebagai ideologi bangsa, Pancasila menjadi tuntunan dinamis, yang memandu Bangsa Indonesia menuju cita-cita sejahtera, adil dan makmur di masa depan. Panduan itu kemudian diurai menjadi '4 Pilar' yang secara utuh harus terdiri empat tiang pancang. Ketika
Pancasila tidak dibenarkan berkedudukan sebagai pilar, muncullah permasalahan yang kelihatannya dilematis, karena hanya menyisakan '3 Pilar'. Lantas, nilai etika normatif apa dalam budaya Indonesia yang berskala nasional dan layak diangkat untuk melengkapi '4 Pilar' itu.
Sebagai pemecahan, sebaiknya lembaga yang berwenang menugasi para akademisi dan pakar lainnya agar menggali nilai-nilai etika normatif yang berlaku dan mengakar dalam budaya dan masyarakat di Indonesia. Salah satunya yang dapat ditawarkan dalam tulisan ini adalah nilai 'gotong-royong'. Diharapkan nilai ini layak dan sepadan mendampingi UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Bahkan pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri tahun 2001-2004, nilai gotong-royong diangkat sebagai nama kabinet. Dalam kedudukan ini, filosofi gotong-royong diserap maknanya sebagai semangat kerja sama sinergitas. Sementara gotong-royong dalam kedudukannya sebagai salah satu pilar adalah tataran praksis, yang merupakan etika
normatif yang menjadi tuntunan warga Negara Indonesia dalam bertindak.
Dari studi-studi yang dilakukan, gotong-royong dalam berbagai jenis kegiatan dan istilahistilah lokalnya, merupakan realitas objektif yang masih berlaku dan mengakar dalam budaya- budaya dan masyarakat Indonesia. Jenis kegiatannya yang beragam mewarnai aktivitas kehidupan masyarakat, dan justru mampu menjadi pemersatu kelompok-kelompok kelas sosial dan agama. Masalah kemasyarakatan yang mereka hadapi diselesaikan dengan kerja bersama, saling membantu.
Sistem gotong-royong sesungguhnya bukan kegiatan keguyuban komunitas kedesaan dan perkampungan kota semata, melainkan juga berupa kerja sama sinergitas antara unit-unit berbeda yang memiliki kepentingan sama, seperti 'Pela-Gandong' di Maluku, atau 'Desa Manca-Pat' di Jawa klasik. Maka nilai gotongroyong dapat dimaknai secara lebih luas yang meliputi kerja bersama keguyuban yang merupakan ciri khas kehidupan komunitas pedesaan dan perkampungan perkotaan dan kerja sama sinergitas patembayan antara lembaga-lembaga berbeda-beda pada urusan target pembangunan yang sama.
(Ahsan Sofyan,Pemerhati Sosial tinggal di Tarakan)
diadaptasi dari kompasiana...repost
Kamis, 20 Maret 2014
PIPS
lTEORI TEORI SOSIAL
Pendahuluan
Ilmu social dinamakan demikian, karena ilmu tersebut mengambil masyarakat atau kehiduapan bersama sebagai objek yang dipelajari. Ilmu ilmu social belum memiliki kaidah dan dalil yang tetap dimana oleh bagian yang terbesar masyarakat, oleh karena itu ilmu social belum lama berkembang, sadangkan yang menjadi objeknya masyarakat terus berubah. Sifat masyarakat terus berubah-ubah, hingga belum dapat diselidiki dianalisis secara tuntas hubungan antara unsure-unsur dalam kehidupan masyarakat yang lebih mendalam. Lain halnya dengan ilmu pengetahuan alam yang telah lama berkembang, sehingga telah memiliki kaidah dan dalil yang teratur dan diterima oleh masyarakat, dikarenakan objeknya bukan manusia. Ilmu social yang masih muda usianya, baru sampai pada tahap analisis dinamika artinya baru dalam datara tentang analisis dataran masyarakat manusia yang bergerak. (Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar).
Ditengah kehidupan masyarakat, banyak sumber pengetahuan yang bersifat taken for granted, sumber tanpa perlu diolah lagi tetapi diyakini akan membantu memahami realitas kehidupan ini. Masyarakat dapat langsung begitu saja memakai pengetahuan taken for granted tersebut sebagai sebuah pegangan yang diyakini benar atau berguna untuk meemmahami dunia dimana ia hidup. Jenis pengetahuan tanpa diolah lagi tentu saja banyak dan tersebar, mulai dari system keyakinan, tradisi agama, pandangan hidup ideology, paradigma dan juga teori, dan termasuk didalamnya teori social. Dalam masyarakat intelektual, terutama dalam tradisi positivisme lazim untuk mengambil sumber pengetahuan taken forr granted tersebut dari ranah paradigma dan teori. Kendati demikian, teori sebenarnnya bukan hanya untuk kalangan intelektual atau kalangan expert, mesti tidak sedikit yang berpandaangan hanya kalangan intelektual atau akademisi saja yang membaca realitas social tidak dengan telanjang, melainkan dengan kacamata teori tertentu. Memanga telah menjadi tradisi dikalangan intelektual dalam membaca realitas social dengan menggunakan kacamata atau teori tertentu. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung)
Dalam beberapa hal, teori ilmiah berbeda dengan asumsi-asumsi yang telah ada dalam kehidupan sehari-hari dan secara tidak sadar telah dimiliki orang. Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi suatu teori yang merupakan bagaian dari kegaitan ilmiah. Dalam memamasuki era pelahiran ini merupakan kajian dari teori yang eksplisit, sehingga menjadi objektif, kritis, dan lebih abastrak dari pada yang dilakasanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam proses pemebentukan teori tidak pernah muncul dari awal, tidak mungkin bagi ahli teori social untuk menghilangkan pengaruh-pengaruh pengalaman social pribadinya, tau pengaruh dari pengalaman ini cara pandang dunia social. Proses pembentukan teori berlandaskan pada images fundamenatal tertentu mengenai kenyataan social. Gambaran tersebut dapat melingkupi asumsi filosofis, dasar mengenai sifat manusia dan masyarakat, atau sekurang-kurangnya pandangan yang mengatakan bahwa keterturan tertentu akan dapat diramalkan dalam dunia social. Teori ilmiah lebih menggunakan metodologi dan bersifat empiris. (Doyle Paul Jonshon, Teori Sosiologi Klasik dan Modern)
Pengklasifikasian dalam ilmu social terdapat tiga perfektif besar yang berkembang selama ini, yakni perfektif structural fungsional, structural konflik serta konstruksionisme. Ketiga aliran tersebut masing-masing mengkritik dengan mematahkan proposisi, konsep maupun teori yang ditawarkan satu sama lain. Namun kritik tersebut tidak dapat menggoyahkan hegemoni mereka masing-masing dan ketiganya masih memiliki pengikut yang setia. Ketiga teori social tersebut, merupakan upaya dalam memahami realitas kehidupan. Dengan teori social diharapkan orang dapat menghimpunddan memaknai informasi secara sistematik bukan sja untuk menyumbang pengembangan teori, tetapi ebih penting lagi untuk memecahkan persolan dan untuk tujuan keberhasilan dalam mengarungi pergumulan kehidupan. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung)
Micheal Root dalam philosophy of social science, membedakan jenis ilmu social, yakni ilmu social yang bercorak liberal dan ilmu social bercorak perfeksionis. Ilmu social liberal dikarenakan ia tidak berusaha mempromosikan suatu cita-cita social, nilai keajikan tertentu. Akar dari gagasan liberal ialah liberalisme dalam politik. Peneliti dalam ilmu ini bersifat neutralisme, tetapi tidak pernah terjadi dalam ilmu social. Lain halnya dengan ilmu social yang bercorak perfeksionis berusaha mencari wahana dari cita-cita mengenai kebajikan, jadi dalam ilmi ini bersifat partisipan. Ilmu social ini bersifat tidak bebas nilai, menghargai objek-objek ubjek yang diteliti dan bahkan menjadikannya sebagai subjek. Data yang baik dalam pandangan cita-cita liberal merupakan yang bebas dari muatan nilai, moral dan kebajikan objek penelitiannya, tetapi hal ini tidak akan pernah terjadi walaupun dalam penelitiannya bekerja keras. Contoh dari ilmu osial perfeksiois marxisme dan feminisme. Marxisme mencita-citakan masyarakat tanpa kelas, sedangkan feminisme masyarakat tanpa eksploitasi seksual. Keduanya memiliki persamaan anti eksploitasi dan dominasi. Selanjutnya Root mengusulka agar dalam cita-cita ilmu social liberal diganti dengan ilmu social perfeksionis yang communitarian, yakni ilmui sosial yang memperhatikan nilai-nilai pada sebuah objek penelitian, komunitas. Ilmu social communitarian adalah ilmu social jenis partisipatory reseach, bukan ilmu osial empiris analitis dan bukan juga ilmu social terapan. (Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid)
Paradigma Ilmu Sosial
Paradigma dapat didefinisikan bermacam-macam sesuai dengan sudut pandang masing-masing orang. Ada yang menyatakan paradigma merupakan citra yang fundamental dari pokok permasalahan suatu ilmu. Paradigma menggariskan apa yang seharusnya dipelajari, pernyataan-pernyataan yang seharusnya dikemukan dan kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperolehnya. Paradigma diibaratkan sebuah jendela tempat orang mengamati dunia luar, tempat orang bertolak menjelajahi dunia dengan wawasannya (world view). (Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Social). George Ritzer mendefisikan tentang paradigma gambaran fundamental mengenai subjek ilmu pengetahuan. Ia memberikan batasan apa yang harus dikaji, pertanyaan yang harus diajukan, bagaimana harus dijawab, dan aturan-aturan yang harus diikuti dalam memahami jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan unit consensus yang amat luas dalam ilmu pengetahuan dan dipakai untuk memalakukan pemilihan masyarakat ilmu pengetahuan (sub-masyarakat) yang satu dengan masyarakat pengetahuan yang lain. Dengan paradigma menjadikan suatu pengetahuan akan mendapatkan informasi teori yang dapat mengkoordinasikan pengetahuan dan memberikannya makna. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung)
Sebagai suatu konsep paradigma pertama kali dikenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya the structure of scientific revolution, kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs melalui bukuya socilology of sociology 1970. Tujuan utama dalam bukunya Kuhn; ia menentang asumsi yang berlaku secara umum dikalangan ilmuan mengenai perkembangan ilmu pengetahuan. Kalangan ilmuan pada umumnya berdiri bahwa perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan terjadi secara komulatif. Kuhn menilai pandangan demikian merupakan mitos yang harus dihilangkan. Sedangkan tesisnya bahwa perkembangan ilmu pengetahuan bukan terjadi secara komulatif tetapi secara revolusi. Perubahan yang utama dan penting dalam ilmu pengetahuan terjadi akibat dari revolusi, bukan karena perkembangan secara komulatif. (George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda).
Paradigama social mengacu pada orientasi perceptual dan kognitif yang dipakai oleh masyarakat komunikatif untuk memahami dan menjelaskan aspek tertentu dalam kehidupan social. Paradigma social terbatas pada pandangan dua hal; pertama, paradigma social yang hanya dimiliki oleh kalangan terbatas dan tidak memlulu diterima oleh anggota masyarakat. Masyarakat yang menerima paradigma ini masyarakat ilmiah, terciptanya komunikasi guna menciptakan paradigma social. Kedua, paradigma sosial yang berlaku dalam aspek tertentu dari kehidupan dan bukan aspek yang menyeluruh. Paradigma social lebih terbatas dalam ruang lingkung penerimaan dari pada pandangan dunia yang berlaku, sebagai element dasar dari paradigma social merupakan pandangan dunia baik dalam komponen dasar, keyakinan atau system keyakinan dan nilai-nilai yang terkait. Sebagaimana dalam pandangan Stephen Cotgrove paradigma memberikan kerangka makna, sehingga pengalaman memberikan makna dan dapat dipahami. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung)
Ilmu Sosial Posivistik
Positivistic merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan.keyakinan faham aliran ini pada ontology realisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dlam kenyataan berjalan sesuai dengan hokum alam (natural lows). Upaya penelitian untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana sesungguhnya realitas itu berjalan. Positivis muncul pada abad 19 yang dipelopori oleh Auguste Comte. Dalam pencapai kebenaran maka harus menanyakan lagsung pada objek yang diteliti, dan objek dapat memberikan jawaban langsung pada peneliti yang bersangkutan. Metodologi yang digunakan eksperiment empiris atau metodologi yang lain agar temuan yang diperoleh benar-benar objektif dan menggambarkan yang sebenar-benarnya. (Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Social).
