Minggu, 13 November 2011

Mengembangkan Kreativitas (kreativ)

Mengembangkan Kreativitas Siswa dalam Pembelajaran

Belajar kreatif telah menjadi bagian penting dalam wacana peningkatan mutu pembelajaran. Hingga kini kreativitas telah diterima baik sebagai kompetensi yang melekat pada proses dan hasil belajar. Inti kreativitas adalah menghasilkan sesuatu yang lebih baik atau sesuatu yang baru.
Hal tersebut sesuai dengan pendapatn Jeff DeGraff& dan Khaterine (2002)  menyatakan bahwa Creativity is core of all the competencies of your organization because creativity is what makes something better or new.
Produk baru bersifat relatif. Baru bisa bermakna sebagai hasil menyempurnakan, menambahkan, mengubah, mereposisi dari sesuatu yang ada sebelumnya sehingga sesuatu berubah menjadi lebih baik atau tampil beda. Baru juga bisa berarti tidak ada sebelumnya di dalam kelas atau di sekolah sendiri, di sini. Tidak peduli bahwa sesuatu itu sebenarnya sudah pernah ada di tempat lain. Jika kebaruan itu mencakup batas beberapa sekolah atau bahkan lebih dari itu, maka nilai kreativitasnya meningkat.
Apabila guru menggunakan konsep tersebut sebagai dasar pengembangan pembelajaran, maka masalah yang dihadapinya adalah bagaimana siswa dapat berkegiatan dengan menggunakan cara yang berbeda dari sebelumnya. Memilih cara melakukan sesuatu sehingga menghasilkan model berbeda dari yang sebelumnya.
Konsekuensi dari guru memerlukan data atau fakta mengenai proses  dan hasil belajar sebagai bahan perbandingan. Selanjutnya data digunakan untuk menentukan indikator pembeda.
Proses dan hasil belajar yang dijadikan bahan perbandingan pada prinsipnya dapat berasal dari produk siswa yang sama, internal sekolah, maupun dari sekolah lain, misalnya, dari sekolah yang mampu menghasilkan produk lebih unggul. Membandingkan proses belajar dan hasil belajar dengan produk internal disebut benchmarking internal, sedangkan membandingkan dengan proses dan hasil belajar dari luar sekolah disebut benchmarking eksternal.
Peta Profil Kreativitas
Jeff DeGraff dan Khaterine mengelompokkan kreativitas pada kuadran kiri dan kanan dalam diagram berikut:
Profil individu imajinif (imagine) memiliki kompetensi dalam mengembangkan kreativitas bersumber dari daya imajinasinya. Sesungguhnya setiap individu memiliki kemampuan menghayal, namun individu imajinatif mampu mewujudkan hayalannya dalam ide dan karya yang unik. Ujung dari hayalnya adalah berkarya.
Individu imajinatif mengeksplorasi ide-ide baru, menciptakan tata artistik baru, mewujudkan produk baru, membangun pelayanan baru, memecahkan  masalah dengan cara-cara baru. Potensinya akan berkembang jika didukung dengan kultur lingkungan yang menghargai dengan baik percobaan, melakukan langkah-langkah spekulatif, fokus pada pengembangan ide-ide baru, bahkan melakukan hal yang tidak dapat dilakukan orang sebelumnya.
Profil individu penanam modal (invest) menunjukkan daya kompetisi yang kuat, memiliki kesungguhan dalam berjuang serta intensif dalam mewujudkan keunggulan. Tipe pribadi ini berani kalah dan siap menang dan siap menanggung resiko. Kepribadian investor mengembangkan kreasi dengan cepat sebelum kopetitor dapat melakukannya. Pribadi yang cerdas dan pekerja keras, pikirannya fokus pada kebaikan yang yang akan diraihnya. Karena itu ia memiliki motivasi yang kuat untuk mewujudkan keberhasilan. Kelebihannya ditunjukkan dengan kemampuan merespon dengan cepat tiap perubahan.
Berbagai bentuk penemuan baru dalam bidang teknologi lahir dari tipe orang yang memiliki karakter seperti ini, kemauannya kuat dan tidak pernah puas dengan hasil kerja yang diraihnya.
Profil individu pembaharu (improve) ditandai dengan karakter yang kreativitasnya yang tak pernah surut. Aktivitas meniru sesuatu yang ada, memodifikasi, dan menyempurnakannya dan merekayasa sesuatu menjadi baru atau lebih baik, hingga membuat sesuatu berbeda dari sebelumnya. Profil individu pembaharu, seperti julukannya, memiliki karakter sangat kompleks, tak pernah kehabisan ide, pejuang sejati, dan selalu berusaha keras tidak gagal.
Keunggulannya bemodalkan keunggulan berpikir yang sistematik, berhati-hati, dan selalu memperbaharui idenya dengan cepat serta dapat menapilkannya sebagai ide dan karya nyata. Orang seperti ini akan bekembang optimal jika tumbuh pada kultur yang berorientasi pada masa depan, fokus pada rencana, mengkreasi sistem dan proses, Lebih dari itu, konsisten terhadap standar dan peraturan yang dijadikan dasar pijakan.
Karakter seperti ini mendukung proses kerjanya berdisiplin tinggi, menjujung tingkat kecepatan dan ketepatan yang tinggi. Lebih dari itu, kepatuhannya pada standar terhindar dari kesalahan.
