This is featured post 1 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.

This is featured post 2 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.

This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.

Tampilkan postingan dengan label pendidikan nilai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pendidikan nilai. Tampilkan semua postingan
Jumat, 29 Juli 2011
pengertian (prosocial behavior)
Pengertian
Tingkah laku prososial (prosocial behavior) adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu risiko bagi orang yang menolong.
Istilah altruisme (altruism) kadang-kadang digunakan secara bergantian dengan tingkah laku prososial, tetapi altruisme yang sejati adalah tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk tidak memetingkan diri sendiri demi kebaikan orang lain.
Pandangan Psikolog Sosial
1. Empati : Syarat Dasar.
Empati adalah respons afektif dan kognitif yang kompleks pada distress emosional orang lain. Empati termasuk kemampuan untuk merasakan keadaan orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain. Seseorang dapat menjadi empatik kepada karakter fiktif sebagaimana kepada korban pada kehidupan nyata.
Banyak perbedaan pada minat seseorang untuk menolong bersumber pada motif altruistik yang berdasarkan pada empati (empathy). Empati meliputi komponen afektif maupun kognitif. Secara afektif, orang yang berempati merasakan apa yang orang lain rasakan. Secara kognitif, orang yang berempati memahami apa yang orang lain rasakan dan mengapa. Jadi, empati berarti tidak hanya seperti pernyataan popular Presiden Clinton "saya merasakan penderitaanmu", tetapi juga, "saya mengerti penderitaanmu".
Komponen afektif penting untuk empati, dan bahkan anak-anak berusia dua bulan tampak jelas merasakan stress sebagai respons dari stress yang dirasakan orang lain. Karakteristik yang sama juga diobservasi pada primata lain dan mungkin di antara anjing dan lumba-lumba juga. Manusia bahkan menunjukkan empati dengan tersipu-sipu ketika orang lain terlibat dalam keadaan yang memalukan, misalnya menyanyi karaoke dengan sumbang. Psikolog evolusioner menginterpretasikan penemuan-penemuan seperti ini sebagai indikasi dari bawaan biologis dari tingkah laku prososial. Menolong orang lain dan ditolong oleh orang lain jelas meningkatkan kesempatan bagi orang untuk dapat bertahan dan bereproduksi. Komponen afektif dari empati juga termasuk merasa simpatik – tidak hanya merasakan penderitaan orang lain tetapi juga mengekspresikan kepedulian dan mencoba melakukan sesuatu untuk meringankan penderitaan mereka. Misalnya, individu yang memiliki empati tinggi lebih termotivasi untuk menolong seorang teman daripada mereka yang memiliki empati rendah.
Komponen kognitif dari empati tampaknya merupakan kualitas unik manusia yang berkembang hanya setelah kita melewati masa bayi. Kognisi yang relevan termasuk kemampuan untuk mempertimbangkan sudut pandang orang lain, kadang-kadang disebut sebagai sebagai mengambil perpektif (perspective taking) – mampu untuk "menempatkan diri dalam posisis orang lain", atau, dalam ekspresi orang Indian, "berjalan satu mil dalam mokasinku".
2. Kadar Empati yang Dimiliki Masing-masing Orang Berbeda
Di samping akar biologis dari empati, manusia berbeda dalam bagaimana mereka berespons terhadap tekanan/ distress emosional orang lain. Rentang melebar mulai dari individu yang sangat berempati yang secara konsisten merasa tertekan ketika seseorang merasa tidak bahagia sampai individu sosiopatik yang secara emosional tidak terpengaruh terhadap keadaan emosional orang lain.
Faktor keturunan mendasari dua aspek afektif dari empati (tekanan personal dan kepedulian simpatik) tetapi bukan empati kognitif. Faktor-faktor genetis berkontribusi pada sekitar sepertiga dari faktor-faktor yang menjelaskan adanya perbedaan empati afektif di antara orang-orang. Diasumsikan, faktor-faktor eksternal menjelaskan adanya perbedaan dalam empati kognitif dan mempengaruhi dua per tiga perbedaan empati afektif. Psikolog Jane Strayer menyatakan bahwa kita semua dilahirkan dengan kapasitas biologis dan kognitif untuk merasakan empati, tetapi pengalaman spesifik kita menentukan apakah potensi bawaan tersebut dihambat atau menjadi bagian yang penting bagi diri.
Situasi spesifik yang dapat meningkatkan atau menghambat perkembangan empati, salah satunya adalah peran dari sekolah dalam mengembangkan program pendidikan karakter. Di Amerika Serikat, 40 dari 50 negara bagian telah menjalankan program-program seperti itu untuk mengajar anak-anak untuk jujur, bertingkah laku baik, menghargai orang lain, dan bertanggung jawab.
Model prososial yang lebih berpengaruh dari yang disediakan oleh media, adalah model yang disediakan oleh orang tua. Psikiater Rober Coles (1997) menyatakan bahwa kuncinya adalah dengan mengajarkan anak untuk menjadi "baik" dan untuk berpikir mengenai orang lain selain dari diri sendiri. Anak-anak belajar dengan mengobservasi apa yang dilakukan dan dikatakan orang tua mereka dalam kehidupan sehari-hari. Coles yakin bahwa masa sekolah dasar adalah masa yang penting di mana anak dapat mengembangkan atau gagal mengembangkan suatu kesadaran. Tanpa model dan pengalaman yang tepat, anak-anak dapat dengan mudah bertumbuh menjadi remaja yang egois dan kasar dan kemudian menjadi orang dewasa yang sama tidak menyenangkannya.
Contoh-contoh lain yang meningkatkan perkembangan empati, meliputi kehangatan ibu dan pesan yang jelas dan tegas dari orang tua yang menekankan bagaimana pengaruh tingkah laku yang menyakitkan terhadap orang lain. Juga, merupakan hal penting untuk membedakan antara perasaan bersalah yang tepat mengenai penderitaan apapun yang kita sebabkan dengan perasaan bersalah yang tidak tepat mengenai kejadian buruk yang bukanmerupakan kesalahan kita. Rasa empati anak ditingkatkan ketika ketika orang tua dapat mendiskusikan emosi-emosi, tetapi penghambat utama perkembangan empati adalah penggunaan rasa marah oleh orang tua sebagai cara utama untuk mengontrol anak-anaknya.