Kaum positivistic mempercayai masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya. Comte mempercayai penemuan dalam hukum-hukum alam akan membukakan batas-batas yang pasti yang melekat dalam kenyataan social, dan ia menilai masyarakat bagaikan suatu kesatuan organic yang kenyataanya lebih dari jumlah bagian yang saling tergantung, tetapi tidak mengerti kenyataan ini. Oleh karena itu, metode penelitian empiris harus digunakan dalam kenyakinan bahwa masyarakat merupakan suatu bagaian seperti halnya gejala fisik. Perkembangan ilmu tentang masyarakat bersifat ilmiah sebagai puncak dari proses kemajuan intelektual yang logis sebagaimana ilmu-ilmu telah melewatinya. (Doyle Paul Jonshon, Teori Sosiologi Klasik dan Modern)
Ilmu social positivistic digali dari beberapa pemikiran dari tokoh-tokohnya yakni Saint Simon (Prancis), Auguste Comte (Prancis), Herbert Spencer (Inggris), Emile Durkheim (Prancis), Vilfredo Pareto (Italia). Saint Simon menggunakan metodologi ilmu alam dalam membaca realitas sosial masyarakat, ia mengatakan bahwa dalam mempelakjari masyarakat harus menyeluruh dikarenakan gejala sosial saling berhubungan satu dengan yang lain dan sejarah perkembangan masyarakat sebennarnya menunjukan suatu kesamaan. Ilmu pengetahuan bersifat positif yang dicapai melalui metode pengamatan, eksperimentasi dan generalisasi sebagaimana digunakan dalam ilmu alam. Semua sejarah perkembagan social selalui disertai kemajuan dalam ilmu pengetahuan yang menggambarkan perkembangan masyarakat disertai dengan perkembangan cara berfikir manusia. Cara berfikir manusia mulanya bersifat teologis, spekulatif tetapi kemudian berkembang mendekati kenyataan bersifat konkreat, oleh karena itu bersikap positif dan ilmiah. August Comte. Comte membagi sosiologi menjadi dua macam social dinamik dan social statis. Sosiologiu merupakan social dinamik yang digambarkan dengan teori yang menggambarkan kemajuan dan perkembangan masyarakat manusia. Comte menggambarkan bahwa sejarah umat manusia pada dasarnya merupakan ditentukan oeh pertumbuhan dari pemikiran manusia dan ilmu social merupakan haruslah merupakan hukum tentang perkembangan intelegensi manusia. Perkembangan pemikiran manusia menurut Comte terbagi menjadi tiga macam teologi kerangka berfikirnya dalam tingkat pemikirannya menganggap bahwa setiap gejala terjadi dan bergerak berada dibawa pengaruh supra natural, metafisik dengan kerangka berfikir abstrak; menganggap bahwa alam semesta dan segala isi diatur adanya gerak perubahan oleh hukum–hukum alam, dan ilmiah dengan kerangka berfikir positivisktik yang beranggapan gejala alam dan isinya dapat dipahami dan diterangkan oleh kenyataan-kenyataan objektif/positif. (Hotman M. Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi).
Herbert Spencer. Menurut spencer bahwa objek dari ilmu social hubungan timbal balik dari unsure-unsur masyarakat seperti pengaruh norma-norma tas kehidupan keluarga, hubungan antara lembaga politik dan lembaga keagamaan. Unsure dalam masyarakat memiliki hubugan yang tetap dan harmonis dan merupakan suatu integrasi. (Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar). Spencer memiliki kepercayaan bahwa manusia bersifat merdeka, dan setiap individu dengan bebas menggunakan adatnya, serta kebebasan itu harus tetap dijaga agar tidak dapat mengganggu kebebasan yang lain. Ia juga menjelsakan tentang pentingnya lembaga social dalam membentuk karakter individu, dan hubungan manusia dengan masyarakat merupakan proses dua jalur. Dimana individu mempengaruhi masyarakat dan masyarakat mempengaruhi individu. Spencer dalam memandang masyarakat mengunakan teori evolusi dari evolusi universal berubah menjadi evolusi homogen tidak menentu menjadi evolusi hetrogen dan menentu. Masyarakat menurutnya perkembangannya dari sederhana, menuju kompleks dan terspesialisasi. Ia dalam memandang masyrakat menggunakan analogi organisme sebagaimana dalam ilmu biologi. Secara sederhana menurut Spencer bahwa masyarakat dibentuk oleh individu. (Hotman M. Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi).
Perbedaan pemikiran antara Comte dan Spencer tetapi saling melengkapi dalam tradisi ilmu social yang bercorak positivistic, Comte dalam memandang masyarakat dengan cara menjelaskan perkembangan ersepsi manusia, menekankan perlunya aktualisasi ide, dan Spencer menekankankan perlunya aktualisasi benda. Comte berusaha menginterpretasikan genetic dari fenomena yang membentuk alam dan Spencer menafsirkan genetic dari feomena yang membentuk alam. Comte lebih bersifat subjektif sedangkan Spencer bersifat objektif. Spencer tidak hanya tertarik pada perkembangan ide, tetapi mengembangkan ide pada perubahan korelatif dalam organisasi social, tertib social struktur, maupun progress. Teori yang dimiliki oleh Spencer berupa analisa objektif seperti untuk pertumbuhan, evousi linier, multilinier, tipe-tipe social, dan good society. Kemudian pemikirannya diterjemahkan menjadi diferensisasi sebagai interelasi dan integrasi berbagai aspek penting dalam system masyarakat. Ilmuwan social yang diajurkan oleh Spencer berusaha untuk keluar dari bias dan sentimen tertentu. Ia ingin menggambarkan bahwa betapa upaya mempertahankan ide dan kepentingan material cenderung mewarnai dan mendistorsikan persepsi seseorang dalam memahami realitas sosial. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Emile Durkheim. Titik tekan kajian Durkheim berlwanan dengan kajian dari Spencer bahw individu dibentuk oleh masyarakat. Asumsi yang paling fundamental dalam pandangan Durkheim gejala social yang riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta prilakunya dan berbeda dari karakteristik psikologi, biologi atau karakteristik individu yang lain. Gejala social atau fakta social yang rii9l dapat dielajari dengan metode-metode empiric, yang memungkinkan tentang ilmu yang membahas masyarakat dapat dikembangkan. (Doyle Paul Jonshon, Teori Sosiologi Klasik dan Modern). Jiwa suatu kelompok sangat mempengaruhi individu, ia mengatakan bahwa kesaaran kolektif berbeda dengan kesadaran individu. Kata durkheim aturan yang berada diluar kontrak memungkinkan diadakannya kontrak-kontrak social yang mengingkat kontrak dan menentukan sah tidaknya suatu kontrak. Aturan yang diluar kontrak inilah yang dikatakan sebgai kesadaran kolektif. Durkheim memberikan sifat yang ada pada kesadaran kolektif yakni exterior dan constraint, exterior berada diluar individu yang masuk kedalam individu dalam erwujudan sebagai aturan moral, agama dan yang lain. Sedangkan untuk constraint merupakan kesadaran yang bersifat memaksa. Kesadaran kolektif merupakan consensus masyarakat yang mengatur hubungan social diantara masyarakat yang bersangkutan. (Hotman M. Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi).
Kajian dalam ilmu social menurut Durkheim melakukan pembacaan terhadap realitas social dengan cara makrao dengan menggunakan pendekatan fakta social. Fakta social suatu kenyataan yang memiliki karakteristik khusus yakni mengandung tata cara bertindak berfikir dan merasakan yang berada diluar individu yang ditamankan dengan kekuatan koersif. Fakta social merupakan cara bertindak, yang memiliki cirri-ciri gejala empiric, yang terukur eksternal, menyebar dan menekan. Kekuatan koersif merupakan kekuatan untuk menekan individu. Fakta social dapat dikaji melalui data diluar pikiran manusia, studi yang trukur dan emirik merupakan koreksi terhadap Comte dan Spencer. Fakta social merupakan kumpulan fakta individu, tetapi kemudian diungkapkan dalam suatu angka social. Angka merupakan representasi individu yang berkumpul sehingga menjadi plural. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Vilfredo Pareto. Menurut Pareto dalam ilmu social bahwa ia mengamati fakta-fakta atau kenytaan secara objektif melalui penalaran logika. Observasi atau eksperimentasi terhadap fakta tidak membutuhkan pra anggapan yang diwarnai suatu prasangka. Dalam logico experimental ada dua elemen dasar yakni yang dinamakan logical reasoning dan observation of the fact. Teori social yang ada selama ini bersifat dogmatis, metafisis, non logis, absolute dan bersifat moral saja. Tindakan bagi Pareto merupakan didasarkan pada logis. Masyarakat baginya merupakan fenomena ketergantungan, karena factor yang telah dibentuk oleh masyarakat factor yang saling bergantung dan salaing mempengaruhi. Ilmu sosial baginya merupakan yang mempelajari uniformitas dalam masyarakat. (Hotman M. Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi). Pareto mempercayai bahwa konsep ekulibrium sangat berguna dalam memahami kehidupan social yang kompleks. Ia mencoba menjelaskan pertautan variable yang diyakini maisng-masing menyumbangkan keseimbangan dalam masyarakat. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Dalam ilmu social positivistic bersifat bebas nilai, objektif dan dalam perubahan yang terjadi dalam masyarkat memandangnya pada evolusi social. Perubahan yang terjadi dengan evolusi tersebut yang menekannkan pada ekulibrium ini, sehingga dalam ilmu social positivistic lebih bersifat status quo dan tidak peka perubahan. Pandangan yang digunakan dalam ilmu ini menggunakan pendekatan makro melihat realitas sosial dengan menggunakan system dan bagaiman individu terbentuk oleh system sehingga bersifat deterministic. Asumsi dasar dalam ilmu sosial positivistic memandang masyarakat bagaikan sebuah system organisme dimana satu yang lain saling berkaitan dan terdiri dari berbagai macam struktur dan menjalankan fungsinya masing-masing. Jika diturunkan dalam metodologi penelitian maka tujuan dari penelitian untuk menjelaskan dan memaparkan tentang gejala social, penelitian harus objektif terukur, bebas nilai, dan peneliti bersifat netral. Penelitian ini dapat digunakan untuk generalisasi terhadap persolan yang lain. Metode penelitian merupakan penelitian kuantitatif, denan menggunakan pencarian ata melalui angket dan kuosioner.
Ilmu Sosial Kontruktivisme
Paradigma konstruktivis dalam ilmu social merupakan sebagai kritik terhadap ilmu social positivistic. Menurut paradigma ini, yang menyatakan bahwa realitas osial secara otologis memiliki bentuk yang bermacam-macam merupakan konstruksi mental, berdasarkan pengalman social, bersifat local dan spesifik dan tergantung pada orang yang melakukan. Realitas social yang diamati seseorang tidak dapat digeneralisir pada semua orang yang biasa dilakukan oleh kaum positivistic. Epistemologi antara pengamatan dan objek dalam aliran ini bersifat satu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi antara keduanya. Aliran ini menggunakan metodologi hermeneutic dan sialektis dalam proses mencapai kebenaran. Metode yang pertama kali dilakukan melalui identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat orang-perorang, kemudian membandingkan dan menyilangkan pendapat dari orang sehingga tercapai suatu konsensus tetang kebenaran yang telah disepakati bersama. (Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Social).
Konstruktivis dapat ditelusuri dari pemikiran Weber yang menjadi ciri khas bahwa prilaku manusia secara fundamental berbeda dengan prilaku alam. Manusia bertindak sebagai agen dalam bertindak mengkunstuksi realias social. Cara konstruksi yang dilakukan kepada cara memahami atau memberikan makna terhadap prilaku mereka sendiri. Oleh Karen aitu tuga ilmu social dalam hal ini mengamati cara agen melakukan penafsiran, memberi makna terhadap realitas. Makna berupa partisipan agen melakukan konstruk melalui proses partisipasi dalam kehidupan dimana ia hidup. Dalam tradisi konstruktivis mereka ingin keluar motif dan alasan tindakan individual guna memasuki ranah structural. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Max Weber. Weber mengajukan bahwa dalam ilmu sosial yang dipakai menggunakan oendekatan verstehende. Ia melihat ilmu social berusaha untuk memahami tindakan-tindakan social dan menguraikannya dengan menerangkan sebab-sebab tindakan tersebut. Yang menjadi kajian pokok dalam ilmu ini menurutnya bukanlah bentuk subtansial kehidupan masyarakat maupun nilai objektif dari tindakan, melainkan semata-mata arti yang nyata dari tindakan perorangan yang timbul dari alas an-alasan subjektif. Verstehende merupakan motode pendekatan yang berusaha untuk mengerti makna yang mendasari dan mengintari peristiwa social histories. (Hotman M. Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi). Weber melihat bahwa individu yang memberikan pengaruh pada masyarakat tetapi dengan beberapa catatan, bahwa tindakan social individu berhubungan dengan rasionalitas. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Tindakan social yang dimaksudkan oleh Weber berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tinakan yang bersifat “membatin”, tau bersifat subjektif yang mengkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Dari pandangan dasar yang dimiliki oleh Weber maka ia menganjurkan penelitiannya dalam bidang ilmu ini meliputi; tindakan manusia yang mengandung makna, tindakan nyata bersifat subjektif dan membatin, tindakan pengaruh positif dari situasi dan tindakan tu diarahkan kepada beberapa orang atau individu. Mempelajari tindakan social dan ia menganjurkan lewat penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding). Peneliti menginterpretasikan tindakan si actor dalam artian mendasar dengan maksud memahami motif tindakan si actor. Cara memahami motif tindakan actor Weber memberikan dua cara, pertama melalui kesungguhan, mencoba mengenangkan dan menyelami pengalaman actor. Peneliti menempatkan diri pada actor dan berusaha memahai sesuatu yang dipahi oleh actor. Metode pemahaman yang ditawarkan oleh Weber bersifat pemberian penjelasan kausal terhadap tindakan social manusia. (George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda).
Perbedaan antara Weber dan Durkheim tentang kenyataan social. Bagi Durkheim bahwa ilmu social mempelajari fakta social yang bersifat eksternal, memaksa individu. Kenyataan social bagi Durkheim sebagai situasi yang mengtasi individu berada dalam suatu tingkatan yang bebas. Sedangkan bagi Weber keyataan social merupakan sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan-tindakan social. Durkheim memiliki pndangan berhubungan dengan realisme social, melihat masyarakat sebagai sautan yang riil, berada secara terlepas dari individu yang kemudian masuk didalamnya menurut prinsip-prinsip yang khas, tidak mencerminkan individu-individu yang sadar. Teori ini membandingkan masyarakat sebagai bentuk organis biologis dalam artian dalam menilai masyarakat merupakan suatu kenyataan yang lenih dari sekedar jumlah bagiannya. Sedangkan Weber berposisi nominalis, dengan artian bahwa individu yang riil secara objektif, dan masayarakat merupakan suatu nama yang menunjuk pada sekumpulan individu. Analisis Weber dalam memandang individu merupakan suatu yang ekstrim, dan ia mengakui bahwa dinamika sejarah merupakan besar dan pengaruhnya terhadap individu. Pandangan Weber bersifat subjekif dan tujuannya untuk masuk kedalam arti subjektif yang berhungan dengan kategori interaksi manusia. (Doyle Paul Jonshon, Teori Sosiologi Klasik dan Modern).