Profil pengeram (incubate) adalah orang yang mematangkan atau mengeram ide-ide inovatif dalam dirinya sebelum gagasan direalisasikan. Profil  memiliki karakter bekerja dengan penuh keyakinan dan sepenuh hati. Jika ia seorang pembisnis maka keyakinan terhadap pekerjaannya lebih daripada bisnis itu sendiri. Ia menghayati kedalamannya. Ia meyakini dengan dilandasi dengan nilai-nilai hidup yang menjadi dasar hidupnya.  Karakter pribadinya selalu mendapat tempat dalam kegiatan belajarnya maupun dalam pekerjaannya.
Profil penggagas memiliki komitmen yang kuat terhadap komunitasnya, fokus membangun kekuatan yang menghargai ide bersama, menjunjung kebersamaan dan efektif berkomunikasi. Kekuatannya didukung pula dengan kebiasaannya tak pernah berhenti belajar, tumbuh kuat dalam kebersamaan, kompeten dalam membangun dukungan, memahami bagaimana belajar dan membangun kekuatan, memahami baik situasi dan kondisi, dan memilih tindakan yang tepat tanpa harus menunggu keputusan yang terlalu lama.
Profil penggagas ini tumbuh dalam interaksi kelompok, menyadari pentingnya meningkatkan kekuatan individu melalui kelompok, menghargai sumber daya manusia, melakukan pelatihan, dan meningkatkan efektivitas fungsi organisasi. Dengan demikian setiap tahap kegiatannya teroganisasi dengan baik.
Dari uraian di atas, seperti dijelaskan Jeff DeGraff dan Khaterine dapat dikembangkan ihtisar ringkas profil kreativitas individu sebagai berikut:
  • Imajinatif (imagine) mementingkan pencapain tujuan inovasi dan pertumbuhan. Karakter : generalis, senang bereksplorasi, menyukai perubahan, dan menyukai keragaman.
  • Penanam Modal (Invest) mementingkan kecepatan dan keuntungan. Karakter : berorientasi pada kinerja, mengandalkan daya pikir, disiplin, dan menyukai tantangan.
  • Pembaharu (improve) mementingkan kualitas dan optimalisasi. Karakter sistematik, menyukai teknik, praktis, dan memiliki perhatian terhadap proses.
  • Penggagas (Incubate) mementingkan peran minat dan kelapangan ide-ide. Karakter: menyukai curah ide, berorientasi pada kekuatan komunikasi, bersifat komunikatif dan menyukai belajar.
Disain Kreatif dalam Perencanaan Belajar
Pembelajaran kreatif yang membuat siswa mengembangkan kreativitasnya. Itu berarti bahwa bahwa pembelajaran kreatif itu membuat siswa aktif membangkitkan kreativitasnya sendiri.
Mengembangkan kreativitas siswa dalam pembelajaran berarti mengembangkan kompetensi memenuhi standar proses atau produk belajar yang selalu terbarukan.  Di sini diperlukan strategi agar siswa mampu menghasilkan gagasan yang baru, cara baru, disain baru, model baru atau sesuatu yang lebih baik daripada yang sudah ada sebelumnya.
Segala sesuatu yang baru itu muncul dengan pemicu, di antaranya, karena tumbuh dari  informasi yang baru, penemuan baru, teknologi baru, strategi belajar yang baru yang lebih variatif, sistem kolaborasi dan kompetisi yang baru, eksplorasi  ke wilayah sumber informasi baru, menjelajah forum komunikasi baru, mengembangkan stategi penilaian yang baru yang lebih variatif.
Yang lebih penting dari itu adalah melaksanakan perencanaan belajar dalam implementasi belajar kegiatan sebagai proses kreatif dan menetapkan target mutu produk belajar sebagai produk kreatif yang inovatif.
Indikator kreativitas dalam perencanaan belajar jika guru menetapkan target-target berikut:
  • proses pembelajaran dirancang untuk membangun pengalaman belajar yang baru bagi siswa.
  • proses pembelajaran dirancang agar siswa memperoleh informasi terbaru.
  • proses belajar dirancang sehingga siswa dapat mengembangkan pikiran atau ide-ide baru.
  • proses belajar dapat mengasilkan produk belajar yang berbeda dari produk sebelumnya.
  • produk belajar diekspersikan dan dikomunikasi melalui media yang kreatif.
Memperhatikan harapan-harapan itu, maka mempersiapkan perangkat rencana pembelajaran untuk mengembangkan kreativitas siswa merupakan sebuah keniscayaan baru dalam sistem pengajaran kita.
Tips Mengembangkan kreativitas dalam pembelajaran
Secara generik  mengembangkan kreativitas  siswa dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai  pengkondisian atau membangun iklum yang memicu berkembangnya kemampuan berpikir dan berkarya. Landasannya adalah menguasai pengetahuan dan menerapkan ilmu pengetahuan dalam bentuk keterampilan terbaik.
Kreativitas itu merupakan produk pada level berpikir tertinggi. Itu sebabnya, teori Bloom yang baru  menempatkan  to create atau berkreasi menjadi bagian penting penyempurnaannya sehingga ranah kognitif tidak diakhiri dengan evaluasi, melainkan kreasi.
Untuk mengembangkan siswa yang kreatif diperlukan guru-guru yang memiliki kompetensi sebagai berikut:
  • berpengetahuan tentang karakater dan kebutuhan siswa kreatif.
  • terampil mengembangkan  kemampuan berpikir tingkat tinggi.
  • terampil mengembangkan kemampuan siswa memecahkan masalah.
  • mampu mengembangkan bahan ajar untuk sehingga  menantang siswa lebih kreratif.