Terdapat perbedaan individual yang besar dalam disposisi simpati, dan kita mengetahui bahwa anak-anak yang berkarakter simpatik umumnya berasal dari lingkungan yang hangat dan suportif. Anak-anak yang karakter simpatiknya tinggi juga cenderung menjadi anak yang memiliki penalaran moral yang cukup canggih serta cenderung baik dalam mengelola emosi mereka.
Wanita mengekspresikan tingkat empati yang lebih tinggi daripada pria, hal ini disebabkan baik oleh perbedaan genetis atau perbedaan pengalaman sosialisasi.
Empati paling besar ditujukan pada siapa pun (atau apa pun) yang mirip dengan diri sendiri. Contoh yang jelas, manusia lebih cenderung berespons secara empati kepada kesulitan yang dialami oleh mamalia kecil yang lucu seperti anak anjing, anak kucing, dan anak anjing laut daripada kepada kesulitan yang sama yang dialami oleh reptil, ikan, dan serangga yang tidak lucu. Pada spesies kita sendiri, kita paling empati pada manusia lain yang paling mirip dengan diri kita.
Faktor-faktor yang menyebabkan adanya empati kepada orang lain adalah kesamaan dengan diri sendiri, pengalaman dengan bencana yang sama, dan ideologi politik. Dan semua faktor tersebut tidak relevan ketika bencana alam merupakan bencana yang besar.
3. Faktor Kepribadian Lain yang Berhubungan dengan Perilaku Prososial
Empati dan motivasi altruistik dihubungkan dengan karakteristik positif lainnya, misalnya rasa kenyamanan, motivasi prestasi, kemampuan sosial, dan keadaan emosional positif, tetapi berhubungan secara negatif dengan agresivitas.
Di antara faktor-faktor kepribadian lainnya yang merupakan karakteristik dari mereka yang paling cenderung menolong orang lain adalah kebutuhan akan persetujuan (need for approval). Individu-individu yang tinggi kebutuhannya dalam hal ini berespons pada reward seperti pujian dan tanda penghargaan lainnya. Orang-orang yang mempunyai kepercayaan interpersonal (interpersonal trust) yang tinggi terlibat dalam lebih banyak tindakan prososial daripada orang-orang yang cenderung untuk tidak mempercayai orang lain.
Fakta bahwa banyak aspek dari kepribadian terlibat dalam tingkah laku prososial telah menyebabkan para peneliti menyatakan bahwa suatu kombinasi dari faktor-faktor yang relevan menentukan apa yang disebut sebagai kepribadian altruistik (altruistic personality). Faktor disposisional yang menyusun kepribadian altruistic (altruistic personality) adalah sebagai berikut:
a. Empati
Mereka yang menolong mempunyai empati lebih tinggi daripada mereka yang tidak menolong. Orang yang paling altruistik menggambarkan diri mereka sebagai bertanggung jawab, bersosialisasi, menenangkan, toleran, memiliki self-control, dan termotivasi untuk membuat impresi yang baik.
b. Mempercayai dunia yang adil
Orang yang menolong mempersepsikan dunia sebagai tempat yang adil dan percaya bahwa tingkah laku yang baik diberi imbalan dan tingkah laku yang buruk diberi hukuman. Kepercayaan ini mengarah pada kesimpulan bahwa menolong orang yang membutuhkan adalah hal yang tepat untuk dilakukan dan adanya pengharapan bahwa orang yang menolong akan mendapat keuntungan dari melakukan sesuatu yang baik
c. Tanggung jawab sosial
Mereka yang paling menolong mengekspresikan kepercayaan bahwa setiap orang bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik untuk menolong orang yang membutuhkan.
d. Locus of control internal
Ini merupakan kepercayaan individual bahwa dia dapat memilih untuk bertingkah laku dalam cara yang memaksimalkan hasil akhir yang baik dan meminimalkan yang buruk. Mereka yang menolong mempunyai locus of control internal yang tinggi. Mereka yang tidak menolong, sebaliknya, cenderung memiliki locus of control eksternal dan percaya bahwa apa yang mereka lakukan tidak relevan, karena apa yang terjadi diatur oleh keuntungan, takdir, orang-orang yang berkuasa, dan faktor-faktor tidak terkontrol lainnya.
e. Egosentrisme rendah
Mereka yang menolong tidak bermaksud untuk menjadi egosentris, self-absorbed, dan kompetitif.
A. Kesukarelaan: Motivasi untuk Memberikan Pertolongan Jangka Panjang
1. Motif Untuk Sukarela
Clary dan Snyder (1999) telah mengidentifikasikan enam fungsi dasar yang berbeda dapat menjadi alas an untuk terlibat dalam aktivitas sukarela. Ketertarikan untuk bersukarela paling efektif jika mereka menyadari bahwa individu-individu yang berbeda memiliki alas an-alasan yang berbeda untuk terlibat dalam aktivitas seperti itu. Enam fungsi tersebut adalah:
a. Nilai
Untuk berekspresi atau bertindak pada nilai yang penting seperti kemanusiaan. Contoh: "Saya merasa penting untuk menolong orang lain".
b. Pemahaman
Untuk belajar lebih mengenai dunia atau melatih keterampilan yang sering tidak digunakan. Contoh: "Melakukan kerja sukarela membuat saya dapat belajar melalui pengalaman yang langsung".
c. Pengembangan
Untuk tumbuh dan berkembang secara psikologis melalui aktivitas sukarela. Contoh: "Melakukan kerja sukarela membuat saya merasa lebih baik mengenai diri saya sendiri".
d. Karier
Untuk memperoleh pengalaman yang berhubungan dengan karier. Contoh: "Melakukan kerja sukarela dapat menolong saya untuk sampai pada tempat di mana saya ingin bekerja".
e. Sosial
Untuk memperkuat hubungan sosial. Contoh: "Orang-orang yang saya kenal berbagi ketertarikan pada pelayanan masyarakat".
f. Perlindungan
Untuk mengurangi perasaan negatif, seperti rasa bersalah, atau untuk menyelesaikan masalah pribadi. Contoh: "Melakukan kerja sukarela adalah pelarian yang baik dari masalah saya sendiri".
2. Bekerja Sukarela: Apakah Altruisme Terlibat?
Kesukarelaan dipengaruhi faktor bawaan. Misalnya, sukarelawan cenderung untuk memiliki kadar empati yang tinggi, terutama dalam pengambilan perspektif, perhatian yang empatik, dan distress pribadi. Mereka yang bekerja sukarela juga mengekspresikan locus of control internal daripada eksternal.
McAdams dan kolega-koleganya (1997) mendefinisikan generativitas (generativity) sebagai kepedulian dan komitmen orang dewasa pada kesejahteraan generasi berikutnya. Orang-orang yang mempunyai generativitas yang tinggi memperlihatkan ketertarikan dan komitmen ini dengan menjadi orang tua, mengajar apa yang mereka ketahui pada orang-orang muda, dan terlibat dalam tindakan yang akan memiliki pengaruh positif setelah masa hidup mereka.
Altruisme ialah suatu minat yang tidak mementingkan diri sendiri dalam menolong seseorang. Kepribadian altruistik adalah sebuah kombinasi dari karakteristik. Orang-orang secara jelas berbeda dalam kecenderungan prososial, dan peneliti-peneliti telah mengidentifikasikan banyak perbedaan kepribadian di antara mereka yang menolong dan mereka yang tidak menolong.
B. Siapa yang Menerima Pertolongan, dan Bagaimana Orang Merespons Apabila Ditolong?
1. Gender: Apakah Wanita Lebih Cenderung Ditolong Daripada Pria?
Meskipun terlihat sebagai stereotip yang merendahkan perempuan, penelitian telah secara konsisten menunjukkan bahwa laki-laki lebih cenderung memberi pertolongan pada wanita yang mengalami kesulitan, meskipun wanita pada semua umur mempunyai empati yang lebih tinggi daripada pria.
Banyak situasi darurat memerlukan keterampilan dan pengetahuan tertentu yang lebih banyak terdapat pada pria daripada wanita (misalnya, mengganti ban kemps). Hal ini mungkin menjelaskan mengapa pengendara wanita yang mempunyai masalah dengan mobilnya mendapatkan lebih banyak bantuan daripada pria atau pasangan pria-wanita dalam situai yang sama. Juga mereka yang berhenti untuk menolong paling sering adalah pria muda yang sedang berkendara sendirian.
Namun, motivasi pertolongan pria seperti ini mungkin tidak seluruhnya prososial atau altruistik. Untuk satu hal, pria lebih sering berhenti untuk menolong wanita yang menarik daripada menolong wanita yang tidak menarik. Tampaknya mungkin sekali bahwa motivasi utamanya adalah romantis dan seksual.
2. Meminta Pertolongan
Ketidakpastian mengenai apa yang terjadi pada suatu situasi darurat dan ketidakpastian mengenai apa yang harus dilakukan dapat menghambat respons sosial bystander. Ambiguitas dapat menyebabkan penolong yang potensial untuk menahan diri dan menunggu kejelasan. Cara yang paling langsung dan paling efektif bagi seorang korban untuk mengurangi ambiguitas adalah untuk meminta pertolongan dalam cara yang jelas. Jika memungkinkan, orang yang membutuhkan pertolongan akan lebih baik meminta secara spesifik.
Tampaknya jelas dan mudah untuk meminta pertolongan, tetapi mereka yang membutuhkan sering kali tidak dapat melakukannya karena berbagai alasan. Misalnya, pria dan wanita yang pemalu enggan mencari pertolongan dari lawan jenis.
Sebagaimana dengan penolong yang potensial, orang yang membutuhkan pertolongan tidak ingin bereaksi berlebihan dengan emosionalitas yang tidak tepat. Korban juga takut jika orang lain akan mempersepsikan mereka sebagai tidak kompeten apabila mereka meminta pertolongan. Dengan bergantung pada orang lain dapat dicap sebagai orang lemah, terutama pada budaya Barat. Jadi, menerima pertolongan dapat menjadi sangat tidak nyaman.
3. Bagaimana Rasanya Menerima Pertolongan?
Menerima pertolongan dapat enurunkan self-esteem, terutama jika penolong adalah teman atau seseorang yang sama dengan Anda dari segi usia, pendidikan, dan karakteristik lainnya. Ketika self-esteem terancam, hasilnya merupakan afek negatif yang menciptakan perasaan tidak suka pada orang baik tersebut. Respons negatif yang sama biasanya muncul ketika anggota dari kelompok yang dicap jelek (misalnya, siswa kulit hitam) menerima pertolongan dari kelompok yang tidak dicap jelek (misalnya, siswa kulit putih). Dalam hal ini, menolong dapat dipersepsikan sebagai penghinaan yang merendahkan.
Saat seseorang merespons secara negatif ketika menerima pertolongan, terdapat juga aspek positif yang tidak terlalu terlihat. Ketika ditolong merupakan pengalaman yang sangat sangat tidak menyenangkan sehingga orang tersebut ingin menghindari terlihat tidak kompeten lagi, ia termotivasi untuk terlibat dalam aktivitas self-help di masa depan. Di antara manfaat-manfaat yang lain, motivasi ini dapat mengurangi perasaan ketergantungan.
Menjelaskan Tingkah Laku Prososial: Mengapa Orang Menolong?
Apa yang memotivasi tingkah laku prososial? Banyak teori yang telah diformulasikan, tetapi kebanyakan bergantung pada asumsi biasa bahwa orang-orang berusaha untuk memaksimalkan imbalan (reward) dan meminimalkan hukuman (punishment).
A. Empati-altruisme: Menolong Orang Lain yang Membutuhkan Membuat Perasaan Menjadi Enak
Kemungkinan penjelasan yang paling tidak egois dari perilaku prososial adalah bahwa orang yang empatik menolong orang lain karena "rasanya menyenangkan untuk berbuat baik". Berdasarkan asumsi ini, Batson dan kolega-koleganya (1981) mengajukan hipotesis empati-altruisme (empathy-altruism hypothesis), yaitu sebuah dugaan bahwa tingkah laku prososial hanya dimotivasi oleh keinginan untuk menolong seseorang yang membutuhkan pertolongan. Mereka mengungkapkan bahwa setidaknya beberapa tingkah laku prososial hanya dimotivasi oleh keinginan tidak egois untuk menolong seseorang yang membutuhkan pertolongan.motivasi menolong ini dapat menjadi sangat kuat sehingga individu yang memberi pertolongan bersedia terlibat dalam aktivitas yang tidak menyenangkan, berbahaya, dan bahkan mengancam nyawa. Perasaan simpati dapat menjadi sangat kuat sehingga mereka mengesampingkan semua pertimbangan lain. Perasaan empati yang kuat memberikan bukti yang sangat valid pada individu tersebut, sehingga ia pasti sangat menghargai kesejahteraan orang lain.
Penelitian lain mengindikasikan bahwa ketika pertolongan yang berdasarkan empati tidak berhasil, penolong mengalami emosi negatif. Dengan kata lain, empati yang tinggi tidak hanya menimbulkan tindakan prososial karena tindakan tersebut membuat perasaan menjadi enak, tetapi tidak berhasilnya usaha untuk menolong membuat perasaan menjadi tidak enak.
1. Penghindaran Empati
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Shaw, Batson, dan Todd (1994). Pengobanan untuk menolong dapat rendah (meluangkan satu jam menyiapkan surat-surat permintaan sumbangan) atau tinggi (terlibat dengan mereka yang tunawisma lebih dari satu jam pada tiga situasi yang berbeda). Setelah mengetahui tugas tersebut (pengorbanan rendah atau tinggi), mahasiswa dapat memilih di antara menerima informasi faktual mengenai orang tersebut atau menerima pesan emosional yang membangkitkan empati mengenai kesulitan yang dialaminya. Ketika pengorbanan untuk menolong adalah rendah, kebanyakan siswa ingin mendengar pesan yang informative. Dengan kata lain, mereka tampaknya terlibat dalam penghindaran empati agar tidak termotivasi untuk terlibat dalam pertolongan yang tinggi pengorbanannya.
2. Empati dan Altruisme Selektif
Empati juga memainkan peran lain dalam perilaku menolong. Masalah utama muncul ketika keputusan mengenai penggunaan sumber daya yang terbatas untuk menolongsebuah kelompok yang membutuhkan harus diambil. Cara yang terbaik untuk menolong kelompok sebagai satu keseluruhan adalah membagi sumber daya secara sama rata. Namun demikian, jika seseorang yang memiliki sumber daya termotivasi oleh egoisme atau oleh empati yang diarahkan pada anggota kelompok tertentu (altruisme selektif pada individu yang membangkitkan emosi Anda), kelompok secara keseluruhan akan diabaikan.
Meskipun akibat negatif dari egoisme tidak mengejutkan, pengaruh dari altruisme selektif tidak terlalu terlihat. Menyimpan sumber daya untuk diri sendiri (egoisme) jelas tidak baik, tetapi memutuskan untuk menolong satu anggota kelompok (altruisme selektif) biasanya mendapat pujian.
B. Model Mengurangi Keadaan Negatif: Menolong Dapat Mengurangi Afek Negatif
Teori yang lain mengungkapkan bahwa orang-orang kadang-kadang menolong karena mereka berada pada suasana hati yang jelek dan ingin membuat diri sendiri merasa lebih baik. Penjelasan dari perilaku prososial ini dikenal sebagai model mengurangi keadaan negatif (negative-state relief model). Dengan kata lain, perilaku prososial dapat berperan sebagai perilaku self-help untuk mengurangi perasaan negatif diri sendiri.
Model mengurangi keadaan negatif adalah penjelasan yang menyatakan bahwa perilaku prososial dimotivasi oleh keinginan bystander untuk mengurangi emosi negatifnya sendiri.
C. Kesenangan Empatik: Menolong Dapat Membuat Perasaan Menjadi Enak – Jika Anda Tahu Bahwa Anda Mencapai Sesuatu
Secara umum benar bahwa perasaan menjadi baik apabila seseorang dapat memberi pengaruh positif pada orang lain. Secara harfiah, memberi dapat benar-benar lebih baik daripada menerima. Menolong kemudian dapat dijelaskan berdasarkan hipotesis kesenangan empatik (empathic joy hypothesis), yaitu penjelasan yang menyatakan bahwa perilaku prososial dimotivasi oleh emosi positif yang diantisipasi penolong untuk dimiliki sebagai hasil dari memiliki pengaruh menguntungkan pada hidup seseorang yang membutuhkan. Dari pandangan ini, penolong berespons pada kebutuhan korban karena dia ingin merasa enak karena berhasil mencapai sesuatu.
Dalam setiap dari tiga model teoritis di atas, kondisi afektif adalah elemen yang penting. Yaitu, perilaku prososial terjadi karena tindakan tersebut meningkatkan perasaan positif atau menurunkan perasaan negatif. Emosi yang dihasilkan oleh tindakan prososial kadang-kadang diberi label helper's high – suatu perasaan tenang, self-worth, dan kehangatan.
D. Determinisme Genetis: Menolong Orang Lain Dapat Memaksimalkan Kelangsungan Hidup Gen
Model determinisme genetis (genetic determinism model), yaitu penjelasan yang menyatakan bahwa tingkah laku didorong oleh atribut genetis yang berevolusi karena atribut tersebut meningkatkan kemungkinan untuk mewariskan gen seseorang pada generasi berikutnya, didasarkan pada teori umum dari perilaku manusia.
Dalam telaah literature altruisme, Buck dan Ginsberg (1991) menyimpulkan bahwa tidak terdapat bukti adanya suatu gen yang menentukan perilaku prososial. Namun pada manusia, maupun di antara binatang-binatang lain, memang terdapat kemampuan yang berbasis gen untuk mengkomunikasikan emosi dan untuk membentuk ikatan sosial. Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial dan mampu berempati. Ketika orang-orang berinteraksi satu sama lain dalam hubungan sosial, "mereka selalu prososial, biasanya menolong, dan sering kali altruistik" (Fiske, 1991, hlm. 209).
Kesimpulan
Keadaan emosional yang positif dan negatif dapat meningkatkan atau menghambat tingkah laku prososial, tergantung pada faktor-faktor spesifik dalam situasi tertentu dan pada bentuk bantuan yang dibutuhkan. Perbedaan individual dalam tingkah laku altruistik sebagian besar disebabkan oleh empati, tanggapan kompleks yang meliputi komponen afektif maupun komponen kognitif. Derajat seseorang mampu berespons dengan empati tergantung pada faktor genetis dan pengalaman belajar. Kepribadian altruistik terdiri dari empati ditambah variabel kepribadian lainnya yang relevan. Orang-orang bekerja sukarela untuk memberikan pertolongan dalam jangka panjang sebagai fungsi dari berbagai motif egois dan tidak egois dan variabel kepribadian yang spesifik. Pertolongan diberikan paling sering oleh pria kepada wanita, setidaknya sebagian karena perbedaan keterampilan yang berhubungan dengan gender dan juga dengan adanya fakta bahwa pria termotivasi asmara atau seks di samping altruisme. Meminta pertolongan mengurangi ambiguitas dan meningkatkan kemungkinan menerima pertolongan. Ketika penolong dan penerima mirip, orang yang ditolong cenderung bereaksi secara negatif dan merasa inkompeten, mengalami penurunan self-esteem, dan marah pada penolong. Respons-respons negatif ini juga cenderung untuk memotivasi tingkah laku self-help di masa depan.
Hipotesis empati-altruisme menyatakan bahwa, karena empati, kita menolong mereka yang membutuhkan hanya karena perasaan menjadi enak ketika melakukannya. Model mengurangi keadaan negatif menyatakan bahwa orang menolong orang lain untuk meringankan dan membuat ketidaknyamanan emosionalnya sendiri berkurang. Hipotesis kesenangan empatik mendasarkan aktivitas menolong pada perasaan positif dari pencapaian yang muncul ketika penolong mengetahui bahwa ia mampu memberi pengaruh menguntungkan pada orang yang membutuhkan. Model determinisme genetis melacak perilaku sosial ke dampak umum dari seleksi alam. Perilaku prososial meningkatkan kemungkinan gen seseorang diwariskan pada generasi berikutnya. Akibatnya, tindakan prososial tersebut menjadi bagian dari warisan biologis kita.
DAFTAR PUSTAKA
Baron, Robert A. & Byrne, Donn. 2005. Psikologi Sosial. Edisi Kesepuluh, Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Santrock, John W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Edisi 5, Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Sears, David O. 1999. Psikologi Sosial 1. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.
(Apa Itu Perilaku Prososial ?)
WHAT IS PROSOCIAL BEHAVIOR ? (Apa Itu Perilaku Prososial ?)
Oleh :
Agus Effendi dan Asep Ginanjar
Agus Effendi dan Asep Ginanjar
Altruisme (faham yang mementingkan dan mengutamakan orang lain)
Perilaku pertama yang termasuk prososial adalah altruisme. Para psikolog tidak seragam dalam mendefinisikan altruisme walaupun mereka sepakat bahwa perilaku altruistik adalah :
1. berasal dari dalam hati
2. bertujuan untuk kepentingan orang lain
3. tanpa mengharapkan imbalan
Terdapat perbedaan tentang beberapa prakondisi spesifik prilaku altruistik. Demikianlah, Midlarsky (1969) mendefinisikan altruisme sebagai sub kategori bantuan, memberikan bantuan pada seseorang dengan harapan keuntungan sangat kecil atau menanamkan modal tanpa mengharapkan keuntungan yang besar. Bryan and Test (1967) melihat altruisme sebagai “beberapa aksi di mana individu –individu berbagi atau berkorban secara positif untuk kegiatan yang bersifat sosial yang tidak memperlihatkan keuntungan materi. Singkatnya, Walster dan Paliavin (1972) berargumen bahwa prilaku altruistik secara umum merupakan prilaku yang menganggap kepentingan orang lain lebih baik dari pada hal lainnya. Psikolog lainnya telah menetapkan kondisi tambahan yang penting dalam mendefinisikan altruisme. Bagi Aronfreed (1970) dan Cohen (1972) , empati adalah sebuah kondisi penting yang melahirkan prilaku altruistik. Hanya bantuan yang lahir sebagai akibat reaksi empati terhadap pengalaman yang lainnya dapat disebut altruistik. Leeds (1963) memprensentasikan tiga kondisi perilaku altruistik sebagai berikut :
1. harus diperlakukan sebagai akhir dalam diri sendiri
2. harus ditimbulkan dari dalam hatinya
3. harus dipertimbangkan oleh yang lainnya sebagai perbuatan baik
Salah satu kontroversi tentang definisi altruisme, hal yang baik sebagai prilaku prososial adalah tentang penghargaan. Semua definisi sepakat bahwa sesorang yang berprilaku altruistik tidak akan menerima penghargaan dari luar (penghargaan diri sendiri adalah kekuatan, sebuah kepuasan, kebanggaan, atau kesenangan, sebagai konsekuensi dari tindakannya). Haruskah kita sebut perilaku menghargai diri sendiri sebagai altruisme? Apakah, seseorang melakukan pertolongan, merasa memberikan penghargaan terhadap dirinya dalam perilaku, dan masih disebut sebagai altruisme? Rosenhan (1972) dan Walster & Piliavin (1972) objek untuk menimbang menghargai diri sendiri sebagai perilaku altrustik. Rosenhan mengklaim bahwa penghargaan diri sendiri adalah sulit untuk didemontrasikan secara empiris dan oleh karena itu lahirlah sebuah rumusan hipotesis. Hingga para psikolog dapat menunjukkan bukti empiris operasional sebuah penghargaan diri sendiri, itu tinggal menjadi sebuah konsep yang samar. Walster dan Piliavin berargumen berkenaan dengan penghargaan diri sendiri, bahwa membuat definisi perilaku altruistik menjadi pengulangan yang tidak berguna. Penghargaan oleh diri sendiri bukan hal yang istimewa, penghargaan adalah hadiah, tetapi terbuka kemungkinan eksplanasi yang memutar : perilaku individu yang altruis untuk mendapatkan penghargaan oleh mereka sendiri atau penghargaan oleh dirinya sendiri juga merupakan konsekuensi dari perilaku altruistik.
Keberatan-keberatan tersebut diangkat oleh Rosenhan dan Walster & Piliavin sebagai titik tolak masalah yang sulit untuk mengidentifikasi penghargaan oleh diri sendiri. Tetapi itu penting untuk membedakan secara teoritis, di antara perilaku altruistik dan tindakan menolong yang timbul sebagai akibat penghargaan eksternal. Karena itu, saya mengusulkan ruang lingkup yang tidak terbatas atas perilaku altruistik termasuk juga kemungkinan penghargaan oleh diri sendiri. Kemungkinan ini juga termasuk di dalam definisi yang diusulkan tentang perilaku prososial.
Demikianlah, dalam buku ini, saya mengusulkan definisi konsep altruisme dalam sebuah proposal yang diajukan oleh Macaulay dan Berkowitz (1970) dengan satu kondisi tambahan. Mereka mendefiniskan altruisme sebagai “perilaku yang mengabaikan keuntungan lain tanpa mengharapkan penghargaan dari sumber luar. Kondisi tambahan yang diharapkan, bahwa perilaku tersebut harus dilakukan sekehendak hati. Perilaku alturistik tidak dapat terjadi seperti kewajiban atau harapan quid pro quo. Ketika seseorang menolong, ia merasa bahwa ia diharapkan untuk melakukan sesuatu sebab belum lama ini telah diterima bantuan atau sebab ia melakukan kejahatan, dia melakukan restitusi.
Restutisi (Pemberian Ganti Kerugian)
Sebuah fakta yang menjengkelkan bahwa para psikolog (Rosenhan, 1972) mengindentikan perilaku prososial dengan alturisme, definisi yang diusulkan dalam buku dibalik perilaku prososial tidak lain adalah tindakan altruistik. Tindakan altruistik juga merupakan salah satu tipe perilaku prososial. Tipe yang lainnya terdiri dari tindakan yang bertujuan untuk membuat restutisi dalam hubungan manusia. Definisi tersebut termasuk perilaku penerima yang mencoba melakukan pertukaran yang sebelumnya telah menerima pertolongan dan berbuat kejahatan yang dicoba utuk mengganti kerugian korbannya. Tetapi, definisi yang didapat bahwa perilaku begitu harus dilakukan sesuai kehendak hati juga untuk kepentingan restitusi dan tanpa mengharapkan penghargaan dari luar. Kajian ilmu jiwa tentang restitusi akan dibahas dalam bab selanjutnya berkenaan dengan pertukaran pergantian perilaku.
Penelitian Tentang Perilaku Prososial
Tahun belakangan ini perilaku prososial telah menjadi satu kajian sentral dari psikologi sosial. Indikasi formal dari trend ini adalah masuknya bab dengan perilaku prososial di dalam buku psikologi sosial baru. Lusinan studi empiris telah dilakukan untuk melakukan penelitian perilaku prososial. Para psikolog telah melakukan studi tentang perilaku prososial di labortorium dan situasi riil di lapangan. Fakta menunjukkan, perilaku prososial adalah salah satu dari beberapa kajian psikologi sosial dimana penelitian telah dilakukan di lapangan. Studi lapangan penting untuk melakukan penelitian perilaku altruistik; restutisi telah dilakukan penelitian penting di dalam setting laboratorium. Hal ini dilakukan sebab studi tentang altruistik hanya bertujuan mengkreasi situasi di mana seseorang akan mempunyai kesempatan berprilkau alturistik, padahal penelitian tentang restitusi menjadi lebih sulit dimanilulasi. Dalam studi terakhir, seseorang harus menerima anugrah dari yang lainnya atau orang lain yang melakukan kesalahan. Terdapat syarat mutlak untuk berbuat restutisi. Juga setelah beberapa manipulasi mungkin terlihat jika seseorang bertukar posisi dengan yang belum lama menerima pertolongan atau memberikan kompensasi untuk yang belum lama melakukan kesalahan.
Peneliti telah mendesain perbedaan situasi secara cerdik sesuai aturan studi tentang perilaku prososial. Dalam studi alturistik, subjek ditempatkan dalam situasi dimana seseorang membutuhkan bantuan, dan peneliti melakukan observasi reaksi subjek apakah mereka membutuhkan bantuan atau tidak. Sebagai contoh, dalam sebuah situasi laboratorium, subjek berperan sesuai aturan pekerjaan dibawah bimbingan tidak langsung yang berpura-pura sebagai supervisor. Subjek yang lainnya bercerita bahwa para supervisor kemungkinan memberikan hadiah sebagai hasil kerja kontingen mereka. Dalam studi lainnya, (Arderman, 1972) subjek diminta secara suka rela untuk berpartisipasi dalam penelitian sebuah eksperimen dengan sebuah penghargaan seperti tambahan kredit atau uang. Subjek di studi laboratorium lainnya melihat person yang lainnya jatuh dan menangis karena rasa sakit.
Dalam satu studi lapangan (Wispe & Freshley, 1971) subjek-subjek menemukan situasi dimana tas setiap orang dari para penjual telah buka di depan sebuah supermarket. Pada setting lapangan lainnya (Bickman & Kamzan, 1973; Latane, 1970) di jalan diminta sedikit bantuan untuk menujukkan arah, menukar uang atau dolar. Pada situasi lapangan ketiga (Piliavin & Piliavin, 1972) di jalan besar para pengendara menemukan seseorang yang tumbang di dalam perjalanan.
Eksperimen untuk mempelajari perubahan perilaku yang ditampilkan telah dilakukan dalam laboratorium. Contoh berikut adalah representasi beberapa situasi yang dimanipulasi dalam eksperimen. Dalam satu situasi subjek menerima sebuah minuman ringan dari seseorang dan kemudian diminta oleh orang yang sama untuk membeli beberapa tiket undian. Dalam situasi lain, (Greenberg, Block, & Silverman, 1971) subjek membantu menyelesaikan tugas mereka dan kemudian meminta pertolongan dari seseorang yang telah menolong mereka belum lama ini.
Sejumlah besar studi penelitian penggantian perilaku juga telah dilakukan di laboratorium. Sebagai contoh, dalam sebuah eksperimen (Freedman, Wallington, & Bless, 1967) subjek-subjek diajak mengacak tingkatan siswa yang disusun dalam kartu indeks dan kemudian diminta secara suka rela untuk bereksperimen lari. Pada eksperimen lainnya (Carlsmith & Gross, 1969) subjek yang berperan sebagai guru memberikan instruksi untuk melakukan shock terapi listrik ketika seorang pembelajar melakukan kesalahan. Kemudian pembelajar meminta tiap-tiap subjek secara suka rela menelepon orang dalam peraturan untuk mencegah bangunan dilalui jalan besar pohon kayu besar di California.
Pada bab selanjutnya tiap-tiap tipe perilaku prososial akan dibahas secara detail. Tetapi, pertama itu penting dianalisis bagaimana perilaku prososial tersebut dalam proses sosial. Bab berikut akan membahas sebagai isu utama.
Hasil Pembahasan Kelompok :
Sebagai makhluk sosial manusia tentu tidak terlepas dari manusia yang lainnya. Dalam pergaulannya, manusia melalukan interaksi dengan sifat-sifat bawaannya sebagai makhluk yang bernaluri ganda, makhluk sosial dan makhluk pribadi. Di sinilah keunikan makhluk yang bernama manusia. Secara individu, manusia memiliki perbedaan dari manusia yang lainnya. Tetapi dalam perbedaan tersebut ternyata memiliki kesamaan yang prinsifil yaitu saling membutuhkan.
Keunikan manusia tersebut menjadi keunikan pula dari ilmu yang mempelajarinya. Dalam hal ini, pembahasan lebih konsen pada keunikan psikologi manusia sebagai makhluk sosial. Bagaimana hubungan manusia dengan manusia lainnya serta makhluk lainnya yang didasari oleh cirri-ciri manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial. Sangat menarik untuk terus dikaji. Dari dua hal tersebut tentu bisa melahirkan perilaku yang prososial dan juga perilaku antisosial. Kajian bab ini dibatasi hanya membahas perilaku prososial dan lebih spesifik membahas tentang altruistik.
Perilaku prososial adalah tindakan yang menguntungkan orang lain tetapi tidak memberikan keuntungan yang nyata bagi orang yang melakukan tindakan tersebut, walaupun terkadang menyebabkan resiko di pihak orang yang memberikan bantuan. Terdapat beberapa perilaku yang berkenaan dengan perilaku prososial, seperti tindakan menolong, melakukan kebajikan, volunterisme juga digunakan untuk menggambarkan tentang hal-hal “baik” yang dilakukan orang untuk memberikan bantuan yang dibutuhkan kepada orang lain.
Konsep altruisme sendiri berasal dari bahasa Perancis yaitu autrui yang artinya "orang lain" turunan dari kata latin alter. Secara epistimologis, altruisme berarti: Loving others as oneself , Behaviour that promotes the survival chances of others at a cost to ones own, Self-sacrifice for the benefit of others.
Istilah altruisme diciptakan oleh Auguste Comte, seorang filsuf positivisme. Comte dalam “Catechisme Positiviste” mengatakan bahwa setiap individu memiliki kehendak moral untuk melayani kepentingan orang lain atau melakukan kebaikan kemanusiaan tertinggi ("greater good" of humanity). Kehendak hidup untuk sesama merupakan bentuk pasti moralitas manusia, yang memberi arah suci dalam rupa naluri melayani, yang menjadi sumber kebahagiaan dan karya.
Altruisme berarti melayani orang lain dengan menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Altruisme merupakan kehendak untuk mengorbankan kepentingan pribadi. Tindakan ini seringkali disebut sebagai peniadaan diri atau pengosongan diri. Altruisme merupakan sebuah dorongan untuk berkorban demi sebuah nilai yang lebih tinggi, bisa karena faktor manusiawi mapun faktor religi. Sebuah nilai yang tidak akan bisa diukur oleh apapun. Ukuran kepuasan bukan lagi materi, melainkan kebahagian orang lain yang berhasil kita bantu.
Altruisme merupakan sikap dalam diri seseorang atau dorongan yang dapat memunculkan dan meningkatkan tindakan prososial. Altruisme juga dapat diartikan sebagai dorongan reaksi emosional positif yang mengarahkan pada tindakan prososial dalam membantu kesulitan orang lain. Berdasarkan dua pernyataan di atas terlihat bahwa altruisme lebih mengarah pada dorongan atau sikap.
Dalam bidang kehidupan manusia, altrusime dan self-sucrifice secara umum diartikan sebagai ekspresi tertinggi dari moralitas. altrusime dan self-sucrifice adalah tindakan yang jelas mencerminkan bagaimana suatu aksi tidak hanya dimaksudkan demi kebaikan pribadi. Hal tersebut jelas menjadi representasi dari kriteria diri sebagai agen moral. Jika kita menggunakan kacamata yang lebih luas, ekspresi tertinggi moralitas bisa jadi bukan hanya sekedar monopoli bidang kehidupan manusia. Artinya, dengan menggunakan kriteria yang sama yaitu altrusime dan self-sucrifice sebagai ekspresi tertinggi dari moralitas, makhluk non-human pun sebenarnya juga dapat melakukanya. Di atas telah disebutkan bahwa semut, lebah, serta tumbuhan dapat merepresentasikan tindakan altruis dan self-sucrifice. Oleh karena itu, rasanya tidaklah terlalu berlebihan jika kita menyebut mereka sebagai makhluk yang juga memiliki ekspresi moral (Hermanprawiyanto, 2009)
Perilaku altruis berfokus pada motivasi untuk menolong sesama atau niat melakukan sesuatu tanpa pamrih, berupa ketetapan moral. Altruisme adalah perbuatan mengutamakan orang lain dibanding diri sendiri. Perilaku ini adalah sifat murni dalam banyak budaya, dan juga ajaran dalam banyak agama. Istilah altruisme sendiri terkadang digunakan secara bergantian dengan tingkah laku prososial, tetapi altruisme yang sebenarnya adalah tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk tidak mementingkan diri sendiri demi kebaikan orang lain.
Perilaku altruistik tidak hanya berhenti pada perbuatan itu sendiri, sikap dan perilaku ini akan menjadi salah satu indikasi dari moralitas altruistik. Moralitas altruistik tidak sekadar mengandung kemurahan hati atau belas kasihan. Ia diresapi dan dijiwai oleh kesukaan memajukan sesama tanpa pamrih. Ketika kita berbicara tentang altruisme lebih khususnya perilaku altruistik maka akan terkait dengan perilaku prososial.
Kalau kita merujuk pada ajaran agama, Islam memandang alturistik, kualitas iman atau agama justru harus diukur dari tindakan altruistik seseorang. sebagaimana hadis Rasulullah saw: “Berkorban untuk orang lain adalah kebajikan yang paling baik, dan merupakan derajat iman yang tertinggi.” Seorang yang mengaku beragama atau beriman mestilah jiwa dan ruhaninya diresapi kasih sayang terhadap sesama tanpa bersikap diskriminatif dan primordialistik. Orang beriman adalah orang yang diri dan apapun yang dimilikinya telah diberikan hanya untuk berjuang dijalan Allah. Mereka bertindak hanya berdasar pada pertimbangan keimanan dan kepasrahan kepada Allah semata. Sesama Islam adalah saudara, apabila seorang Islam sakit maka sakitlah juga yang dirasakan oleh seluruh umat tersebut.
Dalam Islam, ketika kita memberi sesuatu maka berilah sesuatu yang paling dicintai, bukan sebaliknya, kita memberikan barang sisa kepada orang lain. Ciri utama moralitas altruistik adalah pengorbanan. Karena itu, tindakan altruistik menjadi suatu yang diidealkan dalam ajaran agama. Bahkan para filsuf berpendirian bahwa altruistik adalah pilihan terbaik bagi kehidupan bersama umat manusia. Sir Charles Erlington umpamanya mengemukakan, bekerja sama telah terbukti lebih berhasil dari pada berkompetisi dalam proses evolusi (Tn, 2009)
Dalam bidang politik, bisnis, dan kehidupan sosial lainnya, acapkali dibutuhkan suatu bentuk pengorbanan untuk kemajuan bersama yang lebih baik. Kebiasaan pejabat tertentu mundur demi memberi kesempatan pada orang lain yang lebih muda atau lebih potensial, adalah bentuk kerja sama dan pengorbanan yang diperlukan untuk memberi manfaat yang berharga dan untuk tujuan lebih luhur bagi kemanusiaan . Walaupun Darwin mengajarkan survival of the fittest sebagai hukum evolusi, ternyata bahwa hukum itu tidak semata-mata dijalani dengan berkompetisi dan cenderung mengorbankan pihak lain dan orang lain, tetapi juga, secara alamiah itu tidak mungkin terjadi sepenuhnya. Dalam realitanya, sekecil apapun hidup ini mengandung makna pengorbanan bagi keberlangsungan hidup itu sendiri. Hal ini sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk sosial.
Sebagai makhluk yang bermoral seharusnya setiap manusia mempunyai kesadaran altruistik. Dan supaya kesadaran moral altruistik termanifestasi dalam kenyataan hidup masyarakat, sifat itu mestinya menjadi muatan pendidikan budi pekerti dan pendidikan agama yang diberikan kepada anak didik. Kepedulian terhadap sesama, solidaritas sosial dan kesediaan berbagi merupakan nilai-nilai yang perlu ditanamkan dan dibiasakan kepada anak didik sejak dari rumah, sekolah, dan di masyarakat. Kesadaran ini belum banyak disadari oleh para pendidik sehingga pengembangannyapun tersendat dalam jebakan sistem pendidikan yang sangat pro-iptek. Jadi wajar saja kalau outcome pendidikan Indonesia masih jauh panggang dari api.
Berdasarkan penelitian para ahli dalam hubungan perilaku alturustik, dalam kehidupan nyata yang berhubungan dengan gender, menunjukkan bahwa laki-laki lebih cendrung memberi pertolongan pada wanita yang mengalami kesulitan, meskipun wanita pada semua umur mempunyai empati yang lebih tinggi daripada laki-laki. Misalnya saja dalam situasi darurat yang membutuhkan keterampilan, dan pengetahuan tertentu yang lebih banyak terdapat pada pria daripada wanita, maka prialah yang terlihat memiliki perilaku tersebut. Contoh, ketika sebuah mobil yang dikenderai seorang perempuan mengalami pecah ban, maka seorang prialah yang paling mungkin melakukannya. Contoh lain, ketika penduduk di sebuah pedesaan sedang mendirikan rumah, maka yang berbondong-bondong membantu pembangunan tersebut adalah dari gender laki-laki.
Perilaku prososial tentu bermula dari kondisi pribadi manusia itu sendiri. Berikut merupakan karakteristik kepribadian yang dapat mendorong tingkah laku prososial, yakni:
1. Empati, individu yang menolong memiliki rasa empati yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak menolong.
2. Komponen kognitif
3. Kebutuhan untuk disetujui
4. Kepercayaan interpersonal, individu yang memiliki kepercayaan interpersonal yang tinggi akan terlibat dalam lebih banyak tingkah laku prososial daripada individu yang tidak mempercayai orang lain.
5. Emosi yang positif
6. Sosialibilitas dan keramahan
7. Tidak agresif
8. Percaya akan dunia yang adil, individu yang menolong mempersepsikan dunia sebagai tempat yang adil dan percaya bahwa tingkah laku yang baik akan mendapat pahala dan tingkah laku yang buruk mendapat hukuman
9. Tanggung jawab sosial, individu yang menolong mengekspresikan kepercayaan bahwa setiap orang bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik untuk menolong orang yang membutuhkan.
10. Locus of Control Internal, kepercayaan individual dimana individu dapat memilih untuk bertingkah laku dalam cara yang memaksimalkan hasil akhir yang baik dan meminimalkan yang buruk. Orang yang menolong mempunyai locus of control internal yang tinggi.
11. Tidak adanya egosentris, individu yang menolong memiliki sifat egosentris yang rendah.
12. Generativitas atau komitmen pada diri sendiri
13. Bukan Machiavellian, dimana individu tidak merujuk pada orang-orang yang dikarakteristikan oleh ketidakpercayaan, sinisme, egosentris, dan kecendrungan untuk memanipulasi orang lain.
14. Kesediaan untuk bertindak (Tn, 2008)
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Utama :
Wiley, John & Sons. 1976. Prososcial Behavior. New York: Toronto John Willey & Sons.
Sumber Internet :
http://autre-ism.blogspot.com/4/04/2010.