Pemikiran Weber dari tindakan social dan metode verstehende berkembang dibawa oleh beberapa ilmuan menjadi tradisi konstruktivisme. Tradisi ini dikembangkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman, mereka berangkat dari manusia mengkonstruksi realitas social dari perfektif subjektif dapat berubah menjadi objektif. Proses konstruk mulai pembiasaan tindakan yang memungkinkan actor-aktor mengetahui tindakan itu berulang-ulang dan memberikan keteraturan. Hubungan individu dengan institusi bersifat dialektik yang berisi tiga momen yakni,”masyarakat merupakan produk manusia, masyarakat merupakan realitas objektif, manusia produk masyarakat”. Bahwa makna-makna umum dimiliki bersama dan diterima dilihat sebagai dasar dari organisasi social. Konstruksi social berusaha menyeimbangkan struktur masyarakat dengan individu. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Aliran konstruktivis merupakan respon terhadap positivistic dan memiliki sifat yang sama dengan positivistic, sedangkan yang membedakan objek kajiannya sebagai star awal dalam memandang realitas social. Positivistic berangkan dari system dan struktur social sedangakan konstruktivis berangkat dari subjek yang bermakna dan memberikan makna dalam realitas sosial. Jika mau diturunkan dalam metodologi penelitian menjadi tujuan ilmu social ini memahami realitas social, ilmu bersifat neutral dan bebas nilai. Asumsi dasar yang digunakan bahwa manusia sebagai mahluk yang berkesadaran. Penelitian yang dipakai merupakan penelitian kualitatif dengan metode pencarian data dengan wawancara dan observasi. Dalam memandang masyarakat merupakan realitas yang beragam dan memiliki keunikatan tersendiri, sehingga dari hasil penelitian yang didapatkan tidak boleh untuk menggeneralkan pada objek yang lain.
Ilmu Sosial Kritis
Ilmu social kritis tidak dapat dilepaskan dari pemikiran filosof kontemporer di Jerman yang mencoba mengembangkan teori Marxian guna memecahkan persolan yang dihadapi sekarang. Teori social ini merupakan upaya pengkrtisan terhadap the father dari filsafat Jerman dan mengkritisi pemikiran Marx yang telah menjadi ideology bukannya ilmu. Marx yang telah menjadi ideology dapat dilihat pada Negara komunis sehingga ajaran Marx membatu dan tidak besifat transformative. Secara garis besar Mazhab Frankfurt dalam kelahirannya upaya mengkritisi pemikiran ilmu social yang selama ini dan realitas sekarang. Ritzer mencoba memetakan tentang sasaran kritik para pemikir dari mazhab Frankfurt yakni ada lima macam, pertama kritik terhadap dominasi ekonomi, kritik terhadap sosiologi pada intinya mengatakan bahwa sosiologi bukanlah sekedar ilmu atau metode sendiri tetapi harus dapat mentransformasikan struktur social dan membantu manusia keluar dari tekanan struktur, kritik filsafat positivistic yang memandang manusia sebagai objek (alam) dan tidak tanggap terhadap perubahan, kritik terhadap masyarakat modern yang telah dikuasai oleh revolusi budaya, kritik budaya (birokrasi) yang menyebabkan masyarakat dibatasi oleh mekanisme adminitrasi, dan melahirkan budaya semu yang melahirkan represifitas struktur yang melumpuhkan manusia.
Munculnya pemikiran Mazhab Frankfurt merupakan melwan krisis pada waktu saat itu, ia kecewa terhadap pengaruh filsafat positivistic yang melahirkan perfektif objektivistik dan pengaruhnya masuk kedalam seluru disiplin ilmu pengetahuan. Bagi mereka, dengan pemikiran yang telah diiajukan oleh positivistic telah melahirkan wawasan dan cara pemikiran jangka pendek. Kenyakinan positivisme telah menimbulkan krisis, oleh akrena itu ia menawarkan pemikiran alternative “teri kritis”. Akar pemikiran Mazhab ini dapat ditelusuri dari Marx, Hegel yang telah membrikan banyak ilustrasi dan memberikan pencerahan. Analisis yang digunakan frankfutr menggunakan dua proporsi yang utama. Pertama pemikirn seseorang merupakan produks masyarakat dimana ia hidup. Pemikiran manusia terbentuk secara social, maka tidak mungkin orang mencapai pengetahuan dan kesimpulan objektif, bebas dari pengaruh perkembangan zaman dan pola-pola konseptual yang ada dimana manusia hidup. Kedua, ilmuan dan intelektual tidak dapat objektif, mencoba bersikap bebas nilai dalam membangaun perfektif pemikirannya. Seorang intelektual harus kritis memahami prilaku masyarakat dan menjadi orientasi menjadikan orang menyadari apa yang harus mereka kerjakan sesuai yang mereka inginkan dalam perubahan. Pemikiran kritis menyadari bahwa pemikiran buklanlah sesuatu yang memiliki keunikan objektif, mereka percaya bahwa di dunia pengetahuan terdapat kebenaran dan engetahuan yang riil. Pendekatan ini yang mencoba membedakan mainstream pengetahuan positivis yang memisahkan peran dan nilai dalam analisisnya. Positivisme yang mereka pakai lebih mengacu pada kajian empiric terhadap hipotesis dan pengetahuan objektif. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung)
Kata kunci kritik merupakan upaya untuk memahami dalam teori kritis, kritik dalam teori ini merupakan mengupayakan suapaya teori bersifat emansipatoris tentang kebudayaan dan masyarakat modern. Kritik-kritik mereka diupayakan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat modern, seperti seni, ekonomi, ilmu pengetahuan, politik dan kebudayaan yang telah diselubungi oleh ideology yang telah menguntungkan pihak-pihak tertentu dan sekaligus mengasingkan manusia dalam kehidupan masyarakat. Kata kritik berakar dalam tradisi filsafat itu sendiri dan kata tersebut sudah dipakai sejak zaman pencerahan. Kritik merupakan refleksi diri atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri rasio dalam sejarah. Kritik juga merupakan refleksi atas proses menjadi sadar atau refleksi tentang asal-usul tentang kesadaran. Pada generasi pertama mereka melontarkan kritik terhadap saistisme atau positivisme yang telah menghasilkan masyarakat yang irasional dan ideologis. Teori kritis mengupayakan mengkaitkan rasio dan kehendak, riset dan nilai, pengetahuan dan kehidupan, teori dan praksis. Teori kritis menurut Horkheimer memiliki emapat karakter, pertama teori ini bersifat histories dengan artian diperkembangkan berdasarkan situasi masyarakat yang konreat dan berpijak diatasnya. Teori ini merupakan kritik immanen terdapat yang nyata dan tidak manusiawi. Kedua, teori kritis disusun berdasarkan dalam kesedaran keterlibatan histories para pemikirnya, dengan maksud mereka menyadari bahwa teori ini dapat terjatuh pada dataran ideology. Misalkan dalam teori tradisional menggatungkan keshahihannya dengan verifikasi empiris. Sedangkan untuk teori ini menggantungkan pada evaluasi, kritik dan refleksi terhadap dirinya sendiri. Ketiga teori ini memiliki kecurugaan terhadap masyarakat, dikarenkan dalam teori ini mengupayakan untuk mengurai kedok ideology yang dipakai untuk menutupi ketimpangan dan kontradiksi dalam masyarakat. Keempat, teori ini menguapakan teori dengan praksis, dengan maksud teori ini mengupayakan untuk melakukan transformasi social dan dilakukan lewat praksis.
Teori kritis dalam mengkritik masyarakat modern dilakukan dengan dua cara; pertama, menelusi akar-akar berfikir positivistic masyarkat modern dengan melakukan proses rasionalisasi dalam masyrakat barat. Kedua, menunjukan cara berfikir positivistic yang telah mewujudkn dirinya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlaku sebagai ideology yang diterima sukarela oleh masyarakat modern. Mereka ingin mengkritik masyarakat modern sebagai struktur yang telah menindas, melainkan terlebih cara berfikir positivistiklah yang menjadi ideology dan mitos. Rasionalitas pada zaman ini berfungsi sebagai ideology dan dominasi, dan menjadikan cara berfikir saitis telah membeku menjadi ideology atau mitos. Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan mengamdi kepada manusia melainkan manusia yang mengabdi kepada ilmu pengetuan dan teknologi. Menurut mazab ini manusia sekarang tidak ditindas oleh manusia yang lain tetapi ditindas oleh system teknologi mencengkram segenap alamiah dan social manusia. Apa yang meeka sebut iu merupakan rasional teknologis, merupakan karakter dari zaman rasional sekarang ini. Pada genrasi pertama mereka mengalami jalan buntu dikarenakn mereka tidak dapat menemukan jalan keluar dari masyarakat yang mereka kritik. Pada teori kritis pertama konsep praksis merupakan kerja dalam pandangan Marxian. Praksis emansipatoris yang mereka lakukan dapat menimbulkan perbudakan baru karena emansipasi penguasaan baru. Oleh karena itu Habermas sebgai generasi kedua menawarkan praksis kdisamaping praksis kerja. Hal tersebut dikarenakan komunikasi msih ada kebebasan sehingga masih ada tempat bagi rasio kritis. Degan ide komuikasi Habermas mengtasi positivisme dengan menunjukan kjeterkaitan antara teori dan praktik. Praksis kerja dan komunikasi merupakan dua tindakan dasar manusia yang menentukan manusia sebgai spesies bergerak dan hidup di dalam duania.
Pengetahuan dan prakis manusia dapat mengarahkan pengetahuan, pertama sebagai spesies manusia memiliki kepentingan untuk mengontrol lingkungan eksternalnya melalui pranata-pranata kerja dan kepentinganingin mewujudkan dirinya dalam pengetahuan informative yang secara metodis disistematikan dalam ilmu empiris analitis. Kedua, manusia memiliki kepentingan praksis untuk menjalin pemahaman timbale balik melalui perantaraan bahasa dan kepentingan ini, mewujudkan dirinya dalam pengetahuan interpretative dan sistematiskan metodis dalam ilmu social histories-hermeneutis. Manusia memiki kepnetingan partisipatoris untuk membebskan diri dari hambatan ideologis melalui perantaraan kekuasaan dan kepentingan ini mewujudkan dirinya dalam pengethuan analitis yang disistematiskan ilmu social kritis. (Francisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi).
Matrik Ilmu Sosial Kritis
Parameter
Dimensi kerja
Dimensi komunikasi
Dimensi kekuasaan
Kepentingan
Teknis
Praktis
Emansipatoris
Pengetahuan
Informasi
Interpretasi
Analitis
Tindakan
Tindakan-rasional-bertujuan
Tindakan komunikatif
Tindakan revolusioner- emansipatoris
Ungkapan lingustik
Proposisi-proposisi deduktif nomologis (monologal)
Bahasa sehari-hari, language game, ungkapan-ungkapan dialogal
Pembicaraan emansipatoris
Metodologi
Empiris-analitis
Historis-hermeneutis
Refleksi-diri
Sistematika metodis
Ilmu empiris-analitis (ilmu pengetahuan alam)
Ilmu histories-hermeneutis (ilmu-ilmu pengetahuan social budaya)
Ilmu-ilmu kritis
Ilmu social kritis jika mau diderivasikan dalam metodologi penelitian, merupakan suatu ilmu yang emansipatoris dan untuk melakukan transformasi social. Ilmu ini tidak bebas nilai, berfihak kepada kemanusiaan dan melakukan pemberdayaan sehingga tercipta masyarakat yang berkeadilan. Metode penelitain yang digunakan dengan penelitian kualitatif atapun kuantitatif yang penting bukan memaparkan tentang realitas social yang terjadi tetapi melakukan perubahan guna tercipta masyarakat yang berkeadilan. Data diperoleh dengan wawancara, observasi atapun dengan angket, serta kuesioner guna melakukan pembacaan awal. Peneliti bersikap partisipatif dengan yang ditelitii dan tidak ada jarak dan langsung memberikan penyadaran dan melakukan refleksi diri sesuai apa yang telah dicita-citakannya.
Ilmu Sosial Profetik
Ilmu Social Profetik (ISP) merupakan tugas yang berat yang harus diemban agar dapat menjadikan nilai-nilai Islam dapat diterima sehingga Islam sebagai rahmat. Secara kelahirannya ISP merupakan suatu hasil dari pemikiran tokoh yang prihatin melihat realitas sekarang dan mencoba untuk melakukan transformasi guna menciptakan yang lebih baik. ISP sebagai produks dari pemikiran perlu mendapatkan pengkritisan sebagai sarana pembenahan baik segi teori ataupun metodologinya sehingga ISP dapat sejajar dalam paradigma ilmu social yang lain. ISP selama ini, merupakan suatu gerilya intelektual dan masih dimiliki oleh kalangan akdemisi tetapi hanya sekedar wacana dan discausce. Pemahaman kalangan akademisi tentang ISP belum dapat disejajarkan paradigma ilmu social yang lain. Pemahaman tersebut menjadikan akademisi kurang begitu serius, menjadikan ilmu ini setara dan sejajar dengan paradigma ilmu social yang lain bercorak liberal ataupun yang perfeksionis. Oleh karena itu, perlu adanya kajian yang lebih dalam tentang ISP guna dapat merekonstruksinya, agar ISP dapat digunakan untuk melihat dan menyelesaikan problem social yang selama ini terjadi. Untuk lebih jauh dapat dilihat pemikiran tokoh yang mencoba melontarkan ISP sebagai alternative dalam teori social kontemporer.
Sebagaimana dalam sosiologi pengetahuan ISP sebagai produks dari pemikiran agar tidak membeku, menjadi ideology dan menjadi mitos baru, maka perlu melakukan refleksi diri dan evaluatif. ISP yang telah dilontarkan oleh Kuntowijoyo dalam kelahirannya tidak dapat dilepaskan dari realitas yang terjadi pada saat itu. Secara sederhana kelahirannya ISP yang digagas oleh Kunto dapat dipetakan menjadi dua macam; pertama interaksi Kunto dengan berbagai macam ilmu social sehingga memunculkan respon atau terhadap ilmu social yang ada, dan tokoh yang memiliki karakter transformative. Kedua, respon terhadap kondisi realitas (kerangka berfikir atau arus besar pemikiran yang berkembang) sekarang dimana ISP dilontarkan.