  • mengembangkan strategi pembelajaran individual dan kolaboratif.
  • memberi toleransi dan memberi kebebasan sekali pun hal itu tidak dikehendakinya jika ternyata prilaku berbeda  itu menghasilkan produk belajar yang lebih kreatif.
Di samping kebutuhan kompetensi guru,  pengembangan kreativitas siswa melalui pembelajaran memerlukan iklim atau kultur yang menunjang. Ada kebiasaan-kebiasaan yang baik yang guru tumbuhkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prilaku siswa kreatif tidak selalu seperti prilaku yang guru harapkan sehingga sering terjadi guru tidak menujang tumbunya kreativitas siswa.
Menurut hasil studi Utami Munandar (1997) ciri-ciri siswa kreatif adalah;
  • terbuka terhadap pengalaman baru.
  • kelenturan dalam sikap
  • kebebasan dalam ungkapan diri
  • menghargai fantasi
  • minat dalam kegiatan kreatif.
  • memiliki tingkat kepercayaan diri terhadap gagasan sendiri.
  • mandiri dan menunjukkan inisiatif.
  • kemandirian dalam memberi pertimbangan.
Di samping sifat tersebut dilihat dari  pengalaman penulis  mengajar, siswa kreatif memiliki sifat-sifat yang berani sehingga kadang-kadang berprilaku berani menentang pendapat, menunjukkan ego yang kuat, bertindak semau gue, menunjukan minat yang sangat kuat terhadap yang menjadi perhatiannya namun pada saat yang berbeda mengabaikannya, memerlukan kebanggaan atas karyanya. Sifat-sifat tersebut sering bertentangan dengan yang guru harapkan.
Guru mengharapkan siswa sopan, rajin, ulet, menyelesaikan tugas sesuai dengan yang guru targetkan, bersikap kompromis, tidak selalu bertentangan pendapat dengan guru, percaya diri, penuh energi, dan mengingat dengan baik.
Karena ciri anak berbakat dengan sifat-sifat siswa yang guru kehendaki berbeda, maka sering terjadi prakarsa kreatif siswa tidak mendapat dukungan guru.
Salah satu model pengembangan kreativitas adalah menggunakan pertanyaan untuk menantang proses berpikir level tertinggi sesuai dengan konsep mengembangkan ide-ide kreatif  dan karya kreatif dan inovatif. Untuk mengembangkan kecakapan ini guru dapat menggunakan berbagai pertanyaan, seperti:
  • Ada ide baru?
  • Setelah memahami konsep ini apakah Anda memiliki ide baru?
  • Setelah memperhatikan cara kerja untuk menyelesaikan tugas itu, adakah proses yang dapat kita sempurnakan sehingga prosesnya menjadi lebih baik?
  • Memperhatikan contoh-contoh itu, apakah ada yang dapat kita sempurnakan sehingga akan menjadi lebih baik?
Pertanyaan itu akan lebih variatif manakala disesuaikan profil kreatifitas siswa.
Profil individu imajinif (imagine) dapat dikembangkan dengan menggunakan model pertanyaan berikut:
  • Setelah membaca itu, adakah sesuatu yang hidup dalam hayalanmu?
  • Setelah melihat percobaan yang unik itu, adakah ide baru yang hendak kamu wujudkan?
  • Bisakah kalian rumuskan gagasan baru yang menurut kalian berbeda dengan yang telah kalian pelajari.
Profil individu penanam modal (invest) dapat dipicu dengan model pertanyaan berikut:
  • Itulah yang dilakukan oleh temanmu dari sekolah lain. Selanjutnya, keunggulan seperti apa yang harus dapat kita wujudkan? Bagaimana prosesnya dan seperti apa hasil yang ingin kita buat?
  • Bisakah kita menghasilkan yang lebih baik daripada yang dapat dilakukan oleh kelas lain?
  • Apa yang dapat kita lakukan agar kita bisa selesai lebih cepat dan lebih baik, kalian punya ide?
Profil individu pembaharu (improve) dapat dipicu dengan model-model pertanyaan berikut:
  • Perhatikan hasil karya itu, apa yang masih dapat kita kembangkan agar karya itu menjadi lebih baik.
  • Apakah kamu punya cara untuk mengkomunikasikan karya itu supaya jauh lebih menarik perhatian orang-orang?
  • Dapatkan kamu sempurnakan alat itu lebih kuat dan orang lebih mudah menggunakannya?
  • Bisakah kamu menyelesaikan tantangan itu lebih cepat daripada yang dilakukan orang-orang?
  • Bisakan kita jamin bahwa usaha itu tidak akan  gagal, bagaimana rencananya?
Profil pengeram ide (incubate) dapat dipicu dengan model pertanyaan berikut:
  • Apakah kamu yakin bahwa kegiatan itu akan lebih efektif, apa kelebihan ide yang akan kamu terapkan?
  • Siapakah sebaiknnya yang akan kamu libatkan?
  • Bagaimana mereka haru bekerja?
  • Keunggugulan apa yang akan benar-benar kalian wujudkan?
Beberapa model pertanyaan itu dapat terus ditingkatkan kesulitannya sejalan dengan berkembangnya kebiasaan baik siswa yang selalu berusaha untuk mendapatkan proses yang lebih baik dengan hasil yang lebih baik lagi.
(Admin).
Referensi:
Jeff Degraff &Katherine A. Lawrence.2002. Creativity at Work: Developing the Right Practices to Make Innovation Happen, University of Michigan Business School Management Series, Jossey-Bass a Wiley Company. San
Utami Munandar.2002. Kreativitas dan Keberbakatan, PT Gramedia Utama, Jakarta.