Pertama, interaksi Kunto dengan berbagai macam ilmu social. Kunto merupakan sosok intelekual yang senang membaca, hal ini dapat dilihat dari karya-karyanya yang berkaitan dengan teori perubahan social ia sempat juga menggunakan teori social dari tokoh Marx, Weber, dan Durkheim. Selanjutnya dalam melihat periodesasi perkembangan umat Islam Kunto menggunakan analisis dari Comte. Setelah melalukan kajian terhadap ilmu social, ia mencoba memberikan respon ataupun tanggapan terhadap yang ia kaji. ISP merupakan ilmu social alternative terhadap ilmu social yang selama ini berkembang cenderung bercorak liberal dan logika positivistic. Sebagaimana dalam era post modernis ilmu social saling berevolusi dalam dataran paradigmatic. Begitupula, dengan ISP merupakan kritisi terhadap tiga ilmu social yang selama ini berkembang seperti ilmu social yang bercorak posiivistik, konstruksionisme yang bercorak liberal dan ilmu social yang bercorak kritis memiliki sifat perfeksionis.
Ilmu social positivistic, dimana dalam memandang masyarakat bagaikan sebuah system atau struktur. Letak pengkritisian terhadap ilmu ini dalam emandang manusia tidak memiliki kebebasan, individu bersifat deterministic, ilmu ini tidak megupayakan untuk melaklukan transformasi social, tetapi ilmu ini lebih cenderung mempertahankan status quo. Ilmu social positivistic dipelopori oleh Comte dan di kembangkan oleh Durkheim. Sedangkan untuk ilmu social konstruktivis dipelopori oleh Weber, ilmu social konstruktivis sama dengan ilmu social positivistic ia bersifat liberal. Sedangkan yang membedakan dari ilmu ini, menjelaskan dan memaparkan relaitas social itu beragam dan memiliki keunikan tertentu sehingga tidak dapat digenaralkan. Dalam ilmu social konstruktivis memandang manusia sebagai subjek yang bebas dan memiliki kesadaran dan membentuk system. Sedangkan pengkritisian terhadap ilmu kritis yang bersifat perfeksionis, Kunto memaparkan dengan meminjam analisisnya Micheal Root. Bahwa ilmu social yang bersifat perfeksinis seperti aliran Marxian, Freudian, dan Feminisme jatuh dalam dataran ilmu yang deterministic. Ilmu tersebut jatuh dalam dataran determinstik dikarenakan seperti Marxian mengandung determinisme ekonomi, Freudian dalam determinisme biologis sedangkan feminisme mengalami determinisme seksual. (Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid). Melihat ilmu social yang berkembang di era sekarang maka ia menawarkan ISP sebagai ilmu yang serat nilai, berfihak dan mengupayakan transformasi social, seperti ilmu social kritis yang telah digagas oleh Mazhab Frankfurt yang telah dikembangkan oleh Jurgen Habermas.
Interakasi Kunto dengan tokoh-tokoh yang mempengaruhinya seperti Moeslim Abdurrahman, Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy. Moeslim Abdurrahman dengan pemikiran teologi trasformatif, dalam hal ini Kunto lebih memilih ilmu social dari pada teologi. Hal tersebut dikarenakan akan membingungkan dan kurang cocok diterjemahakan, bila menggunakan teologi maka dapat memunculka teologi yang lain seperti teologi pembebasan, teologi lingkungan dan yang lain. Sedangkan pemahan umat tentang permasalah teologi merupakan yang tetap tidak berubah, oleh karena itu ia lebih memakai ilmu social. Lagian pula, teologi transformative yang digagas oleh Moeslim Abdurrahman lebih tetapi diterjemahkan dalam ilmu social transformative. Pergatian dari teologi dalam ilmu social, hal ini dikerenakan jika gagasan pembaharuan teologi agar agama diberi tafsiran baru dalam rangka memahami realitas social, metode yang efektif yang dimaksud dalam rangka mengelaborasi ajaran agama kedalam suatu teori social. Lingkup dari sasaran ilmu social tersebut lebih dari rekayasa untuk transformasi social. Lingkup bukan dalam dataran permanent seperti teologi, tetapi aspek yang temporal, empiris dan histories. Maka kunto lebih cenderung menggunakan ilmu social ketimbang teologi. Kebutuhan yang dilakukan dalam trasformasi social bukan saja perangkat yang bersifat objektif, tetapi melalui teori social dapat melakukan transformasi bersifat objektif dan juga merupakan lahan garap yang bersifat empiris.
Interaksi Kunto dengan Muhammad Iqbal. Kunto mengambil kata profetik ia mendapatkan gambaran tetang konsep kesadaran profetis yang dilontarkan oleh Iqbal dalam bukunya Membangun Kembali Pemikiran Agama Islam. Muhammad Iqbal menggambarkan tentang mi’rajnya Nabi Saw, yang bertemu dengan Tuhan, seandainya nabi seorang mistikus atau sufi, ia pasti tidak akan kembali karena sudah tentram dan tetang bersama-Nya. Tetapi ini lain, Nabi kembali ke bumi untuk melakukan perubahan dalam rangka merubah sejarah melakukan transformasi profetik. Selanjutnya kata profetik juga terinspirasi dari seorang Filosof Prancis Roger Garaudy dalam bukunya Janji-Janji Islam, disana dipaparkan bahwa peradaban Barat tidak memuaskan dikarenakan terombang-ambing dalam kedua kutub besar yakni idealisme dan materialisme. Filasafat barat (kritis) lahir yang mempertanyakan bagaimana pengetahuan intu dimungkinkan , lalu ia mengusulkan agar membalik pertanyaan agar bagaimana wahyu dimungkinkan. Dalam rngka untuk menghindari kehancuran peradaban maka pilihan satu-satunya agar menggunakan kembali warisan Islam (filsafat kenabian). Filasfat barat telah “membunuh” Tuhan dan manusia, maka ia menganjurkan untuk menggunakan filsafat kenabian dan mengakui wahyu sebagai salah satu dari sumber kebenaran.
Kedua, kondisi realitas sekarang. Realitas sekarang merupakan zaman post modernism. Sebagaimana dalam tradisi modernism yang muncul dari abad pertengahan pada masa pencerahan yang ditandai dengan lontaran dari seorang filosof Prancis Rene Descartes dengan semboyannya catigo ego sum. Menurut Kunto dalam zaman pencerahan yang berkembang menjadi modernisme terdapat dua ciri yang penting dan yang membedakan dengan era post modernism. Pada zaman modern merupakan kerangka berfikir sekuleristik, memandang dengan differentiation (pemisahan) dan terjadinya humanisme antroposentris. Kerangka pikir sekuleristik mencoba memisahkan dengan tegas antara agama dengan ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, dan Negara. Modernisme yang dikumandangkan humanisme antroposentris berkembang bukannya telah memberikan kemerdekaan terhadap manusia tetapi sebaliknya, yang terjadi sampai sekarang adalah dehumanisasi. Dehumanisasi dikarenakan manusia dengan menciptakan ilmu pengethuan dan teknologi yang memiliki tujuan utama untuk mempermudah manusia, tetapi sekarang manusia terjebak oleh system yang telah dibuat menjadikan manusia telah diperbudak oleh system dan teknologi itu. Sebagaimana yang telah dikemukaka oleh Mazhab Frankfurt kerangka pikir modernisme menjadi rasional teknokratis atau dalam bahasa Herbert Marcus menjadi manusia satu dimensi.
Realitas sekarang merupakan era post modernisme dimana dalam zaman ini merupakan kritik terhadap modernism dan patologi yang dihadapinya. Post modernisme memiliki cirri yang penting adalah de-differentiation. Post-modernism merupakan penyapaan kembali antara agama dan ilmu pengethuan dan tidak berdiri sendiri atau terpisah. Agama sebagai ispirasi dan sumber nilai/etik dari ilmu pengetahuan. Penyapaan terhadap agama dari ilmu pengetahuan ini yang mencoba melakukan integrasi antara ilmu dengan agama guna menjawab problem modernitas dimana terjadinya dehumanisasi dan kerusakan ekologi. Melihat era sekarang maka ISP memiliki peluang agar dapat diterima sebagai salah satu disiplin ilmu dikarenakan ISP mencoba melakukan integrasi antara ilmu pengetahuan dengan agama. Agama menjadikan nilai untuk melakukan transformasi social dan pengintegrasian nilai-nilai agama dalam masyarakat sehingga betuk transformasinya pun ada arahan kemana transformasi itu akan dibawa. Dengan ISP sebagai alat transformasi sedangkan bentuk transformasinya merupakan transfomasi profetik guna mewujudkan Khoirul Umat.
Cita-cita dalam ISP merupakan jawaban dari ilmu social transformative dikarenakan dalam ISP bukan saja menjelaskan bagaimana transformasinya tetapi untuk apa, oleh siapa dan diarahkan kemana dalam transformasinya, sedangkan dalam ilmu social transformative memiliki jawaban yang kurang jelas. ISP bukan hanya alat untuk melakukan transformasi tetapi diarahkan sesuai dengan cita-cita dan etis profetis. Cita-cita profetis dalam ISP mrupakan apa yang telah diidamkan oleh masyarakatnya. Cita-cita profetis diderivasi dari surat al Imran 110.
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah Swt” (QS. al Imran; 110).
Menurut Kunto ada empat hal yang tersirat dalam ayat tersebut; pertama merupakan konsep umat yang terbaik, kedua aktivisme sejarah, ketiga pentingnya kesadaran, dan keempat etika profetik. Pertama خَيْرَ أُمَّة)ٍ ) konsep umat yang terbaik bagi Islam merupakan mengerjakan ketiga hal tersebut dalam ayat bukanlah sekedar hadiah dari Tuhan. Tetapi konsep umat yang terbaik ini merupakan tantangan agar aktif dan bekerja keras dalam sejarah. Kedua أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ)) aktivisme sejarah merupakan bentuk kerja keras ditengah umat manusia dan keterlibatan umat Islam dalam menentukan sejarah. Sebagaimana dalam ajaran Islam yang menekankan bahwa Islam merupakan agama amal, jadi pengetahuan yang didapatkan harus ditransformasikan bukan hanya untuk diri tetapi untuk orang lain. Ketiga pentingnya kesadaran. Kesadaran dalam Islam merupakan bentuk kesadaran yang berbeda dengan Marxisme. Bentuk kesadaran dalam Islam nilai-nilai Ilahiah menjadi tumpuan dalam melakukan aktivisme sejarah. Kesadaran tersebut bersifat idependensi yang bertumpu pada Tuhan bukan kepada struktur atapun kepada manusia. Kesadaran yang ditekankan pada struktur atau individu menjadikan bentuk kesadaran dalam Marxisme maka yang terjadi merupakan dalam bentuk individualisme, eksistensialisme, kapitalisme, dan liberalisme. Keempat tetang etika profetik yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Etika profetik merupakan pelaksanaan secara integral dari (تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِالله)ِ yang oleh Kunto diterjemahkan menjadi; humanisasi, liberasi dan trasendensi.
Pilar ISP
ISP dalam pembacaan dan pengalisaan terhadap realitas social memiliki tiga ranah alat pandang, dimana alat pandang tersebut saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Pilar ISP merupakan bagaimana ISP dihadapkan pada realitas empiris, sehingga pendekatan yang digunakan oleh ISP pun bersifat empiris analitis dengan menghadapkan al Qur’an dengan realitas social seperti industrialisasi, kelas social dan permasalahan yang lain. Penelitian yang dilakukan bersifat partisipatoris, grounded research. ISP memiliki iga pilar yag diderivasi dari surat al Imron 110 yakni tafsirn kreatif dari Kunto (1) تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ menjadi humanisasi, (2) َتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ menjadi liberasi, dan (3) َتُؤْمِنُونَ بِاللهِ menjadi trasendensi.
Humanisasi.merupakan semangat dari peradaban Barat yang percaya pada the idea of progress, demokrasi, HAM, Liberalisme, kebebasan, kemanusiaan, kapitalisme dan selfshnees. Humanisasi merupakan proses pemanusiaan manusia dalam bahasa agamanya mengembalikan posisi manusia pada fitrahnya. Proses humanisasi merupakan jawaban dari patologi masyarakat modern yang mengalami dehumanisasi yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi dan informasi. Manusia terjerat dengan teknologi sehingga manusia mengabdi untuk teknologi, bukannya teknologi yang mengabdi kepada manusia. Manusia pada masyarakat modern dengan kerangka pikir rasional teknokratis sehingga menjadi manusia satu dimensi, jatuh dalam dataran kehinaan dan menghilangnya sisi atau dimensi manusia yang lain. Oleh karena, itu Kunto mencoba melakukan humanisasi yang berdasar kepada agama, dimana merujuk iman dan amal soleh. Hal ini seperti diungkapkan dalam surat at Tin ayat 5-6 bahwa manusia jatuh kedalam tempat keterhinaan, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh. Pengembalian kemualiaan manusia yang terjatuh pada kehinaan dengan mengembalikan manusia pada fitrahnya, sehingga dapat memenuhi semua dimensi yang dimiliki oleh manusia. Pemenuhan semua dimensi yang ada pada manusia ini, menjadikan posisi manusia tidak seperti masyarakat modern yang menafikan salah satu dimensi yang ada pada manusia. Humanisme yang dilontarkan oleh ISP merupakan pengkritisian humanisme barat (humanisme antroposentris), yang menyebabkan majuanya peradaban barat tetapi sekarang mereka mengalami dehumanisasi. Humanisme yang ditwarkan oleh ISP humanisme yang didasarkan pada agama jadi humanisme teo-antroposentris. Gagasan humanisasi tersebut diterjemahkan dalam teori social menjadi ilmu social yang menggunakan pendekatan structural fungsional. Gagasan structural fungsional ini yang telah dilontarkan oleh Kunto mencoba menggabungkan teori fungsional dengan menggunakan pendekatan grounded research dalam penelitiannya. Analisis yang digunakan oleh Kunto dalam karyanya memandang persolan masyarakat menggunakan pendekatan makro atau struktur dan dalam humanisasi lebih cenderung menggunakan teori social fungsional dan menggunakan pendekatan interpretative dalam memandang manusia.
Liberasi. Liberasi dalam ISP selaras dengan berbagai teori social yang bercorak partisipatif dan membawa etik tertentu, seperti prinsip sosialisme (marxisme, komunisme, teori ketergantungan dan teologi pembebasan) yakni semua membawa pada liberation. Mereka mempercayai bahwa perkembangan dapat dicapai dengan kebebasan. Libersi yang ditawarkan oleh ISP dalam dataran ilmu buka dalam dataran ideologis. Liberasi yang ditawarkan oleh Kunto dalam ISP paling tidak empat ranah seperti bidang ekonomi, social, budaya, dan politik dalam ranah system ilmu pengetahuan. Liberasi system ilmu pengetahuan dapat membebaskan manusia dari system pengahuan materialis, dominasi struktur misalkan kelas dan seks. Hal ini, Islam memandang kesetaraan antara lak-laki dan perempuan. Libeasi dari system social budaya merupakan transformasi social umat Islam yang berkembang dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Oleh karena itu, dalam transfomeasi tersebut diperlukan ilmu social yang bersifat communitarian. Liberasi dalam ekonmi bagaimana menciptakan suatu system ekonomi yang bercorak keadilan, hal ini dikarenakan adanya kesenjangan ekonomi. Penggagasan tentang keadilan ekonomi merupakan nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam. Hal ini sebagaiman telah diungkapka dalam al Qur’an dalam surat al Hasyr; 7 “supaya harta tidak hanya beredar diantara orang-orng yang kaya diantara kamu”, selanjutnya dalam surat al Zukhruf; 32 “apakah mereka yang berhak membagi-bagi rahmat Tuhanmu?”. Liberalisme dalam politik membebaskan dari system perpolitikan yang tidak adil dan terjadinya penindasan seperti system otoriterianisme, dictator dan neofeodalisme. Liberasi dalam ISP ini dapat diterjemahka dalam ilmu social selaras dengan pendekatan Marxisme. Hal ini dapat dilihat dari analisis yang telah digunakan oleh Kunto dalam memandang tertentu seperti persolan kemiskinan ia lebih cenderung memakai Marxian, tetapi bukan dalam dataran penghapusan kelas tetapi agar bagaimana tercita struktur yang berkeadilan.
Transendensi. Trasendensi dalam ISP merupakan menjiwai dari kedua unsure. Ia menjadi prinsip dalam semua agama dan filsafat perennial. Trsendensi merupakan kunci beriman kepada Allah, yang menjadi ruh alam humanisasi dan liberasi dalam melihat dan pengaplikasian dari ISP. Menurut Erich Fromm jika tidak menerima otoritas Tuhan secara otomatis akan berdampak pada; (1) relativisme penuh, dimana nilai dan norma sepenuhnya merupakan urusan pribadi. (2) nilai tergantung pada masyarakat sehingga yang dominant akan menguasai. (3) nilai tergantung pada kondisi biologis. Oleh karena itu, menurut Kunto agar umat Islam meletakan Allah sebagai pemengang otoritas, Tuhan yang maha objektif. Trasendensi yang dimaksudkan oleh Kunto dalam ISP merupakan penggunaan wahyu sebagai salah satu unsure dalam ilmu social. Pradigma wahyu digunakan dalam ilmu social yang dilakukan oleh Kuno dengan melalui objektifikasi terhadap ayat-ayat al Qur’an agar kebenaran yang didalamnya dapat diterima oleh seluruh manusia. Objektifikasi merupakan upya rasionalitas nilai yang diwujudkan dalam perbuatan rasional, sehingga orng laur dapat menikmati tanpa harus menyetujui nilai asalnya. Melalui objektifikasi menjadikan Islam yang bekerja secara aktif, sehingga menjadikan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta dalam artian Islam diturunkan sebagai rahmat kepada siapa pun tanpa memperhatikan warna kulit budaya dan sebagainya. Objektifisikasi merupakan konkritisasi dalam kenyakinan internal, perbuatan ini dapat objektif jika dapat dirasakan oleh non muslim sebagai suatu a natural atau wajar, tidak sebagai perbuatan keagamaan. Kunto mencontohkan tentang objektifisakasi ayat al Qur’an agar nilai-nilai Islam dapat diterima oleh semua umat manusia. Misalkan ancaman Tuhan kepada orang Islam sebagai orang yang mendustkan agama bila tidak memperhatikan kehidupan orang-orang miskin dapat diobjektifkan dengan program IDT. Kesetiakawanan nasional adalah objektifikasi dari ajaran tentang ukuwah. (Kutowjoyo, Identitas Politik Umat Islam).
ISP yang dilontarkan oleh Kunto diterjemahkan dari sifat ilmunya maka ISP bersifat partisipatoris untuk melakukan perubahan dan sekaligus arah dari perubahan itu sendiri. Ilmu ini serat dengan nilai-nilai, tidak status quo, dan berfihak kepada kemunisaan guna menciptakan khoirul ummat. ISP ilmu dalam aliran yang perfeksionis dan bersifat communitarian. Dalam metodologi penelitian ISP yang diharapkan penelitian lapangan dan langsung melakukan emansipasi guna menciptakan keadilan. Cara pencarian data yang dilakukan IS dengan metode wawancara dan observasi partisipatoris. ISP merupakan turunuan dari surat al Imran 110 menghasilkan tiga paradigama guna mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan. Tetapi masing-masing paradigama dalam ISP yang dalam memandang masyarakat bersifat integral dan menyeluruh, jika diturunkan dalam metodologi penelitian maka dapat berdiri sendiri tanpa adanya saling sapa. Kunto hanya mencoba dalam analisis dengan menggunakan ketiga paradigama tersebut, tetapi ia terkadang dalam melihat fenomena social cenderung dengan pendekatn Marxian kadang juga fungsional. Selanjutnya dalam ilmu social yang bersifat partisipatoris ada rangkaian dalam menjalankan keseimbangan antara teori dan praktek seperti dalam ilmu social kritis, dalam konsep praksisnya kerja dan komunikasi. Jika mau ditarik kedalam ISP Kunto belujm sempat merumuskannya. Tetapi jika ditelusuri dari berbagai karyanya ia mencoba mengintergrasikan ilmu social yag dari barat dengan nilai-nilai Islam. Hal ini seperti urainnya Heru Nugroho dalam menanggapi ISP yang dilontarkan oleh Kunto, ia mengatagorikan Hegelisme Religius. Serta yang membedakan konsep ISP dengan ilmu social Kritis adalah trasendensi. Kunto juga dalam melihat slam merupakan agama amal, bukannya teori saja tetapi harus diterapkan dalam masyarakat. Dari tujuan serta yang berada dalam konsep ISP dapat dilihat konsep praksis dari ISP ada merupakan praksis kerja, komuniksi dan praksis manusia sebagai mahluk Tuhan.
Praksis ISP dengan mendiologkan agama ini, dengan realiatas menjadikan agama berperan dan mengupayakan untuk melakukan transformasi dengan didasari oleh nilai-nilai agama. Transfomasi yang didasarkan oleh nilai-nilai agama menjadikan bentuk tranformasi serta arahannya jelas. Hal ini dapat dilihat bentuk transfoemasi yang dilakukan oleh nabi Muhammad dan nabi Musa dalam menghilangkan penindasan umatnya dari Fir’an. Bentuk transformasi yang dilakukan menciptakan masyarakat yang berkeadilan dan didasarkan dengan nilai-nilai Ilahiah sebagai sarana dan jalan dalam rangka beribadah kepada Tuhan.
Posted in: SPs UPI IPS Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Facebook
Rabu, 08 Januari 2014
KD IPS PGSD UBT
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
UJIAN AKHIR SEMESTER
Mata Kuliah : Konsep Dasar IPS
Program Studi : PGSD
Dosen Pengampu : Ahsan Sofyan, S.E.,M.Pd
Sifat Ujian : Take Home Exam
Hari/Tanggal : Kamis / 09 Januari 2014
SOAL ESSAY
Jawablah sesuai dengan Kemampuan Anda,dan Tuliskan Referensi setiap Jawaban yang Anda Kutip:
Jelaskan cara Pendidik/Guru mengembangkan potensi diri terutama skala Afektif,Kognitif, dan Psikomotorik siswa dalam pembelajaran IPS di SD?
Ilmu Pengetahuan Sosial berkaitan erat dengan Ilmu-ilmu Sosial. Coba Anda jelaskan Letak keterkaitan Tersebut?
Sebagai Guru IPS di Sekolah Dasar (SD), Anda harus mengajarkan Konsep-konsep Dasar IPS sebagai pokok/topik bahasannya. Agar tujuan instruksional pembelajaran itu dapat dicapai dengan optimal, kemampuan atau keterampilan apa saja yang harus anda miliki dalam melaksanakan kegiatan belajar/mengajar? Jelaskan!
Bagi seseorang, termasuk guru IPS, selain Guru harus melaksanakan tugas-tugas kependidikan di sekolah, Guru juga harus berperan di masyarakat? Jelaskan mengapa demikian?
Kepribadian seseorang dipengaruhi oleh factor-faktor yang berasal dari luar dirinya (lingkungan)! Coba Anda jelaskan factor-faktor tersebut?
SELAMAT BEKERJA
PKN SD1
TAKE HOME EXAM
UJIAN AKHIR SEMESTER
SEMESTER GANJIL 2013-2014
Mata Kuliah : Pendidikan PKn SD 1
Program Studi : PGSD
Jenjang : S-1
Dosen Pengampu : Ahsan Sofyan, SE., M.Pd
PETUNJUK
Jawaban harus disertai dengan referensi dan daftar referensi harus dicantumkan
Penulisan daftar literatur dan kutipan berdasarkan pedoman penulisan karya ilmiah.
Jawaban harus dikerjakan sendiri-sendiri Redaksi tidak boleh sama.
Di ketik dengan Time New Roman Font 12 dengan 1½ spasi dan pakai Cover : ada Nama, dan NPM serta Kelas.
Dikumpulkan tanggal 07 Januari 2014 Jam 09.00 – 00.00
Paradigma baru merupakan model atau kerangka berpikir sejalan dengan dinamika perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara menuju kehidupan masyarakat yang lebih demokratis, maka pendidikan kewarganegaraan sebagai mata pelajaran pembangunan karakter bangsa (National Character Building).
Bagaimana proses dan peran paradigma baru bidang studi di pkn bagi pendidikan anak bangsa guna mengembangkan pola dinamika kehidupan dimasyarakat.
Uraikan secara rinci tentang karakteristik bidang studi pkn model paradigma baru yang dilandasi oleh esensi pendidikan demokrasi di indonesia.
Uraikan bentuk dasar bidang studi PKn bagi mahasiswa PGSD dan bagaimana kewajiban guru dalam mengajar bidang studi PKn yang membawa misi ruang lingkup butiran dalam hidup masyarakat.
Proses pembelajaran tidak boleh over assimilation agar tidak terjadi ketidaksinambungan yang dapat merubah struktur yang ada. Seperti yang terdapat di dalam literature pendidikan, bahwa seorang anak mengalami pertumbuhan yang selama itu pula membutuhkan bimbingan dengan strategi mengajar, maka guru memiliki pemahaman tentang metode belajar mengajar.
Tugas saudara menjabarkan peran guru di dalam PBM, antara lain:
Guru harus memiliki keterampilan bagaimana cara menuangkan kurikulum di dalam proses pembelajaran di kelas yang mengacu pada dunia ranah.
Guru yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan adalah guru yang memahami bagaimana teori atau cara mengajar yang baik.
Apakah guru itu adalah pekerja potensi.
Secara empiris, demokrasi dalam pendidikan dapat dilakukan melalui berbagai pola/sistem pendekatan pendidikan dan pengajaran konstruktivisme, penelitian tindakan kelas dan supervise klinis,
Bagaimana pola bentuk pendekatan yang acuannya pada penelitian tindakan kelas supaya PBM demokrasi menjadi landasan pemberdayaan warga negara (Citizen empowerment).
Bagaimana totalitas seorang guru dalam menetapkan pola interkasi demokrasi pada anak didiknya secara empiris pada lingkungan sekitar?
Apakah alasan PBM demokrasi di negara indonesia tidak bisa berjalan sesuai dengan peran Hidden Curriculum)?
SELAMAT BEKERJA
Sabtu, 21 Desember 2013
Arung ri tanah ogi
Arung Palakka
I Tenritetta Arung Palakka, Petta Malampee’ Gemmena, Batara Tungkena Tana Ugi, ternyata bukan hanya seorang panglima perang yang berani dan berhati keras. Dibalik itu, ia mempunyai kepribadian yang lunak. Setelah memenangkan Perang Makassar yang berkahir dengan Perjanjian Bongaya 1667, Arung Palakka memilih tinggal di Makassar dan membuat Istana kecil di Bontoala. Ia kemudian menunjuk La Patau kemanakannya untuk menggantikannhya sebagai Arungpone.Hubungann ya dengan penguasa Belanda yang tinggal di Benteng Rotterdam , berjalan baik walaupun tidak begitu hangat. Penguasa Belanda tampaknya masih sangat perlu memelihara hubungan dengan Bone penguasa seluruh kerajaan di Sulawesi -Selatan. Karena itu, penguasa Belanda sangat menghormati Arung Palakka serta apa yang telah dikatakannya. Termasuk antara lain, keputusannya untuk menyerahkan kerajaan Bone kepada La Patau kemanakannya.