Sabtu, 15 Oktober 2011

PENDEKATAN TRANSDISCIPLINARY SEBAGAI SUATU ALTERNATIF DI DALAM MEMECAHKAN MASALAH PENDIDIKAN

PENDEKATAN TRANSDISCIPLINARY SEBAGAI SUATU ALTERNATIF DI DALAM MEMECAHKAN MASALAH PENDIDIKAN
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah: Pendekatan Transdisciplinary Dalam Mengatasi Masalah Sosial
Dosen : Prof. DR. Disman, M.Si



 








Oleh :

Ahsan Sofyan
(1006980)



PROGRAM PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2011
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………..…………………………………………..….…         i  
DAFTAR ISI………………..………………………………..…………….………        ii

BAB I  PENDAHULUAN
            A.  Latar Belakang ………………..……………………..…………………       1
B.  Identifikasi Masalah ..…………………………...……..………...……..       3
BAB II PEMBAHASAN
A.  Pengertian Transdisiplinari…………………………………..…………       4
B.  Peranan transdiciplinari dalam memcahkan masalah pendidikan …..…       7
C.  Karakteristik pendekatan Transdiciplinary …………………………....        8
D. Ciri-ciri Pendekatan Transdisciplinary ………………………….……..        9
E. Faktor Penunjang Pendekatan Transdisciplinary……………………..       11
BAB III PENUTUP
Kesimpulan……………………………..……….....................…….……….……..       13
Daftar Pustaka ……...…………………………………………..…………………       15








KATA PENGANTAR


            Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat,taufiq dan hidayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
            Makalah Pendekatan Transdisipliner Dalam Mengatasi Masalah Sosial, Tentang judul : “PENDEKATAN TRANSDICIPLINARI SEBAGAI SUATU ALTERNATIF DI DALAM MEMECAHKAN MASALAH PENDIDIKAN”. ini saya susun untuk memenuhi salah-satu tugas mata kuliah.
            Saya sepenuhnya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini,masih banyak kekurangan serta memerlukan banyak perbaikan. Untuk itu saya mengharafkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan makalah ini.
            Saya selaku penyusun berharap semoga makalah ini ada guna dan manfaatnya bagi para pembaca, terkhusus bagi saya sendiri sebagai penulis.Amin.






                                                                                         Bandung, 29 September 2011


                                                                                                  (Ahsan Sofyan)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan dapat dilakukan kapan saja, dimana saja, dan merupakan suatu proses yang berpengaruh dalam setiap sistem. Aktivitas pendidikan dilakukan oleh spesialis dalam berbagai bidang pendidikan serta terungkap dalam sistem sosial apapun.Berkembangnya isu pendidikan yang terpisah-pisah menjadikan makin terkotak-kotaknya sistem pendidikan saat ini. Dalam mengantisipasi isu  tersebut, maka diperlukan sebuah pendekatan, dan pendekatan yang sesuai adalah pendekatan transdisiplin, karena produksi ilmu pengetahuan adalah suatu proses sosial yang mengalami diseminasi secara global maupun lokal melalui berbagai bentuk dan tempat, maka di masa yang akan datang akan terjadi rekonfigurasi ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, maka dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan di alam semesta ini, tak cukup civitas akademika dipersiapkan dengan satu disiplin saja berdasarkan kognisinya semata, melainkan diperlukan orientasi transdisipliner melalui interpenetrasi antara rasio, emosi, intuisi dan cipta talent. Ini tidak berarti bahwa satu-satunya disiplin tidak perlu diperdalam secara intensif, melainkan kedalaman intensivitas maupun eksentivitas ilmu tersebut mencari berbagai fungsi keterkaitannya dengan aneka dimensi kehidupan, sehingga terwujud ilmu pengetahuan yang terobos menerobos.
Permasalahan global terutama didalam memecahkan persoalan pendidikan seperti yang dianjurkan oleh UNESCO memerlukan berbagai disiplin ilmu, kita perlu berperan serta secara aktif mencari solusi yang terbaik dalam menghadapi masalah global yang dihadapi saat ini. Perkembangan peradaban dunia yang semakin global saat ini menjadikan rumitnya persoalan sehingga segala persoalan yang ada tersebut tidak mungkin diselesaikan dengan satu disiplin ilmu saja tetapi memerlukan multi disiplin untuk memecahkannya.
Dalam memecahkan masalah pendidikan jika kita hanya menggunakan monodisiplin, kita akan berhadapan dengan berbagai kelemahan yang muncul dimana kita hanya memahami disiplin ilmu itu saja tanpa memahami disiplin ilmu lain yang dapat dimanfaatkan untuk melengkapi disiplin ilmu yang kita pahami. Dunia akademik saat ini ditandai dengan keberadaan disiplin ilmu yang saling terpisah. Integrasi oleh karenanya merupakan kata kunci yang diperlukan untuk meningkatkan pemahaman. Upaya untuk mengatasi masalah-masalah global yang bersifat multisektoral memerlukan pendekatan transdisiplin. Pendekatan transdisipliner sebagai ruang intelektual merupakan wadah dimana isu-isu tersebut dibahas sehingga berbagai permasalahan tersebut dapat dianalisis dan di implementasikan.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka makalah ini akan membahas tentang konsep  transdisiplinari dalam upaya memahami dan memecahkan masalah kompleks dan urgensi pendidikan. Tujuan dari transdisiplinary adalah untuk membangun pandangan yang diperlukan dan mengeksplorasi makna baru yang sinergi. Pendapat dari Julie Thompson Klein yang menyatakan bahwa transdisiplin sebagai pengetahuan praktis yang bersifat reflektif yang mempertimbangkan pluralitas dan kompleksitas kondisi manusia.Konsep transidsiplinari itu sendiri dan implikasi transdisiplin dalam membangun manusia sebagai pewaris kemaslahatan tidak hanya sesama manusia, tapi keberlangsungan bumi dan alam semesta.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka akan dibahas lebih lanjut tentang “Pendekatan transdiciplinari sebagai suatu alternative di dalam memecahkan masalah pendidikan”. Oleh karena itu identifikasi masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaimana peranan Trandisiplinari dalam memecahkan masalah pendidikan di Indonesia?
2.      Faktor-faktor apa yang menunjang pendekatan transdisciplinari dalam memecahkan masalah pendidikan di Indonesia?









BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Transdisiplinari
Dalam proceeding Simposium Internasional UNESCO (1998:5) berjudul: “Transdisciplinarity: Towards Integrative Process and Integrated Knowledge”, dikutip ungkapan Prof. Sommervile yang menyatakan bahwa;
We speak the language of our discipline, which raises two problems: first, we may not understand the languages of the other disciplines; second, more dangerously, we may think that we understand these, but do not, because although the same terms are used in different disciplines, they mean something very different in each”.

Ungkapan tersebut menjelaskan bahwa kita sering berbicara dengan bahasa disiplin kita. Padahal terkadang hanya akan menimbulkan dua masalah. Pertama, kita mungkin tidak memahami bahasa disilpin ilmu yang lain dan kedua, lebih berbahaya lagi, kita mungkin berpkiri bahwa kita memahami masalah tersebut berdasarkan disiplin kita, padahal tidak. Karena meskipun satu istilah yang sama digunakan dalam disiplin yang berbeda, istilah-istilah tersebut memiliki makna yang sangat berbeda sehingga dipahami dengan cara yang berbeda pula. Artinya, setiap maslah adalah kompleks. Tidak bisa dipahami dan dipecahkan dengan dan dari hanya satu sudut pandnag atau disiplin. Itulah gunanya sinergi lintas disiplin (transdiscilinary synergy).
Kalau kita lihat definisi menurut wikipedia, “transdisiplinari dikonotasikan sebagai strategi penelitian lintas disiplin untuk menciptakan suatu pendekatan yang holistik”. Strategi ini digunakan sebagai upaya penelitian yang memfokuskan pada permasalahan lintas dua atau lebih disiplin. Inti dari definisi ini adalah bahwa transdisiplinaritas adalah merupakan suatu strategi penelitian dengan tujuan untuk memahami suatu masalah dan memecahkannya secara holistik dengan melibatkan lebih dari dua disiplin (lintas disiplin). Secara sederhana, “transdisiplinaritas didefinisikan sebagai suatu proses yang dicirkan dengan adanya integrasi upaya dari berbagai disiplin (multi-disciplines) untuk memahami isu atau masalah” (UNESCO, 1998:31). Ini adalah konsep yang paling sederhana tentang transdisiplinaritas. Beberapa pakar dalam Simposium Internasional tentang Transdisciplinarity yang diselenggarakan oleh UNESCO (1998:24) mendefinisikan transdisiplinaritas sebagai berikut:
Transdisiplinari adalah konsep yang terintegrasi dan praktek pengetahuan, untuk menangani isu-isu penting berdasarkan prosedur secara integratif. Sat kita bicara disiplin maka terkait dengan dua masalah yaitu ketidakmengertian kita terhadap bahasa yang digunakan oleh disiplin itu, kemungkinan kedua adalah kita mengerti bahasa yang digunakan disiplin itu meskipun istilah yang digunakan dalam disiplin itu berbeda”.
Perbedaan antara pendekatan interdisipliner dengan transdisipliner adalah dalam proses analisis masalah dalam pendekatan disiplin secara spesifik dan bersama-sama secara paralel. Dalam transdisipliner dengan pendekatan dan metode yang dikembangkan bersama dengan mengintegrasikan dan mengubah bidang pengetahuan dari berbagai perspektif dan memahami masalah secara kompleks dengan mentransformasi pengetahuan itu sendiri. Oleh karena itu dalam upaya menyelesaikan sebuah persoalan global hendaknya diupayakan adanya dialog antar disiplin ilmu pengetahuan.
Implementasi transdisiplin diasumsikan sebagai upaya kooperatif para ilmuwan dalam mendudukkan persoalan-persoalan yang menyangkut kehidupan manusia, sehingga melalui dialog tersebut dapat dicapai analisis praksis berdasarkan metode yang dikembangkan masing-masing disiplin ilmu tersebut karena masing-masing disiplin ilmu memiliki keunggulannya sendiri-sendiri dalam mengatasi problem global. Dialog antardisiplin dimaksud diharapkan dapat menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan yang lebih produktif dibanding jika hanya diselesaikan melalui solusi satu disiplin ilmu.