Tetapi Arung Palakka merasa bahwa sikap permusuhan antara kerajaan Bone dan Gowa tidak bisa terus menerus terjadi. Baginda sangat memaklumi, betapa terhina dan dipermalukannya panglima-panglima perang kerajaan Gowa, ketika baru saja dikalahkan dalam Perang Makassar. Arung Palakka, ingin segera menghapuskan semua stigma dan penghinaan itu. Untuk itu, ia membuat sebuah paviliun besar di Gowa, dimana setiap malam ia memperkenankan panglima muda kerajaan Gowa berpesta dan bergembira. Mereka yang terluka dalam peperangan, dipangilkan seorang Kadhi yang membacakan doa dan memohon kesembuhannya. Apalagi, Arung Palakka sangat menghormati Karaeng Patingalloang, seorang intelektual besar dan pembesar kerajaan Gowa yang pernah menjadi ayah angkatnya, ketika ia sekeluarga menjadi tawanan Kerajaan Gowa jauh sebelum Perang Makassar meletus. Pesta ini diadakan untuk menandingi pesta besar-besaran pasukan Bone dan sekutunya serta pasukan Belanda di Bontoala, yang siang malam merayakan kemenangan Bone.
Arung Palakka berpikir, untuk menyatukan Gowa dan Bone, tidak ada jalan lain adalah mengadakan “pertalian keluarga” antar keduanya bahkan dengan kerajaan Luwu yang pernah membantunya. Untuk itu, Arung Palakka mempersunting putri Karaeng Bontomarannu, panglima pasukan laut Makassar menjadi isteri keduanya, setelah Daeng Talele. Sebelumnya, seorang kemanakannaya sudah dipersunting oleh penguasa di kerajaan Luwu. Setelah ia meninggal karena sakit keras pada tanggal 6 April 1696 , La Patau mengambilalih kepemimpinan Arung Palakka sebagaimana kehendak Arung Palakka sendiri. La Patau Matama Tikka Walinonoe’ kemudian melanjutkan kebijakan Arung Palakka dengan mempersunting salah seorang putri Karaeng Patukangan, seorang kerabat dan pembesar kerajaan Gowa yang bernama I Mariama Karaeng Patukangan. Pada makam La Patau yang diberi gelar Matinrio ri Nagauleng, sekitar 30 km dari jalan poros menuju Sengkang, sekarang makam I Mariama terletak tidak berapa jauh dari makam La Patau serta isteri-isterinya yang lain.
KAMPANYE “PEMBODOHAN’ PILKADA
Pada bulan Mei 2007 yang lalu, saya sempatkan berziarah kemakam La Patau Matinroe ri nagauleng, cikal bakal aristokarasi Sulawesi-Selatan ini di Bone. Makam La Patau telah dipugar oleh pemerintah daerah dengan baik. Makam itu terletak dalam tembok yang tebal, kemudian diberi atap pelindung . Seluruh makam yang kira-kira seluas seratus meter persegi. Dalam tembok yang terasa`tenang dan teduh itu, terletak sejumlah isteri dan kerabat La Patau Matama Tikka Walinonoe’, matinroe ri Nagauleng.
Inilah gagasan Arung Palakka untuk mendamaikan seluruh kerajaan di Sulawesi-Selatan agar tidak terus menerus bermusuhan. Penguasa kerajaan Bone, Gowa dan Luwu bahkan kerajaan di Ajatapareng, Soppeng , Sengkang, Tanete, Barru sampai selatan Makassar , Bataeng, Sinjai, Polongbangkeng, sudah tidak bisa dipilah-pilah lagi. Itulah “politik kawin mawin” yang sengaja diciptakan setelah Perang Makassar berakhir.
Sebagai contoh, Raja Gowa ke- I Makkulau Karaeng Lembangparang mempunyai dua putra masing-masing I Mappanyukki dan I Panguriseng Arung Alitta. I Mappanyukki kemudian diangkat menjadi Datu Suppa lalu dinobatkan lagi menjadi Arungpone . La Sinrang ( Sawitto) adalah kemanakan La Temma Addatuang Sawitto. Sementara Permaisuri I Makkualau Karaeng Lembangparang Raja Gowa yang bernama I Tenri Paddanreng adalah sepupu La Temma Addatuang Sawitto. Jadi La Sinrang adalah kemanakan permaisuri I Makkulau Sultan Husain Raja Gowa. Seperti diketahui Andi Abdullah Bau Massepe, pejuang nasional yang pernah menjadi Datu Suppa setelah A.Makkasau pamannya, adalah putra I Mappanyukki Arungpone. A.Abdullah Bau Massepe bersaudara dengan A.Pangerang Petta Rani, mantan Gubernur Sul-Sel.
I Makkulau Karaeng Lembangparang, mempunyai saudara bernama I Mangi-mangi Karaeng Bontonompo, yang kemudian menggantikannya menjadi Raja Gowa. I Mangi-mangi mempunyai anak bernama La Idjo Karaeng La Lolang yang kemudian menjadi Raja Gowa terakhir. Baginda I Mangi-mangi memperisterikan I Kunjung Karaeng Tanatana, putri I Nyula Mayor Bone. I Mappanyukki Arungpone ke XXII memperisterikan putri La Parenrengi Karaeng Tinggimae Datu Suppa ke XXIV putra Manggarabarani Arung Matowae Wajo . Isterinya bernama Dalawetoeng adalah putra La Panguriseng Addatuang Sidenreng. Betapa rumitnya hubungan keluarga bangsawan yang sudah saling bersilangan ini,
Karena itu, ketika kampanye Pilkada Gubernur baru-baru ini, ada kampanye yang menggunakan aristokrat membuat dikotomi antara Bugis dan Makassar, Bugis dan Turatea, maka kampanye itu adalah kampanye “pembodohan”. Sekarang, dalam suasana yang sudah “meelting pot” berbaur dan campur aduk, mengangkat isu seperti ini, total adalah “pembodohan”.
ASAL MULA KATA SULAWESI
Sulawesi, adalah nama sebuah pulau yang berada di tengah-tengah Indonesia. Bentuknya cukup unik, seperti huruf K dan dilalui oleh garis meridian 120 derajat Bujur Timur, dan juga terhampar dari belahan bumi utara sampai selatan. Menurut wikipedia, nama Sulawesi kemungkinan berasal dari kata ‘Sula’ yang berarti pulau dan ‘besi’ yang menurutnya banyak ditemukan di sekitar Danau Matana. Pada dokumen dan peta lama, pulau ini dituliskan dengan nama ‘Celebes’. Hikayat asal usul nama ‘Celebes’ dalam Bahasa Bugis…
Wettu rioloE, wettu pammulanna engka to macellaE gemme’na, no pole lopinna ri birittasi’E, lokka i makkutana ko to kampongE. To kampong E wettunna ro, na mapparakai lopinna, masolang ngi engsele’na. Na wettunna makkutana i to macella’E gemme’na, to kampong E de’ na pahang ngi, aga hatu na pau. Kira-kira pakkutanana yaro to macella’E gemme’na, mappakkoi: “Desculpar-me, qual é o nome deste local?” Yero to kampongE, naaseng ngi kapang, “agatu ta katenning?”. Mabbeli adani to kampongE, “Sele’bessi”. Pole mappakoni ro, na saba’ asenna ‘Celebes’.
Terjemahan bebas: Pada waktu lampau, pada saat pertama kali rombongan orang yang berambut merah turun dari perahu dan menghampiri penduduk setempat yang sedang bekerja membuat perahu. Pimpinan rombongan tersebut bertanya mungkin dalam bahasa Portugis yang tidak dimengerti, mungkin bertanya ‘Apa nama tempat ini?’ Penduduk yang ditanyai, karena tidak paham, hanya mengira-ngira mungkin dia ditanya benda apa yang sedang dia pegang? Dengan spontan penduduk tersebut menjawab ‘Sele’bessi’ yang artinya engsel besi. Sejak saat itu, pimpinan orang yang berambut merah mencatat lokasi yang mereka datangi bernama daerah ‘Celebes’.
Salah satu ekspedisi ilmiah dunia terkait dengan Sulawesi dilakukan oleh Alfred Russel Wallace yang mengemukakan suatu garis pembatas tentang flora dan fauna yang ada di Indonesia. Juga ekspedisi Snellius (Universitas Leiden) yang mempelajari tentang kondisi bawah permukaan sekitar Sulawesi sampai ke Maluku. Kedua ekspedisi ilmiah pada zaman tersebut menggunakan nama ‘Celebes’.
Yang menarik adalah masyarakat lokal pada waktu itu belum menyadari untuk memberikan nama ke pulau tempat mereka berdiam. Sehingga untuk hal ini, Celebes merupakan eksonim untuk pulau yang nyaris berbentuk huruf K ini. Dari Celebes ini kemudian berevolusi menjadi ‘Sulawesi’ yang menjadi endonim sampai saat ini.
............................................................................................................................
Pada lambang daerah Sulawesi Selatan ada tulisan lontara berbahasa Makassar.
Tertulis: "Kualleangi Tallanga Natowalia" dibawah gambar perahu khas Phinisi
Lalu diterjemahkan bebas menjadi : "Sekali Layar Terkembang Pantang Biduk Surut Ke Pantai"
Namun arti sebenarnya kata "Kualleangi Tallanga Natowalia" adalah "Lebih Kupilih Tenggelam (di lautan) daripada Harus Kembali Lagi (ke pantai)".
Sulawesi sendiri dulu disebut Celebes oleh Belanda. konon berasal dari kata Sele' Bessi (badik besi - bahasa bugis).
Konon dahulu waktu orang Portugis datang, dia bertemu dengan seorang pribumi yang sedang attompang sele' alias badik (merawat badik dengan menggunakan jerus nipis)*.
Ketika itu orang Belanda bertanya: "Apa nama daerah ini?"
Tapi karena bahasanya kurang nyambung, pribumi yg ditanya mengira dia ditanya "apa nama benda yg kamu pegang itu?"
Maka dengan enteng Sang Pribumi menjawab: "Sele' Bessi"
Nah... dari kata Sele' Bessi inilah terbentuk kata Celebes alias Sulawesi...
,...........................................................................................................................
Dulu ada Pelaut Portugis yang Singgah di Makassar dan Menemui Raja Gowa untuk meminta Izin berlayar sekaligus menanyakan nama Daerah ini, tetapi pada saat orang Portugis itu Menghadap ke Hadapan Raja, Raja sedang Membersihkan Sele'nya (Kerisnya), Nah pada saat itu Orang Portugis Bertanya kepada Sang Raja dengan bahasa Portugis bahwa daerah ini namanya Apa???, karena Sang Raja tidak mengerti Bahasa Portugis, maka sang Raja hanya Memperkirakan arti pertanyaan itu, Sang Raja memperkirakan bahwa orang Portugis ini sedang mempertanyakan apa nama Benda yang ada di Tangan Sang Raja, maka Sang Raja pun menjawabnya dengan SELE' BASSI. singkat cerita Orang Portugis ini pun mencatat nama SELE' BASSI itu untuk menamai daerah kita, dan mereka lebih mudah menyebut SELE' BASSI dengan sebutan CELEBES.
Nb : Mohon Maaf ..! catatan diatas ga jelas asal usulnya hanya sekedar INFORMASI.
LAGALIGO
La Galigo adalah epik terpanjang dunia. Ianya wujud sebelum epik Mahabharata. Ianya mengandungi sebahagian besar puisi ditulis dalam bahasa bugis lama. Epik ini mengisahkan tentang kisah Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau. La Galigo tidak boleh diterima sebagai teks sejarah kerana ianya penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa. Walaubagaimanapun, ia tetap memberi gambaran kepada sejarahwan mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke 14.
Sebahagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di Eropah, terutamanya di Perpustakaan Leiden. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah mukasurat yang tersimpan di Eropah dan di yayasan ini adalah 6000 tidak termasuk simpanan oleh orang perseorangan.
Kitaran Hayat La Galigo
500px-la_galigo_geneology.jpg
Epik dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulwesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu mesyuarat keluaraga dari beberapa kerajaan termasuklah Senrijawa dan Peretiwi dari alam ghaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge’ langi’ menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelaran Batara Guru. La Toge’ langi’ kemudiannya berkahwin dengan sepupunya We Nyili’timo’, anak kepada Guru ri Selleng, Raja alam ghaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, beliau harus melalui suatu tempoh ujian selama 40 hari 40 malam. Tidak lama kemudiannya, beliau pun turun ke bumi, dikatakan turun di Ussu’, sebuah daerah di Luwu’ dan terletak di Teluk Bone. Batara Guru kemudiannya digantikan oleh anaknya, La Tiuleng dengan memakai gelaran Batara Lattu’. Beliau kemudiannya mendapat dua orang anak kembar iaitu Lawe atau La Ma’dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware’) dan kembarnya, seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua-dua kembar itu tidak membesar bersama dan kemudian Sawerigading, yang pada mulanya menganggap bahawa We Tenriyabeng tidak mempunyai hubungan darah dengannya, ingin berkahwin dengannya. Tetapi disebabkan ini adalah suatu larangan, dia meninggalkan Luwu’ dan bersumpah tidak akan kembali. Dalam perjalannya ke Kerajaan Cina, beliau telah mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio iaitu Setia Bonga. Sesampainya di Cina, beliau berkahwin dengan Datu Cina iaitu We Cudai.
Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan antara tempat yang dilawati beliau ialah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (Sama ada Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau’ dan Jawa Ritengnga (kemungkinan Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau’ dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Beliau juga dikisahkan melawat syurga dan alam ghaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri daripada saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tetamu yang pelik seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang berambut di dada.
Sawerigading adalah ayahanda I La Galigo (gelaran Datunna Kelling). I La Galigo juga seperti ayahandanya, seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada tolok bandingan. Beliau mempunyai empat orang isteri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayanhandanya, I La Galigo tidak pernah menjadi raja.
Anak lelaki I La Galigo iaitu La Tenritatta’ adalah yang terakhir di dalam epik itu untuk dimahkotakan di Luwu’.
Kitaran epik ini merujuk kepada waktu dimana penempatan Bugis berada di persisiran pantai Sulawesi. Ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Penempatan awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah pula terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahan mengandungi istana dan rumah-rumah orang atasan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Majlis (Baruga) berfungsi untuk tempat bermesyuarat dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing amatlaj dialu-alukan di kerajaan Bugis ketika itu. Selepas membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing boleh berniaga. Selalunya, pemerintah berhak berdagang dengan meraka menggunakan sistem barter, diikiuti golongan atasan atau bangsawan dan kemudiannya orang kebanyakkan. Perhubungan antara kerajaan adalah memalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalunya diarah untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum memikul sebarang tanggungjawab dan Sawerigading dikatakan sebagai model mereka.
LA INCA 1
Menggantikan saudaranya La Tenri Rawe sebagai Arumpone. Kedudukan ini memang telah diserahkan ketika La Tenri Rawe masih hidup. Bahkan La Tenri Rawe berpesan kepadanya agar nanti kalau sampai ajalnya, La Inca dapat mengawini iparnya (isteri La tenri Rawe) yaitu We Tenri Pakiu Arung Timurung
Setelah menjadi Mangkau’, KaraengE ri Gowa datang untuk menyerang Bone. Ternyata La Inca tidak mewarisi kepemimpinan yang telah dilakukan oleh saudaranya. Banyak langkah-langkahnya yang sangat merugikan orang banyak. Para Arung Lili dimarahi dan dihukumnya. Salah seorang Arung Lili yang bernama La Patiwongi To Pawawoi diasingkan ke Sidenreng. Karena sudah terlalu lama berada di Sidenreng, maka ia pun kembali ke Bone untuk minta maaf.
Namun apa yang dialami setelah kembali ke Bone, dia malah diusir dan dibunuh. Arung Paccing dan cucunya yang bernama La Saliwu, Maddanreng Palakka yang bernama To Saliwu Riwawo serta masih banyak lagi bangsawan Bone yang dibunuhnya.
Pada suatu hari dia melakukan tindakan yang sangat memalukan yaitu mengganggu isteri orang. Karena didapati oleh suaminya, ia lantas mengancam orang tersebut akan dibunuhnya, sehingga orang tersebut melarikan diri. Untuk menutupi kesalahannya, isteri orang tersebut yang dibunuh. Ia pun membakar sebahagian Bone sampai di Matajang dan Macege. Orang Bone pun mengungsi sampai ke Majang.
Melihat orang Bone pada datang, Arung Majang bertanya,
”Ada apa gerangan di Bone?”
Dengan ketakutan orang Bone berkata,
”Kami tidak bisa mengatakan apa-apa, Puang. Silahkan Puang melihat sendiri bagaimana Bone sekarang”.
Mendengar laporan orang Bone, Arung Majang keluar melihat ke arah Bone. Disaksikannyalah api yang melalap rumah-rumah penduduk yang dilakukan oleh La Inca. Arung Majang lalu menyuruh beberapa orang untuk pergi ke Palakka memanggil I Damalaka. Tidak lama kemudian I Damalaka tiba di Majang. Sesampainya di rumah Arung Majang ia pun disuruh untuk ke Bone menghadapi La Inca.
I Damalaka menyuruh salah seorang untuk pergi menemui Arumpone dan menyampaikan agar tindakannya itu dihentikan. Akan tetapi setelah orang itu tiba di depan La Inca, ia pun dibunuh. Setelah itu, La Inca lalu membakar semua rumah yang ada di Lalebbata. Maka habislah rumah di Bone.
Mendengar itu, Arung Majang pergi ke Bone disusul oleh I Damalaka untuk menghadapi La Inca yang tidak lain adalah cucunya sendiri.
“Mari kita menghadapi La Inca, dia bukan lagi sebagai Arumpone karena telah melakukan pengrusakan”.
Berangkatlah semua orang mengikuti Arung Majang termasuk I Damalaka. Didapatinya La Inca sendirian di depan rumahnya. Setelah melihat orang banyak datang, La Inca lalu menyerbu dan menyerang membabi buta. Banyak orang yang dibunuhnya pada saat itu dan kurang yang mampu bertahan, akhirnya La Inca kehabisan tenaga. Karena merasa sangat payah, ia pun melangkah menuju tangga rumahnya. Ia bersandar dengan nafas yang terputus-putus.
Melihat cucunya sekarat, Arung Majang berlari mendekati dan memangku kepalanya. La Inca pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Oleh karena itu disebutlah MatinroE ri Addenenna (meninggal di tangga rumahnya).
Adapun anak La Inca MatinroE ri Addenenna dari isterinya We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE adalah La Tenri Pale To Akkeppeang kawin dengan kemenakannya yang bernama We Palettei KanuwangE anak dari We Tenri Patuppu dengan suaminya To Addussila. Kemudian La Tenri Pale kawin lagi dengan We Cuku anak Datu Ulaweng. Dari perkawinan ini lahirlah We Pakkawe kemudian melahirkan We Panynyiwi Arung Mare.
We Panynyiwi kawin dengan pamannya sepupu dari ibunya MatinroE ri Bukaka. Dari perkawinan ini lahirlah We Daompo yang kawin dengan La Uncu Arung Paijo. Lahirlah La Tenri Lejja. Inilah yang melahirkan La Sibengngareng yang kemudian menjadi Maddanreng di Bone.
Anak La Inca berikutnya adalah We Tenri Sello MakkalaruE kawin dengan kemenakannya yang bernama La Pancai To Patakka Lampe Pabbekkeng, anak dari We Tenri Pala dengan suaminya To Alaungeng Arung Sumaling. Lahirlah La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka, kemudian lahir pula La Tenri Aji MatinroE ri Siang.
Selanjutnya lahir We Tenri Ampa Arung Cellu yang kawin dengan To MannippiE Arung Salangketo yang kemudian melahirkan We Tenri Talunru.
.
LAPARENRENGI ARUNG UGI 1845-1857
La Parenrengi sebagai Arung Lompu menggantikan pamannya La Mappaseling Arung Pannyili sebagai Mangkau’ di Bone. La Parenrengi adalah anak dari La Mappaewa Arung Lompu To Malompo ri Bone saudara kandung dengan MatinroE ri Salassana. Sedangkan ibunya bernama We Tabacina atau Bau Cina Karaeng Kanjenne anak dari La Pasanrangi Petta CambangE Arung Malolo Sidenreng
Anak MappalakaE dengan Petta CambangE, adalah ; pertama bernama La Patongai Datu Lompulle Ranreng Talotenre. Inilah yang dipersiapkan menjadi Addatuang Sidenreng, akan tetapi Petta CambangE berperang dengan saudaranya yang bernama La Panguriseng sehingga kedudukan tersebut direbut oleh La Panguriseng. Anak yang kedua bernama La Unru Arung Ujung, ketiga bernama We Tabacina Karaeng Kanjenne dan yang keempt bernama We Batari, meninggal diwaktu kecil.
We Tabacina kawin dengan La Mappaewa Arung Lompu To Malompo ri Bone. Dari perkawinannya itu lahirlah La Parenrengi. Inilah yang disepakati oleh Hadat Tujuh Bone untuk diangkat menjadi Arumpone. Anak MappalakaE dengan Petta CambangE berikutnya, adalah; Toancalo Arung Amali Tomarilaleng Bone Ranreng juga di Talotenre. Berikutnya bernama We Rukiyah dan berikutnya lagi bernama Sitti Saira Arung Lompu.
Sitti Saira kawin dengan anak sepupu satu kalinya yang bernama Singkeru’ Rukka Arung Palakka MatinroE ri Topaccing. Dari perkawinannya itu lahirlah We Patima Banri Arung Timurung.
La Parenrengi Arung Ugi yang telah diangkat menjadi Arumpone dan masih tetap didampingi oleh pamannya yang bernama La Mappangara Arung Sinri. Dalam khutbah Jumat nama Arumpone La Parenrengi disebut sebagai Sultan Ahmad Saleh Mahyuddin. La Mappangara Arung Sinri masih tetap berjasa dalam memperbaiki hubungan antara Bone dengan Kompeni Belanda.
Karena jasa-jasa La Mappangara Arung Sinri sehingga Kompeni Belanda benar-benar memperlihatkan perhatiannya dalam menjalin kerja sama dengan Arumpone.Pembesar Kompeni Belanda yang ada di Ujungpandang sengaja masuk ke Bone sebagai tanda bahwa Bone dengan Kompeni Belanda bersahabat yang dimulai dari MatinroE ri Salassana.
Ketika Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Tuan de Peres masuk ke Bone pada tahun 1846 M. Arumpone La Parenrengi menjemput dan menerimanya dengan baik. Namun tidak seorangpun yang menduga bahwa persahabatan Bone dengan Kompeni Belanda akan mengalami masalah. Seperti kata orang tua bahwa sedangkan piring satu tempat bisa saling berbenturan, walaupun tidak ada yang menggoyangkannya.Begitu pula Arumpone La Parenrengi dengan Kompeni Belanda, persahabatan yang begitu akrab, tiba-tiba saja merenggang.
Karena La Mappangara Tomarilaleng Bone mengambil jalan pintas yaitu untuk minta kepada Arumpone agar dirinya dapat diberhentikan sebagai Tomarilaleng. Permintaan itu dipenuhi oleh Arumpone La Parenrengi dengan pertimbangan bahwa pamannya itumemang sudah tua dan ingin istirahat.
Dalam tahun 1849 M. setelah tugasnya sebagai Tomarilaleng Bone dilepaskannya, maka naiklah ke Ujungpandang untuk minta perlindungan kepada Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Tuan de Peres. Kepada Arung Sinri Pembesar Kompeni Belanda menunjukkan tempat yang baik untuk ditempati, yaitu Marus. Setelah kesepakatan antara Arung Sinri dengan Pembesar Kompeni Belanda selesai dan Arung Sinri setuju untuk tinggal di Marus, maka kembalilah ke Bone mengumpulkan semua barang-barangnya dan segenap keluarganya untuk dibawa ke Ujungpandang.
Setelah semua barang-barangnya selesai dikemas dan segenap keluarganya yang akan mengikutinya dipersiapkan, La Mappangara Arung Sinri minta izin kepada kemanakannya Arumpone untuk berangkat ke Ujungpandang. Arumpone La Parenrengi melepas kepergian pamannya diikuti oleh beberapa keluarganya. Arung Sinri bersama rombongannya berjalan menelusuri hutan, melewati Lappariaja akhirnya sampai di padang yang luas di Maros, di tempat yang telah ditunjukkan oleh Pembesar Kompeni Belanda, yaitu tempat yang bernama SessoE.
Di tempat itulah Arung Sinri dengan seluruh pengikutnya singgah dan menetap. Kepada pengikutnya dibagikan tanah untuk digarap sebagai sumber penghidupan dengan keluarganya.
Arung Sinri yang dikenal sangat patuh dalam melaksanakan syariat Islam, maka iapun merasa tenang dan aman dalam beribadah ditempatnya yang baru itu. Beberapa saat kemudian Arung Sinri memilih suatu tarekat untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, yaitu tarekat khalwatiyah. Pergilah ke Barru menemui seorang ulama’ yang bernama Haji Kalula. Inilah yang membimbingnya untuk lebih memperdalam ilmu agama Islam yang dianutnya. Anak cucunyalah secara turun temurun yang menjadi Pangulu Lompo tarekat Khalwatiyah itu.
Pada tanggal 16 Februari 1857 M. Arumpone La Parenrengi meninggal dunia di Ajang Benteng. Oleh karena itu dinamakanlah MatinroE ri Ajang Benteng. Selanjutnya digantikan oleh janda sepupu satu kalinya yang bernama We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara.
LAPABBENTENG
Petta lawa 1945-1951
La Pabbenteng Petta Lawa Arung Macege menjadi Mangkau’ di Bone yang diangkat oleh NICA (Nederland Indiche Civil Administration), suatu organisasi baru yang dibentuk oleh Belanda dan sekutunya yang bertujuan untuk berkuasa kembali di Indonesia. Padahal Bangsa Indonesia telah memperoklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Sukarno-Hatta.
Setelah La Mappanyukki berhenti menjadi mangkau’ di Bone, maka tidak ada lagi putra mahkota yang dapat menggantikannya kecuali La Pabbenteng Petta Lawa Arung Macege. Oleh karena itu, NICA mengangkatnya menjadi Arumpone atas persetujuan anggota Ade’ Pitu-E Bone menggantikan La Mappanyukki Datu Malolo ri Suppa.
Sebelum diangkat menjadi Mangkau di Bone, La Pabbenteng memang selalu dekat dengan NICA dan selalu bersama-sama apabila NICA bepergian. Oleh karena itu dia diberi pangkat kemiliteran yaitu Kapten Tituler. Setelah diangkat menjadi Mangkau’ Bone, pangkatnya dinaikkan menjadi Kolonel Tituler.
Pada waktu La Mappanyukki akan diangkat menjadi Mangkau’ di Bone, salah seorang anggota Hadat Tujuh Bone yang menolaknya adalah La Pabbenteng Arung Macege. Karena menurutnya dia lebih berhak untuk menduduki akkarungengE ri Bone sebab dialah yang paling dekat dengan La Pawawoi Karaeng Sigeri MatinroE ri Jakarta. Akan tetapi sebelum Perang Dunia II La Pabbenteng memperbuat kesalahan di Bone yaitu membunuh sepupunya yang bernama Daeng Patobo. Oleh karena itu, Gubernur Belanda bersama Hadat Tujuh Bone memutuskan untuk mengasingkan La Pabbenteng. Setelah datang Jepang, barulah La Pabbenteng kembali dari pengasingannya.