Contoh studi yang membutuhkan lintas bahasan antar disiplin ilmu ini adalah pembahasan mengenai otak manusia. Masing-masing disiplin ilmu dalam menyikapi masalah ini memiliki sudut pandang dan kajian yang mendukung sudut pandang tersebut secara mandiri yang kesemuanya didasarkan pada kekuatan metode ilmiah masing-masing disiplin. Ternyata benturan antardisiplin pengetahuan telah terjadi dalam memaknai perkembangan dan pertumbuhan otak manusia. Para filsuf, ahli biologi dan psikologi masing-masing memiliki argumentasi ilmiah dalam menterjemahkan masalah ini sampai seorang tokoh yang bernama Changeux melontarkan ide agar para ilmuwan dari masing-masing disiplin ilmu tersebut duduk satu meja untuk membuka dialog bahwa sesungguhnya tidak terdapat benturan ilmu pengetahuan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan global.
B. Peranan transdiciplinari dalam memcahkan masalah pendidikan
Seratus tahun terakhir para ahli pendidikan telah berbicara tentang pendekatan yang disebut sebagai kurikulum yang terintegrasi (integrated curriculum). Dan dalam seratus tahun terakhir ini pula kita mendapati tiga pendekatan penting dalam proses intergasi kurikulum, yaitu multidisciplinary, interdisciplinary, dan yang paling up date adalah transdisciplinary.
Jika multidisciplinary mengasumsikan pembahasan sebuah tema bahasan dengan pendekatan dan sudut pandang bidang studi masing-masing, maka interdisciplinary mencoba mengintegrasikan tema bahasan ke dalam beberapa mata pelajaran. Sedangkan transdisciplinary approach lebih melihat sebuah tema bahasan bukan saja dari perspektif  mata pelajaran, tetapi juga menimbang konteks kekinian dan kebutuhan siswa berdasarkan bakat dan minatnya. Dengan demikian transdisciplinary approach membutuhkan keterampilan dan kreativitas guru yang luar biasa untuk memandang dan mengajarkan sebuah subjek berdasarkan tema, konsep, sekaligus keterampilan yang sesuai dengan kehidupan nyata dan minat siswa dalam mendorong nilai-nilai kebaikan ke arah kebajikan yang pasti dan bertanggungjawab.
“Transdisipliner bukanlah sebuah disiplin ilmu melainkan sebuah pendekatan, sebuah proses untuk memperluas pengetahuan dengan mengintegrasikan dan mentransformasikan perbedaan perspektif, (Massimiliano Lattanzi, 1998)”. Berdasarkan pendapat tersebut, maka tujuan dari pendekatan transdisiplin adalah untuk membangun pandangan-pandangan yang diperlukan untuk mengeksplorasi makna baru dan sebuah sinergi.
Transdisiplin mempunyai manfaat tidak hanya digunakan untuk menghadapi masalah-masalah kompleks semata, tetapi juga untuk melihat adanya problem baru yang muncul akibat dari analisis yang mendalam dari proses interdisiplin.
C. Karakteristik pendekatan Transdiciplinary
Untuk memahami lebih jauh karakteristik  transdisiplinary, sebaiknya terlebih dahulu dibahas beberapa istilah serupa tapi memilik pengertian yang berbeda yaitu disiplinaritas, multidisiplinaritas, interdisiplinaritas dan transdisiplinaritas. Meeth (1978) seperti dikutip oleh Nordahl dan Serafin (2005:2) “mengilustrasikan perbedaan antara intradisiplinaritas, cross-disiplinaritas, multidisiplinaritas, interdisiplinaritas dan transdisiplinaritas dalam hirarki” seperti pada gambar berikut:
Gambar 2.1
ilustrasi perbedaan antara intradisiplinaritas, cross-disiplinaritas, multidisiplinaritas, interdisiplinaritas dan transdisiplinaritas