Ketika ia diasingkan, kedudukannya sebagai Arung Macege digantikan oleh La Pangerang Daeng Rani anak La Mappanyukki Datu Malolo ri Suppa Arumpone ke 32. Kedudukan itu berakhir setelah diasingkan oleh NICA ke Tanah Toraja bersama ayahnya La Mappanyukki karena pernyataannya yang tetap berdiri dibelakang Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Sukarno Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pada saat La Pabbenteng menjadi Arumpone ia melengkapi perangkat pemerintahannya dengan mengangkat To Marilaleng La Maddussila Daeng Paraga menjadi MakkedangE Tanah. Selanjutnya La Sulo Lipu Sulewatang Lamuru diangkat menjadi To Marilaleng menggantikan La Maddussila Daeng Paraga.
La Pabbenteng kawin di Sidenreng dengan We Dala Uleng Petta Baranti, anak dari We Bunga dengan suaminya yang bernama La Pajung Tellu Latte Sidenreng. Cucu langsung Addatuang Sidenreng dari ibunya dan cucu langsung Arung Rappeng Addatuang Sawitto dari ayahnya.
Arumpone La Pabbenteng kemudian diperintahkan oleh NICA untuk mempersatukan arung-arung (raja-raja) di Celebes Selatan untuk membentuk organisasi yang bernama Hadat Tinggi. Organisasi ini diketuai sendiri oleh Arumpone La Pabbenteng dan wakilnya adalah La Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang. Hadat Tinggi itulah yang ditempati oleh Gubernur NICA untuk melaksanakan pemerintahannya di Celebes Selatan.
Pada masa pemerintahan La Pabbenteng di Bone, NICA mengadakan Komperensi Malino yang diprakarsai oleh Lt.G.Dj.Dr.H.J.van Mook, sekaligus sebagai pimpinan. Komperensi itu dihadiri oleh wakil-wakil dari Celebes, Sunda Kecil dan Maluku yang bertujuan membentuk suatu negara dalam negara Republik Indonesia yaitu Negara Indonesia Timur (NIT).
Pada tanggal 12 November 1948, Gubernur NICA di Ujungpandang menyerahkan kepada Arumpone La Pabbenteng untuk menjadi Ketua Hadat Tinggi dan memasukkan sebagai satu bahagian dari Negara Indonesia Timur. Namun bentukan NICA itu tidak berumur panjang, sebab pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda menyerahkan kedaulatan Republik Indonesia kepada Bangsa Indonesia. Selanjutnya terbentuklah Republik Indonesia Serikat dan bubar pulalah Hadat Tinggi bentukan NICA.
Dalam tahun 1950 La Pabbenteng mengundurkan diri sebagai Arumpone, dia berangkat ke Jawa bersama isterinya. Begitu pula anggota Hadat Bone, semua meninggalkan kedudukannya sebagai anggota Hadat Bone.
TAKKEBUKU DIANGKAT MENJADI RAJA
(ARUNG ENREKANG PERTAMA)PADA ABAD XV M.
Pada waktu Takkebuku dewasa dikawinkan dengan Mappesangka dari Cepakan seorang yang cakap didalam membuat peraturan oleh karena itu dia banyak membantu istrinnya yang memegang dua kelompok pemerintahan ialah Taulan dan Tinggalung.
Takkebuku melahirkan seorang anak perempuan yang bernama Kota yang setelah dewasa dikawinkan dengan Pasoloi anak Laki-laki Puang Timbang Ranga. Waktu upacara perkawinan diadakan rakyat Timbang Ranga membuat Baruga di manena kampung Bitu Ku’ku.
Yang kemudian setelah perkawinan selesai Pasoloi membangun rumah di sini karena kerbaunya disekitar tempat ini. Didalam perkawinan Pasoloi memotong 9 ekor kerbau 7 ekor di makam didalam perjalanan antara Bitu dan Batili seekor diinjak kepalanya waktu turun di rumahnya dan seekor waktu naik di rumahnya pengantin perempuan.
Didalam upacara perkawinan ini dihadiri seluruh anggota Hadat orang-orang tua kampung dari Taulan, Tinggalung, Timbang, Cemba, tidak ketinggalan Tomakaka Kulande, Kendean, Andongi, Tapuan, Salise. Salah seorang diantara mereka ini mulai berbicara kepada hadirin malahan dengan suara berteriak mengatakan karena pasoloi dengan Kota sudah dikawinkan maka puang Timbang Ranga mengabungkan Timbang dengan Taulan dan Tinggalung dibawah pimpinan Takkebuku.
Kemudian puang Cemba berdiri mengatakan karena Puang Taulan keturunan Tomanurun Puang Palipada begitu juga Cemba dan Timbang, maka saya mengatakan Cemba bergabung denganTaulan, Tinggalung, Timbang dibawah Pimpinan Puang Takkebuku. Mappesangka suami Takkebuku Puang Endekan, berkata bahwa keempat pemerintahan ini bergabung maka sebaiknya diberikan nama gabungan Pemerintahan ini dan dibuatkan ketentuan atau peraturan.
Pada waktu itu disetujui gabungan ini diberi nama KERAJAAN ENREKANG dan ke empat kepala pemerintahan digelar PUANG TAKKE, LILI, MADIKA dan PITU ANAK BANUWA mengurus makanan Takkebuku Puang Endekan masing-masing :
Bisang
Bitu
Leon
Osso
Tondon
Randanan
Malauwe
Sedang empat Gajang ditaking masing-masing :
Kaluppini
Kotu
Lekkong
Kabere
Dan bahagian persenjataan adalah Kampung Massemba.
Pada waktu kerajaan Bone mengetahui ada kerajaan baru dengan nama Kerajaan Enrekang, maka ditugaskan beberapa ratus tentara Kerajaan Bone menyerang Enrekang. Untuk melawan tentara Kerajaan Bone dengan kekuatan jelas Kerajaan Enrekang tidak mampu karena Kerajaan baru yang belum mempunyai pasukan dan persenjataan yang cukup, maka Takkebuku Puang Enrekang mengumpulkan orang-orang pandai termasuk orang pandai Tomatua dari Baroko.
Sore hari datanglah orang melapor bahwa tentara kerajaan Bone sudah berada di Sumbang dan sebahagian masih ada di Leoran dipinggir sungai yang mengalir ke kampung Baba, untuk melakukan penyerangan ke kampung Enrekang diperkirakan mereka akan lakukan pada malam hari atau pagi hari besok.
Tomatoa Baroko mengusulkan kepada Puang Endekan mengumpulkan berapa puluh batang pisang yang panjangnya satu meter dan menyediakan pelita dari kemiri dan damar dan kemudian ditancapkan diatas batang pisang tersebut. Kemudian batang pisang itu dihanyutkan mulai dari sungai mata allo tepatnya jembatan gantung sekarang, batang pisang tersebut dibawah arus air sungai Mata Allo berbaris layaknya sepasukan prajurit tentara terus ke pertemuan sungai Mata Allo dan sungai Saddang di kampung Massemba sekarang.
Tentara Kerajaan Bone yang ada di Sumbang lari kembali ke kampung Leoran sedang tentara kerajaan Bone yang di Leoran sudah mulai bergerak maju ke Sumbang, karena tentara kerajaan Bone yang di Leoran yang bergerak ke Sumbang menyangka yang datang menyerang adalah pasukan kerajaan Enrekang menyerang dari belakang maka dalam kondisi gelap tersebut terjadi perkelahian yang sengit antara mereka itu di tengah malam yang gelap gulita.
Dan setelah beberapa lama terjadi perkelahian antara mereka dan telah benyak korban yang berjatuhan barulah mereka sadar bahwa mereka berkelahi antara mereka sendiri. Malam itu mereka kembali ke Bone meniggalkan teman-temannya yang sudah menjadi mayat. Karena banyaknya mayat yang membusuk di sungai itu maka sungai tersebut dinamakan Salu Burung’ (sungai yang bau), sekarang sungai itu mengalir ke sungai Saddang melalui kampung Baba.
Kemudian datang utusan Raja Bone meminta kepada Raja Enrekang ke Bone untuk diadu dengan kerbau Raja Bone, dan membawa juga 40 ekor ayam yang sama bunyinya serta tali abu. Permintaan raja Bone itu dipenuhi dengan hasil pemikiran Tomakaka Surakan ialah anak kerbau yang sudah lama tidak menetek dan diikat tanduk rusa yang tajam di hidungnya, anak ayam 40 ekor, tali abu dibuat dari kain. Pada waktu itu kerbau raja Bone dikalahkan oleh kerbau raja Enrekang dan semua permintaannya dipenuhi kerajaan Enrekang, maka kerajaan Enrekang tidak lagi diganggu Kerajaan Bone dan diakui sebagai Kerajaan di Sulawesi Selatan dan Tenggara.
SEJARAH BONE
Sejarah mencatat bahwa Bone merupakan salah satu kerajaan besar di nusantara pada masa lalu. Kerajaan Bone yang dalam catatan sejarah didirikan oleh ManurungngE Rimatajang pada tahun 1330, mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Latenritatta Towappatunru Daeng Serang Datu Mario Riwawo Aru Palakka Malampee Gemmekna Petta Torisompae Matinroe ri Bontoala, pertengahan abad ke-17 (A. Sultan Kasim,2002). Kebesaran kerajaan Bone tersebut dapat memberi pelajaran dan hikmah yang memadai bagi masyarakat Bone saat ini dalam rangka menjawab dinamika pembangunan dan perubahan-perubahan sosial, perubahan ekonomi, pergeseran budaya serta dalam menghadapi kecenderungan yang bersifat global.
Belajar dan mengambil hikmah dari sejarah kerajaan Bone pada masa lalu minimal terdapat tiga hal yang bersifat mendasar untuk diaktualisasikan dan dihidupkan kembali karena memiliki persesuaian dengan kebutuhan masyarakat Bone dalam upaya menata kehidupan kearah yang lebih baik.
Ketiga hal yang dimaksud adalah :
Pertama, pelajaran dan hikmah dalam bidang politik dan tata pemerintahan. Dalam hubungannya dengan bidang ini, sistem kerajaan Bone pada masa lalu sangat menjunjung tinggi kedaulatan rakyat atau dalam terminology politik modern dikenal dengan istilah demokrasi. Ini dibuktikan dengan penerapan representasi kepentingan rakyat melalui lembaga perwakilan mereka di dalam dewan adat yang disebut “ade pitue”, yaitu tujuh orang pejabat adat yang bertindak sebagai penasehat raja. Segala sesuatu yang terjadi dalam kerajaan dimusyawarahkan oleh ade pitue dan hasil keputusan musyawarah disampaikan kepada raja untuk dilaksanakan.
Selain itu di dalam penyelanggaraan pemerintahan sangat mengedepankan azas kemanusiaan dan musyawarah. Prinsip ini berasal dari pesan Kajaolaliddong seorang cerdik cendikia Bone yang hidup pada tahun 1507-1586 yang pernah disampaikan kepada Raja Bone seperti yang dikemukakan oleh Wiwiek P . Yoesoep (1982 : 10) bahwa terdapat empat faktor yang membesarkan kerajaan yaitu:
1. Seuwani, Temmatinroi matanna Arung MangkauE mitai munrinna gauE (Mata Raja tak terpejam memikirkan akibat segala perbuatan).
2. Maduanna, Maccapi Arung MangkauE duppai ada’ (Raja harus pintar menjawab kata-kata).
3. Matellunna, Maccapi Arung MangkauE mpinru ada’ (Raja harus pintar membuat kata-kata atau jawaban).
4. Maeppa’na, Tettakalupai surona mpawa ada tongeng (Duta tidak lupa menyampaikan kata-kata yang benar).
Pesan Kajaolaliddong ini antara lain dapat diinterpretasikan ke dalam pemaknaan yang mendalam bagi seorang raja betapa pentingnya perasaan, pikiran dan kehendak rakyat dipahami dan disikapi.
Kedua, yang menjadi pelajaran dan hikmah dari sejarah Bone terletak pada pandangan yang meletakkan kerjasama dengan daerah lain, dan pendekatan diplomasi sebagai bagian penting dari usaha membangun negeri agar menjadi lebih baik.
Urgensi terhadap pandangan seperti itu tampak jelas ketika kita menelusuri puncak-puncak kejayaan Bone dimasa lalu.
Dan sebagai bentuk monumental dari pandangan ini di kenal dalam sejarah akan perjanjian dan ikrar bersama kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng yang melahirkan TELLUM POCCOE atau dengan sebutan lain “LaMumpatue Ri Timurung” yang dimaksudkan sebagai upaya memperkuat posisi kerajaan dalam menghadapi tantangan dari luar.
Kemudian pelajaran dan hikmah yang ketiga dapat dipetik dari sejarah kerajaan Bone adalah warisan budaya kaya dengan pesan. Pesan kemanusiaan yang mencerminkan kecerdasan manusia Bone pada masa lalu.
Banyak refrensi yang bisa dipetik dari sari pati ajaran Islam dalam menghadapi kehidupan, dalam menjawab tantangan pembangunan dan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang semakin cepat. Namun yang terpenting adalah bahwa semangat religiusitas orang Bone dapat menjawab perkembangan zaman dengan segala bentuk perubahan dan dinamikanya. Demikian halnya (kabupaten Bone) potensi yang besar yang dimiliki, yang dapat dimanfaatkan bagi pembangunan demi kemakmuran rakyat. Potensi itu cukup beragam seperti dalam bidang pertanian, perkebunan, kelautan, pariwisata dan potensi lainnya.
Demikian masyarakatnya dengan berbagai latar belakang pengalaman dan pendidikan dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk mendorong pelaksanaan pembangunan Bone itu sendiri. Walaupun Bone memiliki warisan sejarah dan budaya yang cukup memadai, potensi sumber daya alam serta dukungan SDM, namun patut digaris bawahi jika saat ini dan untuk perkembangan ke depan Bone akan berhadapan dengan berbagai perubahan dan tantangan pembangunan yang cukup berat. Oleh karena itu diperlukan pemikiran, gagasan dan perencanaan yang tepat dalam mengorganisir warisan sejarah, kekayaan budaya, dan potensi yang dimiliki ke dalam suatu pengelolaan pemerintahan dan pembangunan.