Tangga paling bawah adalah studi intradisiplin yaitu studi yang hanya terdiri dari satu disiplin. Naik ke tangga kedua, cross-disiplin yaitu suatu studi dimana satu disiplin dipandang dari beberapa sudut pandang disiplin lain. Tangga berikutnya adalah multidisiplin yaitu studi dimana antara satu disiplin dan disiplin lain disejajarkan (juxtaposistion of disciplines), dimana masing-masing disiplin menawarkan sudut pandangnya masing-masing tapi tidak ada upaya untuk memadukannya secara integratif. Satu langkah di atasnya lebih mendekati transdisiplin karena kedua istilah ini sering dipakai secara bergantian. Namun, Meeth (1978) membedakannya bahwa dalam studi interdisiplin telah ada upaya mengintegrasikan berbagai sudut pandang untuk memecahkan masalah tertentu. Bedanya dengan transdisiplin, upaya integrasi berbagai sudut pandang tersebut, didalam transdisiplin terjadi sejak awal ketika suatu masalah didefinisikan untuk dipecahkan. Dalam studi transdisiplin, dimulai dari masalah dan secara bersama-sama menggunakan berbabagai disiplin lain berupaya memecahkan maslah tersebut. Sementara interdisplin dimulai dari disiplin, setelah itu mengembangkan permasalahan seputar disiplin tersebut. Perbedaan ini sangat tipis dan masih jadi perdebatan. Tapi dalam hal ini, penulis cenderung menggunakan konsep yang dikemukakan oleh Meeth tersebut.
D. Ciri-ciri Pendekatan Transdisciplinary
Pendekatan Transdisipliner (transdisciplinary approach) ialah pendekatan dalam pemecahan suatu masalah dengan menggunakan tinjauan ilmu yang relative di kuasai dan relevan dengan masalah yang akan di pecahkan tetapi berada di luar keahlian sebagai hasil pendidikan formal (formal education) dari orang yang memecahkan masalah tersebut. Ilmu yang berada di luar keahlian yang akan di gunakan olehseseorang itu bisa satu atau lebih ilmu.
Namun, biasanya untuk keperluan kedalaman pembahasan orang itu hanya menggunaka Satu ilmu saja di luar keahliannya itu. Ilmu yang relevan di gunakan bisa dalam rumpun Ilmu Ilmu Kealaman (IIK),rumpun Ilmu Ilmu sosial (IIS), atau rumpun Ilmu Ilmu Budaya (IIB) secara alternatif. Penggunaan ilmu atau ilmu ilmu dalam pemecahan suatu masalah melalui pendekata ini bisa secara tersirat atau tersurat, tetapi akan lebih baik dan biasasnya memang tersurat. Hal itu di lakukan unutuk menunjukan pertanggungjawaban keilmuan orang tersebut. Pendekatan ini dahulu kurang di terima karena di anggap melanggar etika keilmuanoleh para ahli ilmu terutama oleh mereka yang ilmunya di gunakan oleh orang yang bukan ahlinya itu. Akan tetapi, dewasa ini hal yang di mungkinkan karena pasatnya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks) lagi pula kompleksnya permasalaha yang pada umumnya sulit di pecahkan oleh hanya sengan pendekatan satu ilmu (pendekatan monodisipliner ) saja. Bahkan saat hal yang di terima baik oleh kalangan ilmuan termasuk oleh ilmuan ahlinya asalkan dadlam pemecahan suatu masalah itumeunjukan kualitas dan kebenaran yang memadai.
Dengan demikian, seseorang dalam meggunakan pendekatan transdisipliner harus pula di penuhi syarat sebagai berikut :
a)      Meggunakan ilmu di luar ilmu keahlian utamanya, biasanya dalam memecahkan suatu masalah menggunakan satu ilmu di luar ilmu keahliannya itu.
b)      Ilmu yang digunakan barada dalam rumpun ilmu yang sama denga ilmu keahlian utamanya.
c)      Memahami dengan baik ilmu yang di gunakan di luar keahlian ilmu utamanya itu.
d)     Menunjukan hasil dengan kualitas dan kebenaran yang memadai.
Ciri pokok atau kata kunci dari pendekatan transdisipliner adalah trans (lintas ilmu dalam rumpun ilmu yang sama) atau yang melintasinya itu.
E. Faktor Penunjang Pendekatan Transdisciplinary
Realitas dunia ini adalah kompleks yang dicirikan dengan adanya ketidak menentuan, multiperspektif dan proses saling keterkaitan antara satu sama lain, maka proses memahami dan memecahkan masalah secara komprehensif melalui pendekatan transdisiplin perlu diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam proses pendidikan dengan tujuan megembangkan dan membangun manusia yang mampu memecahkan maslah apapun secara komprehensif dengan melibatkan berbagai sudut pandang secara transformatif dan integratif. Dalam konteks inilah pendidikan transdisiplin dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting (urgent). Dalam konteks Islam, tujuan pendidikan transdisiplin adalah untuk menyiapkan manusia sebagai khalifah dimuka bumi yang memandang dunia sebagai suatu sistem dimana antara satu sama lain sama-sama mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda tapi saling terkait satu sama lain.
Kemuliaan manusia adalah terkait dengan baik dimensi planet dan dimensi kosmik alam semesta. Kehadiran manusia di bumi adalah salah satu bagian epsiode kecil dari sejarah alam semesta. Kesadaran akan Bumi sebagai rumah kita merupakan suatu keharusan. Setiap manusia adalah bagian dari suatu bangsa, tapi sebagai penduduk bumi merupakan bagian dari lintas bangsa. Pengakuan oleh hukum internasional terhadap kesaling memilikian ini, yaitu antara untuk bangsa dan untuk bumi, adalah salah satu tujuan penelitian transdisipliner. Dengan demikian pendekatan transdisiplin bukan untuk memecahkan masalah untuk satu kepentingan tertentu, tapi untuk kemaslahatan manusia, secara khusus dan bumi serta alam semesta ini secara umum.
Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan manusia-manusia yang memiliki kesadaran transdisiplin tinggi. Itulah sebabnya pendidikan memainkan peranan penting dalam menyiapkan dan membangun generasi penerus yang bertanggung jawab terhadap kemaslahatan manusia, bumi dan alam semesta ini sebagai khalifah sesuai dengan kodrat manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.


BAB III
KESIMPULAN

Transisiplinaritas adalah strategi penelitian bertujuan untuk memahami dan memecahkan masalah secara holistik melibatkan lebih dari dua disiplin (lintas-disiplin).Transdisiplinaritas juga dapat dipandang sebagai proses dan sikap. Hal tersebut didasari Transdisiplinaritas merupakan upaya bagaimana melakukan apa yang ingin kita lakukan terhadap apa yang dapat kita lakukan menggunakan berbagai disiplin ilmu yang ada. Transisiplinaritas bukanlah suatu disiplin baru, tapi pendekatan, proses memahami dan memecahkan masalah kompleks dengan mengintegrasikan dan mentransformasikan berbagai sudt pandang berbeda. Gerakan transdisiplin, seperti tertuang dalam pasal 11, Charter of Transdisciplinarity (First World Congress of Trandisciplinarity,Convent da Arrcibida, Portugal, November 2-6, 1994) menyatakan bahwa:
“An appropriate education should not value abstraction over other forms of knowledge. It should teach contextual, concrete and global approaches, Transdisciplinary education is founded on the reevaluation of the role of intuition, imagination, sensibility and the body in the transmission of knowledge.”
Pendidikan yang tepat adalah pendidikan yang tidak menekankan pada abstarksi bentuk pengetahuan lain. Tapi harus mengajarkan pendekatan kontekstual, konkrit dan global. Pendidikan transdisiplin dibangun atas dasar reevaluasi peran intuisi, imajinasi, kepekaan dan tubuh dalam transmisi pengetahuan. Seaton (2002) seperti dikutip oleh Hasan (2007:4) menyatakan bahwa “pendidikan harus memperluas tujuan tradisional yang hanya menekankan pada penguasaan materi, tapi harus mengembangkan individu yang mampu berhadapan dengan dunia sosial, ekonomi, politik, budaya yang kompleks dan berubah-ubah”. Kompleksitas adalah hukum alam dan kesaling-terkaitan antar komponen yang kompleks tersebut adalah juga hukum alam
Penulis sepakat dengan pendapat Prof. S. Hamid Hasan (Hasan, 2007:8) bahwa “sistem pendidikan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, belum mencerminkan semangata pendidikan transdisiplin”. Artinya adalah Baik Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan dan bahkan Standar Proses masih menekankan pada upaya untuk membuat siswa menguasai materi palajaran. Begitu pula halnya dengan sistem evaluasi, khususnya ujian nasional yang jelas hanya menuntut penguasaan materi. Dengan begitu, belajar dari konsep transdisiplin nampaknya sistem pendidikan nasional perlu dibenahi, baik dari sisi kurikulum, sumber daya tenaga pendidikan kependidikan, sarana dan prasarana, kebijakan dan lain-lain yang selaras dengan semangat memanusiakan manusia sebagai khalifah dimuka bumi. Semangat ini, tidak lain dan tidak bukan adalah semangat transdisiplin.




DAFTAR PUSTAKA
Charter of Transdisciplinarity, the First World Congress of Trandisciplinarity, Convento da ArrĂ¡bida, Portugal, November 2-6, 1994 http://basarab.nicolescu.perso.sfr.fr/ ciret/english/charten.htm diakses pada tanggal 27 September 2011.
Darbellay, et. al. , “A Vision of Transdiciplinarity: Laying Foundations for a World Knowledge Dialogue”, France: CRC Press, 2008)
J. Marin Apgar, Alejandro Argumendo dan Will Allen, “Buliding Transdisciplinarity for Managing Complexity”, tersedia di  http: // learning forsustainability . net/pubs/ BuildingTransdisciplinarityforManagingComplexity.pdf diakses pada tanggal 29 September 2011.
Manfred A. Max-Neef, “Commentary: Foundation of Transdisciplinarity”, (ELSEVIER Ecological Economic: Chile, 2005), tersedia online di http://science.direct.com. Diakses 27 September 2011
Rolf  Nordahl and Stefania Serafin (2005), “Using problem based learning to support transdisciplinarity in an HCI education” dari http: // vbn. aau. dk/ files/16104806/ HCIed08final.pdf diakses pada tanggal 28 September 2011.
S. Hamid Hasan, “Transdisciplinarity dalam Pendidikan dengan Referensi Khusus pada Kurikulum”, Makalah yang disajikan dalam Seminar tentang Transdisciplinarity, di Univeristas Negeri Jakarta, 29 Oktober 2007.
UNESCO, 1998,”Transdisciplinarity: Stimulating Synergies, Integrating Knowledge”,dari http://unesdoc.unesco.org/images/0011/001146/114694eo. pdf diakses tanggal 27 September 2011.


Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons