Selasa, 06 Desember 2016

landasan pedagogik

PENDIDIKAN SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salasatu Tugas Mata Kuliah
Landasan Pedagogik
Dosen Pengampu : Prof. Dr. SYAMSU YUSUF LN.
Oleh :

Ahsan Sofyan, S.E., M.Pd
NIM : 1603055





PROGRAM DOKTORAL PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2016
 

BAB I PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan adil serta tidak diskriminatif dengan menjungjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan,nilai kultural, dan kemajemukan bangsa dengan satu kesatuan yang sistematik dengan system terbuka dan multimakna. Selain itu dalam penyelenggaraan pendidikan di lakukan dengan suatu proses pembudayaan serta pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran dengan mengembangkan budaya CALISTUNG yaitu membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat, memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. (Hal ini menjadi sebuah prinsip yang wajib dipegang oleh para Penyelenggara Pendidikan. Diadabtasi dari: UU SISDIKNAS Nomor 20 Tahun 2003). Manusia adalah mahkluk yang memiliki potensi yang terus berkembang. Potensi yang dimiliki ini terus di asah dan di kembangkan hingga akhirnya manusia mampu mengubah perkembangan zaman dari tradisional hingga zaman yang modern. Manusia terus berpikir dan menghasilkan segala Sesuatu dari apa yang telah ia pikirkan sebelumnya, manusia mendapatkann pengetahuan dari pengalaman terdahulu yang terus di kembangkan. Pengalaman –pengalaman terdahulu ini mampu menjadi sesuatu yang baru dalam hidup manusia. Namun untuk mendapatkan suatu pengetahuan hal tersebut tidak hanya bisa di dapatkan dari pengalaman saja namun juga di dapatkan dari adanya suatu proses pendidikan. Pendidikan yang telah diikuti dengan serius akan menghasilkan suatu pengetahuan, pengetahuan yang didapat dari proses pendidikan itulah yang disebut ilmu, Karena ilmu merupakan obyek utama dari pendidikan. Tanpa ilmu, segala sesuatu tidak dapat berjalan dengan baik. B. Target pembahasan makalah : 1. Pengertian Pendidikan sebagai Ilmu? 2. Teori yang mendasari pendidikan sebagai ilmu? 3. Syarat-syarat Pendidikan sebagai ilmu? 
 BAB II PEMBAHASAN 
A. Pengertian Pendidikan sebagai Ilmu Pendidikan adalah suatu usaha untuk membekali peserta didik berupa ilmu, pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi diri sendiri, masyarakat dan lingkungan sekitar. Pada dasarnya, pendidikan erat hubunganya dengan ilmu karena obyek utama dari pendidikan adalah ilmu. Pendidikan merupakan suatu kegiatan mentransfer ilmu pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik. Ilmu pengetahuan terdiri atas dua unsur besar, yaitu fakta dan teori. Teori mendefinisikan fakta sebagai observasi empiris yang bisa diverifikasi dan mempunyai tugas menempatan hubungan yang terdapat diantara fakta-fakta itu. Ilmu tidak dapat disusun hanya berdasarkan fakta saja, tetapi untuk menjadi ilmu pengetahuan fakta harus disusun dalam suatu sistem dan diinterpretasikan sehingga tanpa metode tersebut suatu fakta tidak akan bisa menjadi ilmu. Ilmu pengetahuan harus bersifat umum (Universal) artinya kebenaran yang dihasilkan ilmu pengetahuan dapat diperiksa oleh para peninjau ilmiah dan dapat dipelajari atau diikuti secara umum serta dapat diajarkan secara umum pula. Kebenaran ilmu tidak bersifat rahasia tetapi memiliki nilai sosial sehingga kewibawaan ilmiah didapat setelah hasil itu diketahui, diselidiki dan dibenarkan veliditasnya oleh sebanyak mungkin ahli dalam bidang ilmu tesebut. Ilmu pengetahuan harus bersifat akumulatif atau saling berkaitan artinya ilmu pengetahuan tersebut harus diketengahkan hubungan antara ilmu dan kebudayaan sebab ilmu merupakan salah satu unsur kebudayaan manusia. Misalnya, untuk dapat belajar manusia mempunyai kemampuan berbicara dan berbahasa. Selain itu, ilmu pengetahuan yang dikenal dewasa ini, merupakan kelanjutan dari ilmu yang ada sebelumnya. Ilmu pendidikan merumuskan kaidah atau pedoman atau ukuran tingkah laku manusia. Sesuatu yang normatif berarti berbicara masalah baik atau buruk dari perilaku manusia. Ilmu pendidikan adalah termasuk ilmu pengetahuan empiris yang diangkat dari pengalaman pendidikan, kemudian disusun secara teoritis untuk digunakan secara praktis. Dengan menempatkan kedudukan ilmu pendidikan dalam sistemmatika ilmu pengetahuan. Ilmu pendidikan bersifat normatif berarti pendidikan juga bersifat praktis karena pendidikan sebagai bahan ajar yang patut diterapkan dalam kehidupan. Pendidikan sebagai ilmu praktis adalah suatu praktek pendidikan untuk mendapatkan kemudahan dan kenyamanan dalam mencari pengetahuan. Pendidikan. Sebagai ilmu teoritis adalah pendidikan dilaksanakan berdasarkan teori yang sudah ada untuk mempermudah jalannya pendidikan. Selain itu Ilmu pendidikan juga bersifat historis dan rohaniah karena menguraikan teori sistem pendidikan sepanjang jaman dan kebudayaan serta makna filosofis yang berpengaruh pada jaman tertentu dan juga karena selalu memandang peserta didik sebagai makhluk yang bersusila dan ingin menjadikannya sebagai makhluk yang beradab. B. Teori Yang Mendasari Pendidikan Sebagai Ilmu 1. Ernest E. Bayles (1960 : p.140) mengatakan teori pendidikan adalah berkenaan tidak hanya dengan apa yang ada, bahkan banyak juga dengan apa yang harus ada. Sebagai teori yang dikembangkan secara sadar dalam kaitannya dengan pendidikan, maka teori pendidikan mempnuyai keunikan tersendiri bila dibandingkan dengan teori penjelas yang seolah memadang teori pendidikan sebagi gejala/fenomena/fakta. Teori pendidikan dikategorikan sebagai teori praktis (practical theory) karena berkaitan antara kegiatan teori dan kegiatan pendidikan. Sependapat dengan hal tersebut, Menurut George F. Kneller (1971 : p.231) kata teori mempunyai 2 makna sentral yaitu: a) Teori dapat menunjuk suatu hipotesis yang telah diverifikasi dengan observasi atau eksperimen, memandang teori dalam artian ini teori pendidikan pengembangan. b) Teori dapat merupakan sinonim umum untuk pemikiran sistematik, memandang teori ini pendidikan telah menghasilkan banyak teori. 2. Driyarkara (1980 : p.66 – 67) : pemikiran ilmiah yang bersifat kritis, metodis, dan sistematis tentang realitas yang disebut pendidikan. 3. J. Langeveld (1955) : ilmu yang bukan saja menelaah objeknya untuk mengetahui namun juga mempelajari bagaimana hendaknya bertindak. 4. Brojonegoro (1966 : p.35) : ilmu pendidikan yaitu teori pendidikan, perenungan tentang pendidikan, dalam arti luas ilmu pendidikan yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari persoalan yang timbul dalam praktek pendidikan. 5. Carter V. Good (1945 : p.36) : suatu bangunan yang sistematis mengenai aspek kuantitatif, objektif dan proses belajar, menggunakan instrument secara seksama dalam mengajukan hipotesis pendidikan untuk diuji dan pengalaman seringkali dalam eksperimental. 6. Imam Barnadib (1987 : p.66 – 67) : ilmu yang membicarkan permasalahan umum pendidikan secara menyeluruh dan abstrak. Ilmu pendidikan bercorak teoritis dan bersifat praktis. Suatu proses mentransfer ilmu yang pada umumnya dilakukan melalui tiga cara yaitu lisan, tulisan dan perbuatan. Pendidikan adalah fenomena yang fundamental atau asasi dalam kehidupan manusia, bagaimanapun juga disitu ada pendidikan (Dwikarya, 1980 : p.32). Ilmu pendidikan adalah suatu bangunan pengetahuan yang sistematis mengenai aspek - aspek kuantitatif dan objektif dan proses belajar, menggunakan instrumen secara seksama dalam mengajukan hipotesis - hipotesis pendidikan untuk diuji dan pengalaman, seringkali dalam bentuk eksperimental. Sependapat dengan hal tersebut diatas menurut Driyarkara (1980: p.66 - 67), Sedangkan menurut M.J Langeveld (1955), paedagogiek (ilmu mendidik atau ilmu pendidikan) adalah suatu ilmu yang bukan saja menelaah obyeknya untuk mengetahui betapa keadaan atau hakiki objek itu, melainkan mempelajari pula betapa hendaknya bertindak. Menurut S. Brodjonagoro (1966: p.35), ilmu pendidikan atau paedagogiek adalah teori pendidikan, perenungan tentang pendidikan. Dalam arti luas paedagogiek adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari soal – soal yang timbul dalam praktek pendidikan. Sedangkan menurut Cater V. Good 1945(dalam; Journal,Stuart A. Anderson.1964), Hasil pendidikan tidak bisa dikontrol dalam jangka waktu yang pendek, seperti eksperimen dalam pertanian atau peternakan. Namun,kita semua yakin seyakin-yakinnya, bahwa hari kemudian suatu bangsa tergantung dari pendidikan, sebab itu teorisasi tentang pendidikan adalah sesuatu yang wajar. Artinya ilmu pendidikan adalah pemikiran ilmiah, pemikiran yang bersifat kritis, metodis dan sistematis) tentang realitas yang di sebut pendidikan (mendidik dan matis) tentang realitas yang di sebut pendidikan (mendidik dan dididik). Kritis berarti bahwa orang tidak menerima saja apa yang ditangkap atau muncul dalam benaknya, tetapi semua pernyataan, semua afirmasi harus mempunyai dasar yang kuat. Orang yang bersikap kritis, ingin mengerti betul (tidak hanya membeo). Metodis berarti bahwa dalam proses berpikir dan menyelidiki orang menggunakan suatu cara tertentu. Sistematis berarti bahwa pemikir ilmiah itu dalam prosesnya dijiwai oleh suatu ide yang menyeluruh dan menyatukan, sehingga pikiran – pikiran dan pendapat - pendapat tidak berhubungan, melainkan merupakan satu kesatuan. Berdasarkan definisi - definisi Ilmu pendidikan yang diutarakan oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa : a. Ilmu pendidikan adalah ilmu yang menelaah fenomena pendidikan dan semua fenomena yang ada hubung annya dengan pendidikan dalam perpektif yang luas dan integratif. b. Fenomena pendidikan dan semua fenomena yang ada hubungannya dengan pendidikan ini bukan hanya merupakan gejala yang melekat pada manusia (gejala yang universal), dalam perpektif yang luas, melainkan juga sekaligus merupakan upaya untuk memanusiakan manusia agar menjadi sebenar-benarnya manusia (insan), yang hal ini secara integratif diperlukan penggunaan berbagai kajian tentang pendidikan (kajian historis, filosofis, psikologis dan sosiolog is tentang pendidikan). Imam Bernadib (1987: p.67), ilmu pendidikan/ paedagogiek adalah ilmu yang membicarakan masalah-masalah umum pendidikan, secara meyeluruh dan abstrak, paedagodiek, selain bercorak teoritis, juga bersifat praktis. Untuk yang teoritis diutamakan hal-hal yang bersifat normative, ialah menunjuk standart nilai tertentu; sedangkan yang praktis menunjukkan bagaimana pendidikan itu harus dilaksanakan. Upaya pendidikan mencakup keseluruhan aktivitas pendidikan (mendidik dan dididik) dan pemikiran yang sistematik tentang pendidikan.Analisis adalah aktivitas yang memuat sejumlah kegiatan seperti mengurai, membedakan, memilah sesuatu untuk digolongkan dan dikelompokkan kembali menurut kriteria tertentu kemudian dicari kaitannya dan ditafsirkan maknanya. Dalam pengertian yang lain, analisis adalah sikap atau perhatian terhadap sesuatu (benda, fakta, fenomena) sampai mampu menguraikan menjadi bagian-bagian, serta mengenal kaitan antarbagian tersebut dalam keseluruhan. Analisis dapat juga diartikan sebagai kemampuan memecahkan atau menguraikan suatu materi atau informasi menjadi komponen-komponen yang lebih kecil sehingga lebih mudah dipahami. Artinya dapat disimpulkan bahwa analisis adalah sekumpulan aktivitas dan proses. Salah satu bentuk analisis adalah merangkum sejumlah besar data yang masih mentah menjadi informasi yang dapat di interpretasikan. Semua bentuk analisis berusaha menggambarkan pola-pola secara konsisten dalam data sehingga hasilnya dapat dipelajari dan diterjemahkan dengan cara yang singkat dan penuh arti. C. Syarat-syarat Pendidikan sebagai Ilmu Pengetahuan Pendidikan dikatakan sebagai Ilmu Pengetahuan itu apabila sudah memenuhi kriteria atau persyaratan ilmu pengetahuan yang ada pada umumnya serta mendapatkan persetujuan antara para ahli ilmu pengetahuan, Syarat Pendidikan dikatakan sebagai Ilmu pengetahuan menurut (Dwi Siswoyo,2015:p.60). Adalah suatu pengetahuan yang disusun secara kritis, metodis dan sistematis yang berasal dari observasi, studi dan eksperimentasi untuk menentukan hakikat dan prinsip – prinsip apa yang dipelajari Suatu kawasan studi dapat tampil atau menampilkan diri sebagai suatu disiplin ilmu, dipenuhi ada 3 syarat yaitu : a) Memiliki objek studi (objek material dan objek formal) Objek material ilmu pendidikan adalah perilaku manusia. Apabila kita pelajari perilaku manusia sebagai makhluk yang hidup dalam masyarakat maka perilaku itu disamping dapat dilihat dan segi ilmu pendidikan juga dalat dilihat dan segi – segi yang lain seperti segi psikologis, sosiologis, antropologis. Objek formal ilmu pendidikan adalah menelaah fenomena pendidikan dan semua fenomena yang ada hubungannya dengan pendidikan dalam perspektif yang luas dan integratif. Jadi, yang membedakan satu ilmu dan ilmu yang lain adalah objeknya.Objek formal adalah objek material yang disoroti oleh suatu ilmu,sudut pandang tertentu yang menentukan macam ilmu. b) Memiliki sistematika Secara teoritik, sistematika ilmu pendidikan dapat dibedakan menjadi tiga segi tinjauan, yaitu : Melihat pendidikan sebagai gejala manusiawi, dengan melihat pendidikan sebagai upaya sadar, sekaligus upaya sadar dengan mengantisipasi perkembangan sosio budaya di masa depan. c) Syarat ketiga yaitu ilmu harus memiliki metodologi tetentu. Syarat ketiga ini sebenarnya erat sekali hubungannya dengan syarat kedua sebab teratur tidaknya dari hasil penyelidikan tergantung kepada cara-cara mengaturnya, yang mana hal ini termasuk lapangan/ bagian metodologi. Menurut (Mub, Said, 1989;Soedomo, 1990: p.46 – 47) : Syarat yang ke tiga Memiliki Metode – metode yang dapat dipakai untuk ilmu pendidikan sebagai berikut; 1) Metode Normatif Metode normatif berkenaan dengan konsep manusia yang diidealkan yang ingin dicapai oleh pendidikan. Metode ini juga membawa pertanyaan yang berkenaan dengan masalah nilai baik dan nilai buruk. 2) Metode Eksplanatori Metode eksplanatori bersangkut paut dengan pertanyaan tentang kondisi dan kekuatan apa yang membuat suatu proses pendidikan berhasil. Dalam hal ilmu pendidikan mendapatkan bantuan dari berbagai teori tentang pendidikan yang boleh jadi dihasilkan oleh ilmu – ilmu lain. 3) Metode Teknologis Metode teknologis ini mempunyai fungsi untuk mengungkapkan bagaimana melakukannya dalam menuju keberhasilan pencapaian tujuan - tujuan yang diinginkan. 4) Metode Deskriptif – Fenomenologis Metode ini menciba menguraikan kenyataan - kenyataan pendidikan dan kemudian mengklasifikasikan sehingga ditemukan yang hakiki. 5) Metode Hermeneutis Metode ini mencoba menguraikan kenyataan-kenyataan pendidikan yang konkrit dan historis untuk menjelaskan makna dan struktur dari kegiatan pendidikan. 6) Metode Analisis Kritis (Filosofis) Metode ini menganalisis secara kritis tentang istilah - istilah, pernyataan - pernyataan, konsep - konsep dan teori - teori yang ada atau digunakan dalam pendidikan. Syarat lain bagi disiplin ilmu pendidikan adalah memiliki evidensi empiris. Yang dimaksud dengan evidensi empiris adalah adanya kesesuaian (korespondensi) 4 antara konsepsi teoritisnya dengan permasalahan dalam praktek sehingga disamping dapat menjelaskan kasus - kasus yang timbul, juga sekaligus dapat mendukung diaplikasikannya dalam menjawab permasalahan pendidikan di lapangan, dalam lingkup kajian ilmu pendidikan. Ini sesua dengan sifat ilmu pendidikan, yaitu teoritis dan praktis. BAB III PENUTUP 
A. Kesimpulan Pendidikan adalah proses mengubah diri menjadi lebih baik dan dewasa dalam segala urusan dan tanggung jawab melalui pengajaran dan pelatihan. Sedangkan pengetahuan adalah segala sesuatu yang di ketahui dan terus di pelajari serta di kembangkan. Ilmu berrsifat normative maksudnya yaitu bersumber dari norma pandangan hidup, bersifat teoritis maksudnya yaitu membahas teori pendidikan itu sendiri dan bersifat praktis yaitu membahas aplikasi praktik pendidikan. Syarat–syarat berdirinya ilmu pengetahuan adalah ilmu tersebut harus memiliki objek yang jelas, bersifat sistematis dan metodologi tertentu. Cabang ilmu pendidikan yaitu Ilmu pendidikan Teoritis , Ilmu pendidikan sistematis, Sejarah pendidikan, Ilmu perbandingan pendidikan, Ilmu pendidikan praktis. Sedangkaan ilmu bantu pendidikan yaitu Ilmu-ilmu biologi, Ilmu jiwa, Ilmu-ilmu sosial B. Saran Dalam Pelaksanaannya disarankan kepada orang yang membaca makalah ini dalam penerapannya lebih memperhatikan aspek-aspek maupun syarat dalam melaksanakan suatu pendidikan harus memperhatikan cara melaksanakan suatu pendidikan seperti memperhatikan praktek, tujuan dari pendidikan itu sendiri serta memperhatikan psikologisnya sebagai ilmu bantu dalam menyampaikan pendidikan. 
DAFTAR PUSTAKA 
Barnadip, I. Sutari, IB. 1976. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) – IKIP Yogyakarta. Barnadib, Imam. 1990. Pendidikan Perbandingan Buku Dua.Yogyakarta : Andi Offset. Bayles, Ernes E. 1960. Democratic Educational Theory. New York: Chaps. 10, 11, dan 12. Harper & Row Danim, Sudarman. 2010. Pengantar Kependidikan. Bandung : Alfabeta Driyarkara, N. 1980. Driyarkara Tentang Pendidikan.Volume 1.University of California:Yayasan Karnisius Mustaqim. Dkk. 2010. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT. Rineka Cipta M. J. Langeveld, 1975. Beknopte theoretische pedagogiek.Volume 2. Universitas Michigan: Wolters-Noordhoff Purwanto, Ngalim . 2007. Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Siswoyo, Dwi. dkk. 2015. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press Sudirman, N. dkk. 1992. Ilmu Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Stuart A. Anderson. 1964. Journal of experimental education.vol 17. University of California.

Minggu, 04 Desember 2016

sejarah tana ogi

BUGIS MAKASSAR Informasi Sulawesi Selatan Dan Sekitarnya Beranda · Sejarah · Makassar · Wisata · Adat Istiadat Home » Budaya Makassar » Mistik Bugis Makassar » Rahasia Ilmu Seks Ala Lontara Bugis “Assikalaibineng” Rahasia Ilmu Seks Ala Lontara Bugis “Assikalaibineng” 3:51:00 AM Bugis Makassar - Mengukur Kejantanan dari Hembusan Nafas Assikalaibineng secara harfiah berarti cara berhubungan suami istri. Akar kata serupa juga dipakai masyarakat petani sawah di awal masa tanam. Karena padi dan sawah diibaratkan istri, maka suamilah diberi otoritas untuk menggarap dan menanam. Karena ajaran lahir di masa kuatnya paternalistik dan belum ada gerakan persamaan gender, makanya ajaran Kitab Persetubuhan Bugis ini lebih banyak ditujukan kepada suami. Kitab ini paham betul emosi perempuan dan karena perasaan malunya mereka amat jarang menjadi inisiator. Rahasia Ilmu Seks Inilah yang sekaligus menjelaskan mengapa ilmu tarekat atau tasawuf seks ala Bugis-Makassar ini diajarkan terbatas ke calon mempelai pria, memilih momentum beberapa hari sebelum akad nikah. Setelah pengetahuan mandi, berwudu, dan salat sunah lalu tafakur bersama yang disebut nikah batin, maka sampailah pada tahapan lelaku praktis, cumbu rayu, penetrasi, dan masa pascaberhubungan. Karena konsep Assikalaibineg mengedepankan ideologi dan tata krama, disarankan agar sebelum aktivitas penetrasi dimulai dilakukan dalam satu sarung, atau kain tertutup, atau kelambu. Masyarakat Bugis, seperti dikemukakan Christian Pelras dalam bukunya, Manusia Bugis (Oxford: Blackwell, 2006) memang memiliki sarung khusus yang bisa memuat sepasang suami istri. Sarung jenis ini tentu sangat susah didapat di pasar-pasar sandang kebanyakan. Namun toh, selimut bisa menjadi alternatif. Buku ini menggunakan istilah makkarawa (meraba) dan manyyonyo (mencium) untuk tahap foreplay. Ini dengan asumusi pihak pria sudah mengetahui 12 titik rangsangan, dan rangkaian mantra (paddoangeng). Meraba lengan adalah titik pertama yang disarankan dikarawa, sebelum meraba atau mencium titi-titik lainnya. Pele lima (telapak tangan), sadang (dagu), edda’ (pangkal leher), dan cekkong (tengkuk) adalah sejumlah titik yang dalam buku ini direkomendasikan di-karawa dan dinyoyyo di tahap awal foreplay. Setelah bagian badan tubuh, mulailah masuk di sekitar muka. Titik “rawan” istri dibagian ini disebutkan; buwung (ubun-ubun), dacculing (daun telinga), lawa enning (perantara kening dia atas hidung), lalu inge (bagian depan hidung). Di titik ini juga disebutkan, tahapan di bagian badan sebelum penetrasi langsung adalah pangolo (buah dada) dan posi (pusar). Dalam foreplay berupa makkarawa dan manyonyyo ini, buku menyarankan tetap tenang dan mengatur irama naffaseng (nafas). Karena kitab persetubuhan ini sangat dipengaruhi oleh ajaran fiqhi al’jima atau ajaran berhubungan seks suami istri dalam syariat Islam, maka proses menahan nafas itu direkomendasikan dengan melafalkan zikir dan menyatukan ingatan kepada Allah Taala. Apakah melafalkan zikir itu bersuara? Tentulah tidak. Zikir dan mantra dalam bahasa Bugis itu dilafalkan dalam hati. Dalam komentar penulis buku ini,menyebutkan, ejakuliasi dini oleh pria banyak terjadi karena pikiran suami terlalu fokus ke pelampiasan untuk mencapai klimaks. Perlu diketahui, seperti ajaran agama Islam, kitab Assikalaibineng bukan seperti buku-buku lain yang mengajarkan gaya dan teknis bersenggama dan melampiaskan nafsu belaka. Laiknya ibadah, inti dari ajaran Assikalibineng adalah mengelola nafsu birahi ke arah yang lebih positif dan bermanfaat secara spiritualitas. Bukankah seperti kata Nabi Muhammad SAW usai memenangkan Perang Badar, kepada sahabatnya yang bersuka, diperi peringatan, bahwa Perang Badar belum ada apa-apanya. Perang terbesar manusia Muslim adalah bagaimana menahan hawa nafsu. Dan nafsu yang amat sulit ditahan oleh manusia secara pribadi adalah nafsu birahi setelah nafsu ammarah (emosi kejiwaan). Di bagian lanjutan tulisan ini, nantinya akan mengulas beberapa lafalan teknik menahan nafas. Namun, bagian lain halaman buku itu juga diberikan tips parktis untuk mengetahui apakah seorang suami siap berhubungan seks atau tidak, maka disarankan bagi pria untuk mengangkat tangan kirinya, lalu menghembuskan nafas dari hidung. Jika nafas yang keluar dari lubang hidung kanan lebih kuat berhembus, maka pertanda kejantanan yang bangkit. Namun jika hembusan dari lubang kiri lebih kuat, maka sebaiknya sang suami menunda lebih dulu (hal 141). “.. dalam keyakinan kebatinan Bugis, nafas hidung yang lemah dan kuat berkaitan langsung dengan ilmu kelaki-lakian atau kejantanan seorang pria…”. (thamzil thahir) Pesan singkat salah seorang pembaca Tribun di atas, hanyalah satu dari seratusan pertanyaan dan eskpersi senada yang masuk ke redaksi, sejak tulisan ini muncul pekan lalu. Muhlis Hadrawi, penulis buku ini, senantiasa mengingatkan di bagian awal, tengah, dan mengunci di akhir bab tulisannya, bahwa Assikalaibineng bukanlah ilmu pelampiasan hasrat biologis sebagai wujud paling alamiah sebagai makhluk saja. Penulis menggunakan istilah tasawupe’ allaibinengengnge untuk menjelaskan kedudukan persetubuhan yang lebih dulu disahkan dengan akad nikah dan penegasan kedudukan manusia yang berbeda dengan binatang saat melakukan persetubuhan. Ini juga sekaligus wujud penghormatan dan menjaga martabat keluarga dalam kerangka mendekatkan diri kepada Allah (hal 123). Pada bagian awal bab tata laku hubungan suami-istri, Muhlis mengomentari satu dari tujuh manuskrip Assikalaibineng yang menjadi rujukan utamanya menulis buku ini. Dikatakan ini sebagai pustaka penuntun tata cara hubungan seks untuk suami-istri sebagai ilmu yang dipraktikkan Sayyidina Ali dan Fatimah. Muhlis memulainya dengan kisah perbincangan tertutup Ali dan istrinya, yang juga putri Nabi, di tahun ketiga pernikahan mereka. Perkawinan keduanya menghadapi satu masalah sebab Ali belum mengetahui dengan benar bagaimana tata cara menggauli Fatimah. “Kala itu,” tulis Muhlis, “Fatimah mengeluarkan ucapan yang menyindir Ali, “Apakah kamu mengira baik apabila tidak menyampaikan titipan Tuhan?” Ali kontan merasa malu dan sangat bersalah. “Ali mulai sadar kalau ia belum memberikan apa yang menjadi keinginan Fatimah di kamar tidur. Maka Ali meminta Fatimah memberitahu keinginan Fatimah dan memintanya untuk mempelajarinya.” “Fatimah pun merekomendasikan Muhammad Rasulullah, yang tak lain bapak Fatimah. Datanglah Ali ke Nabi Muhammad dan selanjutnya terjadilah transfer pengetahuan dari bapak mertua kepada anak menantu.” Transfer ilmu atau proses makkanre guru seperti ini amat biasa dalam tradisi Bugis-Makassar, khususnya keluarga yang mengamalkan ajaran tarekat-tarekat. Kisah di atas sekaligus menjelaskan bahwa lelaku dan zikir Assikalaibineng tak terlambat untuk dipelajari. Memang idealnya, tata laku hubungan Assakalaibineng ini diajarkan di awal masa nikah, namun bagi mereka yang ingin mengamalkannya hanya perlu membulatkan tekad, untuk mengubah cara padangnya, bahwa hubungan suami-istri versi Islam yang terangkum dalam lontara ini, berbeda dengan literatur, hasil konsultasi, atau frequent ask and question (FAQ) soal seks yang selama ini sumber dominannya dari ilmu kedokteran Barat. Pada sub bab Teknik Mengendalikan Emosi Seks atau Hawa Nafsu (hal 150), buku ini menyajikan laku zikir untuk mengiringi gerakan seksual dari pihak suami. “lelaku zikir ini menjadi penyeimbang nuansa erotis dan terkesan tidak vulgar.” Teknik mengatur napas adalah inti dari ketahanan pihak suami. Untuk menjaga endurance napas suami agar istrinya bisa mencapai orgasme, misalnya, saat kalamung (zakar) bergerak masuk urapa’na (vagina) disarankan membaca lafal (dalam hati) Subhanallah sebanyak 33 kali disertai tarikan nafas. Narekko mupattamamai kalammu, iso’i nappasse’mu”. Sebaliknya, jika menarik zakar, maka hembuskanlah napasmu (narekko mureddui kalamummu, muassemmpungenggi nappase’mu), dan menyebutkan budduhung. Bahkan bisa dibayangkan karena babang urapa’na (pintu vagina) perempuan ada empat bagian, maka di bagian awal penetrasi, disarankan hanya memasukkan sampai bagian kepala kalamummu lalu menariknya sebanyak 33 dengan tarikan napas dan disertai zikir, hanya untuk menyentuh “timungeng bunga sibollo” (klitoris bagian kiri). Mungkin bagi generasi sekarang, lafalan zikir dalam hati saat bersetubuh akan sangat lucu, namun pelafalan Subhanallah sebanyak 33 kali dan perlahan dan diikuti tarikan napas akan membuat daya tahan suami melebihi ekspektasi istri! “Mmupanggoloni kalamummu, mubacasi iyae/ya qadiyal hajati mufattikh iftahkna/…..! Pada ppuncu’ni katauwwammu pada’e tosa mpuccunna bunga’e (sibolloe)/tapauttmani’ katawwammu angkanna se’kkena, narekko melloko kennai babangne ri atau, lokkongi ajae ataummu mupallemmpui aje; abeona makkunraimmu, majeppu mukennai ritu atau…., na mubacaisi yae wikka tellu ppulo tellu/subhanallah../” Artinya, “….arahkan zakarmu, dan bacalah ini/Ya qadiyyal hajati mufattikh iftakhna/….kemudian cium dadanya,. lalu naikkan panggulnya, … ketika itu mekarlah kelaminnya layaknya mekarnya kelopak bunga, masukkan zakarmu hingga batas kepalanya, dan bacalah subhanallah 33 kali…. Penggunaan kata timungeng bunga sibollo sekaligus menunjukkan bagaimana para orang Bugis-Makassar terdahulu mengemas ungkapan-ungkapan erotis dalam bentuk perumpamaan yang begitu halus dan memuliakan kutawwa makkunraie (alat kelamin perempuan), dan ungkapan kalamummu (untuk zakar). (thamzil thahir) Terapi Kelingking Untuk Tetap Langsing Lapawawoi Karaeng Sigeri, Raja Bone yang terkenal cerdas, termasuk seorang suami yang mempelajari dan mengamalkan ajaran assikalaibineng. Stidaknya fakta ini dikonfirmasikan dari lontara Mangkau Bone Ke-31 ini yang secara rapi terdokumentasikan di Perpustakaan Nasional RI di Jakarta. Manuskrip asli ini pulalah yang menjadi satu dari 44 lontara rujukan utama Muhlis Hadrawi, penulis buku Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis, yang diterbitkan Penerbit Ininnawa, Makassar (2008). Secara teknis buku ini terdiri dari 189 halaman. Sebanyak 64 halaman terdiri dari transliterasi asli “kitab assikalaibineng” lontara ke dalam abjad melayu berikut terjemahannya. Inilah matan asli dari kitab tassawupe allaibainengengeng yang merupakan peninggalan leluhur Bugis-Makassar yang teleh terpengaruh dengan ajaran Islam. Karena buku ini merupakan disertasi untuk meraih gelar magister bidang filologi (ilmu tentang Bahasa, kebudayaan, pranata dan sejarah suatu bangsa dalam bentuk manuskrip asli) di Universitas Indonesia, maka 51 halaman di bagian awal lebih banyak mendiskripsikan latar belakang, asal usul naskah, dan metodologi penelitian. Sedangkan di bagian akhir, Tata Laku Hubungan Suami Istri, isinya lebih merupakan ringkasan, analisis, sekaligus komentar penulisnya, yang diperkaya dengan literatur penunjang. Namun, bagi pembaca awam yang tidak lagi mengerti Bahasa-bahasa Bugis terhadulu, justru bab akhir inilah yang membatu mendapatkan intisari dari manuskrip tua, yang hingga awal decade 2000, masih beredar di kalangan elite terbatas, masyarakat kita. Kepemilikan naskah ini oleh Lapawawoi yang kini dimuseumkan di Perpustakaan Nasional, tulis Muhlis, mempertegas sirkulasi ajaran ini selain dimiliki kalangan ulama/cendekia pesantren, pengetahuan ini juga milik bangsawan dan raja-raja Bugis Makassar. Selain pengetahuan bersetubuh ala bugis, Kitab Persetubuhan Bugis, juga mengajarkan sistem rotasi waktu yang baik untuk berhubungan, dan tata cara perawatan tubuh bagi pihak suami dan istri. Tata laku dan tahapan ini semua dilakukan dalam satu rangkaian dan satu tempat Untuk melangsingkan tubuh dan memperhalus kulits istri misalnya, suami tak perlu repot-repot menyisihkan uang dan mengantar pasangannya ke pusat kecantikan tubuh. Seperti spa center, steam room Jacuzzi, atau membayar kapster salon. Di kitab mengajarkan rutinitas kesederhanaan namun tetap dalam bingkai kerahasiaan, tidak diketahui oleh orang banyak. Untuk menjaga kebugaran tubuh, assikalaibineng misalnya merekomendasikan di kamar tidur dan massage (pijitan) rutin pasca-bersetubuh. Sedangkam untuk perawatan kulit, juga tak perlu cream pelembab atau whitening motion, Kitab ini mengajarkan manfaat penggunaan “air mani” sisa yang biasanya meleler di bagian luar babang urapa’ (vagina) istri dan kalamummu (zakar) pihak suami dan sejumlah mantra bugis-Arab, secara subtansial lebih merupakan niat, sekaligus ekspresi kasih-sayang suami kepada istri pasca-berhubungan, Kitab ini menyindir perilaku suami yang langsung tidur lelap atau langsung meninggalkan kamar tidur, sementara istri belum mendapatkan kepuasan, biasanya akan membuat wanita terhina. Di kitab ini. Perlakuan itu diistilahkan dengan, teretta’na narekko le’ba mpusoni (adab setelah persetubuhan). Rekko mangujuni ilao manimmu takabbereno wekka eppa/urape’ni alemu, nupassamangi makkeda; alhamdulillahahi nurung Muhammad habibillah./ nareko purano mualai wae, muteggoi bikka tellu, nareko purano, mualani minyak pasaula, musaularenggi kutawwamu apa napoleammengi dodong mupogaukangeki paimeng/Apa’ nasenggao manginggi’/ Aja mu papinrai gaumu denre purai mupogau, iya na ritu riyaseng temanginggi. Kira, kira artinya bebasnya, jika air manimu sudah keluar maka bertakbirlah empat kali. Kemudian turunkan tubuhmu dan ucamkan hamdalah dan pujian ke nabi Muhammad. Jika engkau sudah melakuklannya, maka lakukanlah perbuatan yang menyenangkan perasaanya. (h.76) sebagai tanda sayang. Jika usai minumlahair dengan tiga tegukan, dan ambilah minyak gosokdan urutlah kelaminmu agar tubuhmu pulih kembali dan agar jagan sampai kalu lelah. Janganlah kamu mengubah perbuatanmu seperti yang kamu lakukan sebelumnya, demikianlah maka kamu akan disebut lelaki yang tidak merasa bosan dengan istrinya,” Sedangkan tahapn selanjutnya, usai berhubungan, ambilah air mani dari liang fajri yang sudah bercampur dengan cairan perempuan. Letakakkanlah di telapak tangan mu, air mani dicampur dengan air liur dari langit-langit (sumur qalqautsar) suami, sebelum mengusap air mani tersebut ke tubuh istri, terlebih dulu membaca doa dengan lafalan bugis, “waddu waddi, mani-manikang”. Mani riparewe, tajang mapparewe, tajang riparewekki…” Aiar mani basuhan ini bisa dipijitkan ke titik-tikik 12 rangsangan agar tidak kembeli berkerut, atau memijit bagian panggul dengan tulang kering di ujung bawah jari kelingking, untuk membuat tubuh istri tidak melar tapi tetap ceking.. (thamzil thahir) Mau Anak Putih, Bersetubuh Setelah Jam 5 Subuh TEKNIK bertahan dalam persetubvuhan menjadi hal yang sangat penting dan mendapat tempat khusus dalam Assikalaibineng. Dan sekali lagi, pihak suami menjadi faktor kunci. Kitab peretubuhan Bugis ini tahu betul bahwa pihak suami senantiasa lebih cepat menyelesaikan hubungan ketimbang perempuan. Menenangkan diri, sabar, konsentrasi, dan memulai dengan kalimat taksim amat disarankan sebelum foreplay. Manuskrip Assikalaibineng amat mementingkan kualitas hubungan badan ketimbang frequensi atau multiorgasme. Assikalaibineng adalah ilmu menahan nafsu, melatih jiwa untuk tetap konsentrasi dan tak dikalahkan oleh hawa nafsu. Namun pada intinya, Assikalaibineng bukanlah lelaku atau taswawwuf untuk berhubungan badan, lebih dari itu assikalaibnineng adalah tahapan awal untuk membuat anak yang cerdas, beriman, memiliki fisik yang sehat. Inti dari ajaran ini adalah bagaimana membuat generasi pelanjut yang sesuai tuntutan agama. Banyak teori seksualitas mengungkapkan bahwa potensi enjakulasi sebagai puncak kenikmatan seksual bagi laki-laki lebih tinggi ketimbang perempuan. Perbandingannya delapan kali untuk suami, dan satu kali bagi istri. Bahkan, dapat saja seorang istri tidak pernah sekalipun merasakan orgasme seteles sekian kali, bahkan sekian lama hidup berumah tangga. “Assikalaibaineng, mengkalim bahwa ini terjadi karena pihak suami sama sekali tak tahu atau bahkan tak mau tahu dengan lelaku seks yang mengedepankan kualitas.” Mengutip sebuah buku lelaku seks sesusi ajaran Islam, yang diterbitkan di Kuala Lumpur, dalam catatan kaki di halaman 164, Muhlis mengomentari “…Hampir 99 persen lemah syahwat (kelemahan nafsu jantan) adalah timbul dari sebab-sebab kerohanian. Emonde Boas, seorang dokter asal Amerika bahkan pernah melakukan penelitian, dari 1400 lelaki yang didata mengidap penyakit lemah syahwat, hanya tujuh yang lemah karena sebab-sebab jasmani, yang lainya karena sebab rohani atau psikologis,” Dia melanjutkan, “kejiwaanlah yang menyebabkan faktir terbesar sekaligus penggerak seseorang melakukan hubungan seks, sedangkan tubuh dan alat reproduksi hanya merupakan alat pemuasan bagi melaksanakan kehidupan kejiwaan seseorang. Sedangkan teknik mengelola nafas dengan zikir, cara penetrasi, dan menutup hubungan dengan pijitan ke sejumlah titik rangsangan perempuan, dan menemani istri tertidur dalam satu selimut atau sarung merupakan bentuk akhir menjaga kualitas hubungan. Pengetahuan praktis seperti waktu yang baik dan kurang baik untuk berhubungan badan juga secara rinci diatur dalam kitab ini. “Tidak sepanjang satu malam menjadi masa yang tepat untuk bersetubuh.” (hal.166) Terdapat keterkaitan waktu bersetubuh dengan kualitas anak yang terbuahi, seperti warna kulit anak. Untuk memperoleh anak yang berkulit putih, peretubuhan dilakukan setelah isya. Untuk anak yang berkulit hitam, persetubuhan dilakukan tengah malam (sebelum shalat tahajjud), anak yang warna klitnya kemwerah-memerahan dilakukan antara Isya dan tengah malam. Sedangkan untuk anak berkulit putih bercahaya, bersetubuhan dilakukan dengan memperkirakan berakhirnya masa terbit fajar di pagi hari. Atau lebih tepatnya dilakukan usai solat subuh, antara pukul 05.15 hingga pukul 06.00 jika itu waktu di Indonesia. Ini sekaligus supaya mempermudah mandi junub. Secara khusus kitab ini adalah menuntut pihak suami sebagai inisiator dan mengingatkan kepada istri, agar menyesuaikan waktu tidur dengan keinginan melakukan persetubuhan. Sebab ternyata, persoalan waktu amat berdampak secara psikologis maupun biologis, terutama pihak istri. Teks assikalaibineng secara spesifik menyebutkan adanya kaitan waktu tidur istri dengan ajakan suami bersetubuh. Assikalaibineng A hal.72-73 menyebutkan, “bila suami mengajak istri berhubungan saat menjelang tidur, maka ia merasakan dirinya diperlakukan [penuh kasih sayang (ricirinnai) dan dihargai (ripakalebbiri). Akan tetapi jika istri sedang tidur pulas, lantas suami membangunkannya untuk bersetubuh, maka istri akan merasa diperlakukan laiknya budak seks, yang disitilahkan dengan ripatinro jemma’. Soal bangun membangunkan istri yang tidur pulas, assikalaibineng juga memberikan cara efektif. Kitab ini sepertinya tahu betul, bahwa jika usai orgasme sang istri biasanya langsung tertidur. Untuk menuntnjukkan kasih sayang, maka usai berhubungan lelaki bisa mengambil air, lalu mercikkan satu dua tetas ke muka istri. Setelah istri terbangun, lelaki memberikan pijitan awal di antara kening, mata, menciumim ubun-ubun, memijit bagian panggul lalu bercakap-cakap sejenak. Percakapan ini bagi istri akan selalu diingat dan membuatnya. (thamzil thahir). Share : FacebookGoogle+Twitter Related Posts : Sejarah Pelaut Bugis Makassar sebagai Pelaut Handal Sejarah Misteri Sulawesi Selatan 7 Makam di Lapangan Karebosi Mistik Bugis Legenda Poppo dan Parakang MELIHAT PARAKANG MANUSIA JADI JADIAN DI SULAWESI SELATAN MENGENAL RIWAYAT POPPO DARI SAWITTO Rahasia Ilmu Seks Ala Lontara Bugis “Assikalaibineng” Watak Orang Bugis Makassar: Manusia Perasa Yang Dikira Kasar Ciri Khas Masyarakat Bugis dengan Gelar Andi Sistem Mata Pencaharian Masyarakat Suku Bugis 0 Response to "Rahasia Ilmu Seks Ala Lontara Bugis “Assikalaibineng”" › Beranda Copyright 2016 Bugis Makassar.copas

Sabtu, 20 Agustus 2016

Bandung,21 Agustus 2016 DIADAPTASI DAN DISADUR DARI http://www.p2kp.org/forumdetil.asp?mid=47187&catid=05 NOVEMBER 2011 Diperbarui : 26 Juni 2015 00:02:42 Mobil Dinas Ukuran Universitas Agar Terpandang??? Saya agak terkaget dan setengah tidak percaya saat mendengar kata sbb : "Apa jabatannya si ANU kok bisa2nya mendapat MOBIL DINAS sekelas jabatan DEKAN yang terpandang".Apa urusannya mobil dinas dengan terpandang atau tidaknya suatu lembaga pendidikan seperti universtas. Bukankah sebuah lembaga pendidikan itu akan terpandang tentulah manakala outputnya adalah mahasiswa yang berprestasi hebat, kualitas hasil penelitian para dosennya mampu menjawab tantangan masyarakat saat ini, dan pengabdian sosialnya sungguh bermanfaat bagi masyarakat luas. Jelas bukan soal berapa mewah mobil dinas pejabatnya. Saya pikir memang zaman sekarang penilaian akan wibawa /prestasi suatu lembaga nampaknya tidak jelas. Orang cenderung terhanyut oleh kuatnya arus budaya materialisme. Sehinga wajar tercetus pendapat seperti rekan rekan tersebut . Mobil dinas mewah lebih dipercaya bisa memberi efek terpandang daripada apa sebenanya yang harus fokus dilakukan universitas agar bisa menjadi terpandang. Semakin banyak orang percaya bahwa atribut yang mereka kenakan atau pakai lebih penting dari pada substansi yang dihasilkan oleh paradikma pemikirannya. Dulu saya berpikir pola budaya materialisme ini hanya banyak melanda golongan kurang terdidik. Namun dengan pernyataan di atas saya jadi semakin prihatin. Lengkaplah sudah parahnya mental dan pola pikir para akademisi itu. Ternyata pejabat di bidang pendidikan pun sama saja. Betapa budaya mengaggungkan pangkat, eselon dan jabatan serta fasilitasnya sangat kuat dari pada pemahaman dan pelaksanaan esensi pokok jabatan tsb. Kalaulah jabatan dianggap amanah maka orang pasti bisa lebih sadar diri dan banyak berserah pada pertolonganNYA. Manakala jabatan dimaknai sebagai ketiban anugerah maka jabatan bisa diperlakukan sebagai sapi perah. • Mobil operasional atau mobil Pribadi (M. Aryo, 15 Maret 2012, jam 21:14:20). Untuk Menyikapi fenomena paradigma pemikiran yg saya katakan agak sedikit melenceng ini sebaiknya kita kembali pada devinisi operasional tentang pejabat dalam suatu program yg berskala besar dari sisi pendapatan. Dalam khasanah perundang-undangan di republik ini. Secara umum dpt dijelaskan sebagai berikut: Pejabat dalam suatu program adalah orang orang yang ditunjuk dan diberi tugas untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu pada badan publik. Sedangkan !!! Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri. Berdasar dasar diatas menurut hemat kami pejabat suatu program besar adalah pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan sebuah program nasional dalam naungan satuan kerja Departemen yang memang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disisi lain menurut UU NO. 31 Tahun 1999 Tentang PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI dijelaskan dalam pasal 1 ayat 2 butir c,d,e. Secara mendasar bahwa jabatan itu include dalam penjelasan pasal tersebut. Detailnya sbb: • c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; • d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau • e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Hal ini mungkin bisa menjadi referensi buat rekan rekan akademisi, Namun demikian saya berharap ada suatu perubahan mendasar bagi teman2, untuk kembali pada persoalan mendasar. Saya yakin apa yg saya hadapi , menjadi ujung tombak untuk perubahan paradikma pemikiran kita semua sebagai insan akademisi. Amin Thanks, Barakallah fik. A.S

Senin, 07 April 2014

HAKEKAT BELAJAR

HAKEKAT BELAJAR DAN PEMBELAJARAN Tugas pokok seorang guru membelajarkan siswa. Masalah utama yang dihadapi dan perlu dipecahkan ialah apakah yang dapat dan harus dilaksanakan, selanjutnya bagaimana ia harus melakukannya. Sehubungan dengan itu, seorang guru perlu memahami dan menghayati kinerja belajar dan pembelajaran. Bagian ini mencoba menjelaskan kedua kinerja itu secara umum. Dengan adanya pemahaman tentang kedua kinerja tersebut, akan memban-tu mahasiswa dalam mampelajari materi berikutnya. Pada gilirannya nanti akan akan terdapat pemahaman yang lebih terorganisasi dan komprensif tentang meteri mata kuliah ini. Secara lebih khusus tujuannya ialah bahwa setelah mempelajari bagian ini mahasiswa dapat memahami : 1. Apa yang dimaksud dengan belajar pada umumnya, terutama menyangkut bata-san, ciri-ciri, unsur-unsur dan kapan dimulai. 2. Apa yang dimaksud dengan pembelajaran secara umum. Terutama menyangkut latar belakang dan pengertiannya. B. Hakekat Belajar Untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendorong, maka berikut ini akan di-bahas beberapa batasan, ciri-ciri, unsur-unsur, dan kapan seorang mulai belajar. Batasan tentang belajar. Rumusan tentang apa yang dimaksud dengan belajar cukup bervariasi. Perbe-daan tersebut tentu saja diwarnai atas perbedaan pandangan dan tekanan mas-ing-masing. 1) W. H. Buston memandang belajar sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu dan individu dengan lingkungannya. Buston berpendapat bahwa unsur utama dalam belajar adalah terjadinya perubahan pada seseorang. Perubahan tersebut menyangkut aspek kepri-badian yang tercermin dari perubahan yang bersangkutan, yang tentu juga bersamaan dengan interaksinya dengan lingkungan dimana dia berada. 2) J. Neweg melihat dari dimensi yang dapat berbeda. Dia menganggap bahwa belajar adalah suatu proses dimana prilaku seseorang menga-lami perubahan sebagai akibat pengalaman unsur. Paling tidak ada tiga unsur yang terkadang pemberian Neweg. Pertama dia melihat belajar itu sebagai suatu proses yang terajadi dalam diri seseo-rang.sebagai suatu proses berarti ada tahap-tahap yang dilalui seseorang. Unsur kedua ialah pengalaman. Belajar itu baru akan terjadi kalau proses seperti yang disebutkan terdahulu dialami sendiri oleh yang bersangkutan. Belajar itu pada dasarnya mengalami, learning by experiensi. Unsur ketiga ialah perubahan prilaku. Muara dari proses yang dialami seseorang itu ialah terjadinya perubahan prilaku pada yang bersangkutan. Skiner berpendapat agak lain, dia berpandangan bahwa belajar adalah suatu prilaku. Pada seseorang yang belajar maka responnya akan menjadi lebih baik. Sebaliknya bila tidak belajar, responya menjadi menurun. Dalam hal ini dia menemukan : 1) Adanya kesempatan peristiwa yang menimbulkan respon si pembelajar. 2) Respon si pembelajar. 3) Konsekwensi yang bersifat menguatkan respon tersebut. Dapat disimpulkan bahwa Skiner menekankan belajar pada penguasaan ke-terampilan oleh seseorang melalui latihan. b. Lain lagi pendapat Sogne, dia berpendapat bahwa belajar adalah proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan, melewati pengolahan informasi men-jadi kopabilitas baru, berupa keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai. Dia melihat, bahwa timbulnya kopibilitas baru itu sebagai hasil dari : a. Stimulasi yang berasal dari lingkungan. b. Proses kognitif yang dilakukan oleh individu. Ada beberapa proses pikiran yang patut di kemukakan sehubungan den-gan pandangan Sagne ini, yaitu: Pertama: Belajar itu menyangkut aktifitas individu berupa pengolahan in-formasi yaitu stimulasi dari lingkungan. Kedua : Pengolahan stimulasi tersebut menghasilkan kopabilitas yang baru berupa keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai. Sebenarnya masih banyak para ahli yang mecoba mejelaskan apa yang dimaksud dengan belajar menurut pandangannya. Namun untuk kepentin-gan pembahasan kita, rasanya cukup 4 pandangan itu yang dikemukakan. Dari batasan-batasan yang dikemukakan di atas, dapat dikemukakan bah-wa paling tidak ada 2 unsur penting yang terkandung dalam konsep belajar yaitu : mengalami dan perubahan. 1. Mengalami. Belajar adalah suatu atau serangkaian aktifitas yang dialami seseorang melalaui interaksinya dengan lingkungan. Interaksi tersebut mungkin berawal dari faktor yang berasal dalam atau dari luar diri sendiri. Dengan terjadinya interaksi dengan lingkungan, akan menyebabkan munculnya proses penghayatan dalam diri individu tersebut, akan memungkinkan terjadinya perubahan pada yang ber-sangkutan.unsur mengalami ini perlu mendapatkan perhatian yang be-sar, karena dia merupakan salah satu prinsip utama dalam proses belajar dan pembelajaran, paling tidak menurut pandangan para ahli modern. 2. Perubahan dalam diri seseorang. Proses yang dialami seseorang baru dikatakan mempunyai makna be-lajar, akan menghasilkan perubahan dalam diri yang bersangkutan, esensi dari perubahan ialah adanya yang baru. Dia mungkin bahagia dapat menyelesaikan diri dengan lebih baik, dapat menjaga kesehatan dengan lebih baik, atau dapat menulis dan berbicara dengan efectif. Perlu dicatat perubahan yang dimaksud harus bersifat normatif. Peru-bahan dalam belajar harus mengarah kepada dan sesuai dengan norma-norma atau nilai-nilai yang berhubungan dianut oleh masyarakat. Dari unsur diatas dapat disimpulkan bahwa belajar secara umum diru-muskan sebagai : Perubahan dalam diri seseorang yang dapat dinyatakan dengan adanya penguasaan pola sambutan yang baru, berupa pemahaman, keterampilan dan sikap sebagai hasil proses hasil pengalaman yang dialami. c. Ciri-ciri dari belajar. Berdasarkan rumusan diatas dapat dikatakan bahwa belajar itu diartikan dalam arti yang luas, meliputi keseluruhan proses perubahan pada individu. Perubahan itu meliputi keseluruhan topik kepribadian, intelek maupun sikap, baik yang tampak maupun yang tidak. Oleh karena itu tidaklah tepat kalau belajar itu diartikan sebagai “ungkapan atau membaca pelajaran” maupun menyimpulkan pengetahuan atau informasi. Selain dari itu, belajar juga tidak dapat diartikan sebagai terjadinya perubahan dalam diri in-dividu sebagai akibat dari kematangan, pertumbuhan atau insting. Untuk mendapatkan pengalaman yang lebih lengkap tentang pengertian belajar tersebut, maka berikut ini dikemukakan beberapa ciri-ciri penting dari konsep tersebut : 1. Perubahan yang bersifat fungsional. Perubahan yang terjadi pada ospek kepribadian seseorang mempu-nyai dampak terhadap perubahan selanjutnya. Karena belajar anak dapat membaca, karena membaca pengetahuannya bertambah, ka-rena pengetahuannya bertambah akan mempengaruhi sikap dan prilakunya. 2. Belajar adalah perbuatan yang sudah mungkin sewaktu terjadinya prioritas. Yang bersangkutan tidak begitu menyadarinya namun demikian paling tidak dia menyadari setelah peristiwa itu berlangsung. Dia menjadi sadar apa yang dialaminya dan apa dampaknya. Kalau orang tua sudah dua kali kehilangan tongkat, maka itu berarti dia tidak belajar dari pengalaman yang terdahulu. 3. Belajar terjadi melalui pengalaman yang bersifat individual. Belajar hanya terjadi apabila dialami sendiri oleh yang bersangku-tan, dan tidak dapat digantikan oleh orang lain. Cara memahami dan menerapkan bersifat individualistik, yang pada gilirannya juga akan menimbulkan hasil yang bsersifat pribadi. 4. Perubahan yang terjadi bersifat menyeluruh dan terintegrasi. Yang berubah bukan bagian-bagian dari diri seseorang, namun yang berubah adalah kepribadiannya.kepandaian menulis bukan di-lokalisir tempat saja. Tetapi di menyangkut ospek kepribadian lainnya, dan pengaruhnya akan terdapat pada perubahan prilaku yang bersangkutan. 5. Belajar adalah proses interaksi. Belajar bukanlah proses penyerapan yang berlangsung yang ber-langsung tanpa usaha yang aktif dari yang bersangkutan. Apa yang diajarkan guru belum tentu menyebabkan terjadinya perubahan, apabila yang belajar tidak melibatkan diri dalam situasi tersebut. Perubahan akan terjadi kalau yang bersangkutan memberikan reaksi terhadap situasi yang dihadapi. 6. Perubahan berlangsung dari yang sederhana ke arah yang lebih kompleks. Seorang anak baru akan dapat melakukan operasi bilangan kalau yang bersangkutan sedang menguasai simbol-simbol yang berkaitan dengan operasi tersebut. d. Unsur-unsur dalam belajar. Prilaku belajar merupakan prilaku yang konplek, karena banyak unsur yang terlibat didalamnya, diantaranya : 1. Tujuan. Dasar dari aktifitas belajar ialah untuk memenuhi kebutuhan yang dira-sakan oleh yang bersangkutan. oleh karena itu prilaku belajar mempu-nyai tujuan untuk memecahkan persoalan yang dihadapi dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Seorang anak yang merasa lapar akan belajar bagai mana caranya untuk mendapatkan makanan. 2. Pola respon dan kemampuan yang dimiliki. Setiap individu memiliki pola respon yang dapat digunakan saat meng-hadapi situasi belajar, dia mempunyai cara merespon tersendiri dan hal itu berkaitan erat dengan kesiapannya. Kurangnya kesiapan yang bersangkutan menghadapi situasi yang diha-dapi dapat menyebabkannya gagal dalam mencapai tujuan. 3. Situasi belajar. Situasi yang dihadapi mengandung berbagai alternatif yang dapat dipi-lih. Alternatif yang dipilih dapat memberikan kepuasan atau tidak. ka-dang-kadang situasi mengandung ancaman atau tantangan bagi indivi-du dalam rangka mencapai tujuan. 4. Penafsiran terhadap situasi. Dalam menghadapi situasi, individu harus menentukan tindakan , mana yang akan diambil, mana yang harus dihindari dan mana yang paling aman. Mana yang akan diambil tentu saja didasarkan pada penafsiran yagn bersangkutan terhadap situasi yang dihadapi. Andaikan dia salah dalam penafsiran situasi yang dihadapi, dia akan gagal mencapai tujuan yang ingin dicapainya. 5. Reaksi atau respon. Setelah pilihan dinyatakan, maka yang dapat dilakukan seseorang da-lam memenuhi kebutuhannya yaitu : a. Situasi dihadapi secara instinktif. Yang dimaksud dengan instinktif cara-cara bertindak atau kepan-daian yang dimiliki seseorang yang diperoleh dari kredity (wau-san). Prilaku yang demikian tidak diperoleh melalui usaha belajar atau pengalaman dan oleh karena itu tidak mengalami perubahan seperti halnya makhluk lain, mausia juga telah dilengkapi dengan berbagai instink yang untuk hal-hal tertentu sudah dapat memban-tu yang bersangkutan dalam memenuhi kebutuhannya. Andaikan suatu ketika benda kecil masuk kedalam mata anda, maka secara instinktif akan keluar air mata, atau kalau suatu benda masuk ke-dalam hidung, maka anda akan bersin. Keluarnya air mata dan bersin merupakan mekanisme pertahanan diri yang diperoleh seca-ra instink untuk memecahkan masalah adanya benda kecil dalam mata dan hidung. b. Situasi dihadapi secara kapitual. Adakalanya tindakan instinktif tidak mangkus, sehingga persoalan tidak terpecahkan. Dalam keadaan yang demikian maka muncul mekanisme yang kedua, yaitu situasi dihadapi dengan prilaku ke-biasaan. Sifat kebiasaan ialah seragam dan berlangsung secara otomatis. karena sifatnya yang seragam dan berlangsung secara otomatis, jadi tidak terjadi perubahan, maka pada tahap ini prilaku yang bersangkutan tidak merupakan aktifitas belajar, namun de-mikian tidak disangkal proses terbentuknya kebiasaan pada awal-nya memang melalui proses belajar. Kembali kepada contoh masuknya benda kecil kedalam mata. Se-benarnya air mata yang keluar secara instinktif tidak berhasil mengeluarkan benda tersebut, maka mungkin anda akan menggo-sok-gosoknya. Tindakan menggosok-gosok tersebut anda lakukan karena cara yang demikian pernah dicoba dan ternyata mangkus. Karenanya sekarang anda ingin mengulang kembali cara tersebut. c. Situasi dihadapi secara rasional. Andaikata dengan cara menggosok-gosok tersebut benda kecil itu dapat keluar, maka anda merasa puas, persoalan terpecahkan. Na-mun sering terjadi bahwa cara yang sudah terbiasa tersebut tidak dapat memecahkan persoalan. Kalau demikian yang terjadi maka muncul mekanisme yang ketiga. Situasi akan dihadapi secara ra-sional dalam keadaan yang seperti itu perlu dicari cara pemecahan yang baru. Untuk itu yang bersangkutan perlu lebih memahami si-tuasi yang dihadapi. Kemudian alternatif lain akan perlu diinven-tarisis. Sebagai alternatif perlu dikaji kelebihan dan kekurangan-nya. Kemudian dari alternatif yang ada dipilih mana yang lebih efektif dan efisien, yagn untuk selanjutnya diimplementasikan. Pada tahap inilah prilaku belajar mulai terjadi. d. Situasi dihadapi secara emosional. Dapat terjadi bahwa cara-cara yang telah dikemukakan diatas ti-dak mangkus dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Dalam keadaan yang demikian maka situasi akan dihadapi secara emo-sional. Apakah prilaku emosional diperoleh melalui usaha belajar? Ya. Sesungguhnya kita perlu belajar untuk mencintai seseorang dan menumbuh kembangkannya. Kita perlu belajar bagaimana caranya untuk menyenangi seseorang dan untuk mendapatkan belas kasi-han dari orang lain. Dari penjelasan diatas, maka dapat diambil suatu kesimpulan yang umum apabila, cara-cara bertindak yang sudah dimiliki tidak lagi memuaskan yang bersangkutan dalam memenuhi kebutuhan, maka yang bersangkutan mulai belajar. C. Hakekat Pembelajaran Salah satu perubahan yang cukup mendasar dalam dunia pendidikan pada dasa warsa terakir ini ialah dalam fungsi guru. Perubahan yang dimaksud ialah guru sebagai pengajar menjadi sebagai pembelajar. Perubahan tersebut telah menimbulkan inplikasi dan implementasi yang cukup besar dalam dunia pen-didikan. Oleh karena itu semua calon guru – tentu juga guru – sangat diha-rapkan untuk dapat memahami dan mengikuti perubahan tersebut. Untuk da-pat memahami konsep pembelajaran itu dengan baik, maka pada bagian ini akan dibahas, latar belakang pengertian dan ciri-cirinya. a. Latar belakang. Terjadinya perubahan fungsi guru seperti telah dikemukakan diatas, ber-kaitan erat dengan munculnya perubahan pandangan para ahli. Perubahan pandangan yang dimaksud terutama dalam hal : 1. Pandangan terhadap manusia. Pandangan orang terhadap manusia berkaitan erat dengan aliran psi-kologi yang berkembang. Dalam sejarah perkembangannya psikologi banyak dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan alam, yang menghasilkan aliran behaviorisme. Seperti halnya ilmu pengetahuan, mereka memandang manusia se-perti makhluk alam lainnya. Prilaku manusia dikendalikan oleh pe-rubahan-perubahan yang terjadi diluar dirinya. Prilaku manusia dije-laskan dengan teori Stimulus (S) – Respon (R) kalau ada rangsangan (S) yang mempengaruhinya. Tanpa ada rangsangan mustahil ada respon. Oleh karena itu antara stimutus dan respon terdapat hubungan yang kuat (stimulus – respon boud). Implikasi pandangan tersebut terdapat hubungan guru dengan murid diperbinakan. Dalam hubungan tersebut guru-lah yang lebih domi-nan, lebih aktif. Dipihak lain murid lebih bersifat pasif dan meneri-ma. Munculah istilah yang dikenal dengan “guru mencerek murid mencawan”. Tugas murid disekolah dapat digambarkan dengan D3 yaitu duduk, dengar, dan diam. Kelemahan pandangan tersebut mudah dilihat, memang diakui bah-wa manusia terdiri dari unsur pisik. Oleh karena itu tidak dapat dis-angkal bahwa, adakalanya prilakunya ditentukan oleh faktor-faktor diluar dirinya. Namun demikian unsur pisik bukan satu-satunya unsur dari makluk yang dinamakan manusia. Dia juga terdiri dari unsur lain, yaitu kemauan, perasaan, dan pikiran. Bahkan unsur-unsur itulah yang lebih lebih berperan dalam kehidupannya. Prilaku manusia lebih banyak ditentukan oleh pikiran, perasaan, kemauan, dan kesa-darannya, hal ini yang dimungkin oleh aliran behavionisme. Cara pandang yang demikian di dalam psikologi dikenal dengan aliran humanisme. Amplikasi cara pandang yang demikian terhadap hubn-gan guru murid mudah diperkirakan. Faktor murid merupakan hal yang paling dominan. Mereka harus dipandang sebagai objek yang harus dihargai, baik dari segi perasaan, pikiran dan kemauan. Hasil bekerja akan lebih banyak ditentukan oleh bagai mana perlakuan guru terhadap unsur-unsur tersebut. Tugas guru bukan lagi sebagai pengajar, namun sebagai pembelajar. 2. Pandangan terhadap tujuan pendidikan. Salah dampak dari perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat pada dasa warsa terakhir ini ialah ter-jadinya akselerasi perubahan dalam masyarakat. Dalam masyarakat agroris dan tradisional perubahan-perubahan ber-langsung secara perlahan-lahan, dan dalam rintang waktu puluhan ta-hun. Apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang dapat dianti-sipasi obsernasi yang sangat tinggi. Karena itu kemampuan dan kete-rampilan apa yang akan diperlukan dan karenanya perlu dimiliki oleh anak sudah dapat ditentukan. Oleh karena itu tujuan pendidikan pada masyarakat tersebut ialah membentuk manusia yang siap pakai. Dalam masyarakat industri yang terjadi malah sebaliknya. Perubahan berlangsung dengan sangat cepat. Dia berlangsung tidak dalam ren-tangan puluhan tahun malah dalam hitungan bulan, bahkan harian. Apa yang akan terjadi dan bagaimana wujud masyarakat yang akan datang sangat sukar untuk diprediksi, kecuali terjadinya perubahan makin cepat. Akibatnya ialah bahwa adalah sangat sukar bagi kita un-tuk menentukan kemampuan dan keterampilan yang bagai mana yang kan diperlukan dan dimiliki oleh anak. Menghadapi situasi yang demikian, kebijaksanaan mendidik anak menjadi siap pakai merupakan kebijaksanaan yang tidak dapat diper-tanggung jawabkan. Oleh karena itu perlu diambil kebijaksanaan lain yaitu mendidik anak menjadi manusia yang mandiri yaitu yang mam-pu menganalisis situasi yang dihadapi, mencari dan memiliki alternatif pemecahan secara mandiri. 3. Peranan guru. Dampak lain dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat ialah munculnya eraglobalisasi dan informasi. Dunia dimana kita hidup sekarang ini, menjadi bertambah kecil. Jarak yang begitu jauh yang dulunya ditempuh dalam hitungan bulan sekarang malah dapat dijangkau dalam hitungan hari, bahkan jam. Dewasa ini orang dapat makan pagi di jakarta, makan siang di kairo, makan malam di london. Hal yang tidak dapat dibayangkan pada masa-masa yang la-lu. Salah satu akibatnya ialah bahwa batas-batas antara suatu bangsa dengan bangsa lainnya menjadi lebih kabur. Era informasi ditandai dengan terjadinya ledakan informasi yang dahsyat dan dikomunikasikan secara cepat dan lancar keseluruh pen-juru angin. Hal yang dimungkinkan dengan adanya perkembangan teknologi media komunikasi, baik cetak maupun elektronik yang canggih. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di belahan dunia lain dapat kita ketahui hanya dalam jarak waktu bilangan jam. Apa yag seka-rang ini kita anggap benar dan baru besoknya dapat berubah menjadi salah dan outdate. Salah satu implikasi dari era globalisasi dan informasi seperti dike-mukakan diatas ialah bahwa, adalah mustahil bagi seseorang untuk dapat mengikuti dan menguasai semua perkembangan informasi yang terjadi, namun demikian perkembangan informasi tersebut dapat dikemas dan disimpan dalam berbagai bentuk media yang nantinya dapat dipandang sebagai sumbu informasi. Ini berarti kalau dulunya gur dianggap sebagai satu-satunya sumbu informasi bagi murid, maka sekarang anggapan demikian tidak dapat dipertahankan lagi, sekarang ini guru hanya merupakan salah satu sumbu informasi, disamping sumbu lain yang sangat banyak jenis dan jumlahnya. De-wasa ini guru tidak dapat dipandang sebagai orang yang serba tahu, harus dianggap sebagai orang yang serba terbatas. Cara diatas telah menyebabkan terjadinya perubahan dalam peranan gur dari sebagai pengajar sebagai fasilitator. b. Pengertian Perubahan pandangan seperti yang telah dijelaskan diatas juga telah mempengaruhi kebijakan dan pelaksanaan hubungan antara guru dan mu-rid. Pada awalnya guru dipandang sebagai pengajar, yang berupaya untuk menyampaikan pengetahuan kepada murid. Istilah mengajar pada waktu itu sangat populer. Munculnya pandangan yang lebih menghargai anak se-bagai manusia (objektif) yang mempunyai perasaan, pikiran dan kemauan, maka prialku guru dipandang sebagai mempunyai nuansa mencekoki anak ddengan berbagai pengetahuan, suatu tindakan dari untuk guru. Padahal para ahli mulai menyadari bahwa sesungguhnya dalam pendidikan dan pengajaran semua usaha dilakukan untuk kepentingan anak bukan untuk guru. Bersamaan dengan pemikiran diatas, maka istilah mengajar diubah menjadi proses belajar-mengajar, yang lebih menekankan adanya suatu proses intrabsi antara siswa dan guru dimana guru mengajar dan siswa be-lajar. Esensi dari konsep tersebut ialah bahwa siswa telah dihargai kebera-daannya. Namun demikian lama kelamaan para ahli melihat dan merasakan bahwa istilah diatas mempunyai konotasi yang negatif. Guru cenderung untuk terperosok kepada penataan kegiatan balajar-mengajar secara terpi-sah. Satu pihak ada kegiatan guru dan dipihak lain ada kegiatan siswa. Hal ini menimbulkan kekhawatiran pada sebagain ahli jangan-jangan istilah tersebut pada gilirannya akan menghasilkan cara mengajar gaya lama. Misi utama seorang guru ialah mendorong atau menyebabkan siswa belajar. Jadi mengajar sekarang diartikan sebagai upaya guru untuk mem-bangkitkan hasrat siswa untuk belajar. Membangkitkan berarti menyebab-kan seseorang bangkit. Istilah ini dianalogikan “membelajarkan”. Berdasarkan uraian diatas, maka pembelajaran dapat diartikan sebagai: Upaya pembimbingan terhadap siswa agar yang bersangkutan secara sadar dan terarah berkeinginan untuk belajar dan memproleh hasil be-lajar seoptimal mungkin sesuai dengan keadaan dan kemampuannya. Dari rumusan diatas ada beberapa pokok pikiran yang perlu dikemukakan: 1. Tugas guru sekarang ini bukanlah mengajar dalam arti mencurahkan atau menyampaikan ilmu pengetahuan namun lebih ditekankan pada memberikan bimbingan, dorongan dan arah pada siswa. Masalah utama yang dihadapi guru ialah apa harus dilakukan agar siswa mau dan berkeinginan untuk bela-jar. Adanya kemauan dan keinginan saja bukanlah cukup, namun perlu dibina dan diarahkan agar kegiatan mereka tetap pada jalan yang benar, sehingga tujuan yang sudah ditetapkan dapat tercapai. 2. Dalam kontek mau dan berkeinginan untuk belajar, diartikan bahwa siswa harus terlibat secara aktif dalam proses perubahan tersebut. Dalam hal ini mereka mungkin mencari, mengamati, membaca, memcatat, merumukan dan mengambil kesimpulan sendiri, pengalaman yang sudah dirancang dengan baik oleh guru. Agar aktivitas mereka berlangsung secara efektif dan efisien, maka pengendalian dari guru sangat penting. Mereka selalu diarahkan, apa yang harus mereka lakukan, mengapa harus dilakukan dan bagai mana mela-kukannya. 3. Sekiranya dengan bimbingan guru kemauan dan keinginan siswa untuk bela-jar sudah tumbuh dan berkembang, maka peluang untuk berhasil dengan baik sudah terbuka lebar. Mereka akan belajar secara serius dan dengan me-manfaatkan fasilitas yang ada sebaik-baik mungkin, dan yang lebih penting lagi ialah bahwa mereka akan menggunakan setiap kesempatan untuk belajar seoptimal mungkin. Kalau situasi yang demikian sudah tumbuh dalam diri siswa, maka hasil belajar yang optimal akan mudah dicapainya. Hasil optimal yang dimaksud disini tentu saja dalam batas-batas keadaan dan kemampuan yang dimilikinya. Tugas dan latihan. Mahasiswa diminta untuk mencari dan membuat laporan tertulis tentang bata-san dan pengertian belajar dan penbelajaran menurut beberapa ahli selain yang sudah dikemukakan diatas. Rangkuman. Tugas utama seorang guru sekarang ini tidak lagi ditekankan untuk mengajar, tetapi untuk membelajarkan. Yang dimaksud dengan membelajarkan ialah memberi-kan dorongan, bimbingan pada siswa agar mereka secara sadar dan terarah berkeingi-nan untuk belajar, untuk mendapatkan hasil seoptimal mungkin sesuai dengan kea-daan dan kemampuannya masing-masing. Belajar tidak lagi ditekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan, namun diar-tikan sebagai perubahan dalam diri seseorang, berupa adanya pola sambutan yang baru yang dapat dilihat pada perubahan kognitif, afektif, psikomotor. Daftar Pustaka. Diningrat dan Mudjiono (1994) Belajar Dan Pembelajaran , Jakarta : P2LPTK. Witherington, H. Caul (1952) Educational Psychology New York Srina and Compe-ny

TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

PENGERTIAN BELAJAR DAN PEMBELAJARAN MENURUT BEBERAPA ALIRAN TEORI BELAJAR Pengertiaan belajar dan pembelajaran menurut beberapa aliran dan teori. Bila anda mempelajari isi bab ini dengan baik anda diha-rapkan memiliki kemampuan sebagai berikut. 1. Mampu menjelaskan arti teori belajar, perbedaan dan persamaan teori-teori belajar behavioristik, kognitif, humanistik, sibernisik gestalt dan sosial berkenaan dengan a. Makna belajar b. Proses belajar c. Kekuatan dan kelemahan 2. Dapat memberikan contoh konkrit penerapan setiap teori belajar di dalam melak-sanakan pembelajaran B. Teori Belajar Teori belajar adalah teori yang pragmatik dan eklektif, teori dengan sifat de-mikian ini hampir dipastikan tidak pernah mempunyai sifat ekstrim, tidak ada teori belajar yang secara ekstrim khusus menekankan kepada aspek siswa, guru, kurikulum saja. Titik fokus yang menjadi pusat perhatian suatu teori selalu ada. Ada yang le-bih mementingkan proses belajar, ada pula yang lebih mementingkan sistem informasi yang diolah dalam proses belajar. Namun faktor–faktor lain di luar titik fokus itu selalu diperhatikan dan diperlukan untuk menjelaskan seluruh persoalan belajar yang dibahas. Konsekwensi lain, taksonomi (penggolongan) teori–teori tentang belajar sering kali bervariasi antara penulis satu dengan lainnya, ada yang mengelompokkan teori belajar menurut berbagai aliran psikologi yang mempengaruhi teori–teori tersebut, ada pula yang mengelompokkannya menurut titik fokus dari teori–teori tersebut, bahkan ada juga yang menggolong–golongkan teori belajar menurut nama–nama ahli yang mengembangkan teori–teori itu. Pada prinsipnya tidaklah penting taksonomi mana yang akan kita ikuti, yang penting kita menyadari bahwa sebuah taksonomi adalah tak lebih dari suatu usaha untuk menyederhanakan permasalahan serta mempermudah pembahasannya. Untuk mempermudah pemahaman kita, dibagian akhir dari bab ini akan disajikan ringkasan isi/rangkuman dari pembahasan teori belajar yang akan dijelaskan berikut ini. Dalam ringkasan tersebut diberikan deskripsi tentang aplikasi setiap teori di dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Secara umum semua teori belajar dapat kita kelompokan menjadi enam go-longan atau aliran, yaitu aliran tingkah laku, (Behavioristik), kognitif, humanistik, gestalt, dan sosial, Sibernetik. Aliran behavioristik (tingkah laku) menekankan kepada proses belajar aliran humanistik menekankan kepada isi “atau apa yang dipelajari aliran psikologi gestal menekankan kepada pemahaman menyeluruh yang berstruktur bukan terpisah–pisah sedangkan Aliran sibernetik menekankan kepada “sistem in-formasi” yang dipelajari, semuanya aliran di atas menekankan kepada proses belajar iru sendiri. Aliran sibernetik menekankan kepada “sistem informasi” yang dipelajari, un-tuk memahami lebih jauh marilah kita kaji teori ini satu persatu. C. Pengertian Belajar Menurut Teori 1 Aliran Behavioristik/Tingkah Laku Beberapa teori belajar dari psikologi behavioristik dikemukakan oleh beberapa pakar psikologi behavioristik. Mereka ini sering Contemporasi behavioristik yang dikenal dengan S—R Psikologis. Mereka berpendapat tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (Reinforcement) dari lingkungan. Perkembangan teori ini dipelopori oleh Thorndike, Ivand Povlov, Watson, dan Guthris. Jadi belajar menurut teori ini adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara Stimulus dan Respon atau lebih tepat perubahan yang diala-mi siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara baru se-bagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Meskipun semua penganut ini setuju dalam premis dasar namum mereka berbeda pendapat dalam beberapa hal penting. Berikut ini kita kaji hasil karya dari beberapa penganut aliran ini yang paling penting yaitu THORNDIKE, WATSON, HUL, GUTHRIE dan SKINNER a. THORNDIKE Menurut Thorndike, salah satu pendiri aliran tingkah laku, belajar adalah proses interaksi antara Stimulus dan Respon (mungkin berupa pikiran, pera-saan atau gerakan) dan respon (bisa berbentuk pikiran, perasaan atau gerakan, jelasnya menurut Thorndike, perubahan tingkah laku itu berupa wujud sesuatu yang kongkrit (dapat diamati) atau yang non konkret (tidak bisa diamati). Meskipun Thorndike tidak menjelaskan bagaimana cara mengukur berbagai tingkah laku yang non konkrit itu ( pengukuran adalah suatu hal yang menjadi obsesi semua penganut aliran tingkah laku) tetapi teori Thorndike ini telah banyak memberikan insprirasi kepada pakar lain yang datang sesudahnya, teori Thorndike ini disebut sebagai aliran koneksionis (Connectionisme) b. WATSON Menurut Watson, pelopor lain yang datang sesudah Thorndike, stimulus dan respon, tersebut harus berbentuk tingkah laku yang bisa diamati (observable) dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menggabungnya sebagai faktor yang tak perlu diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental yang mungkin terjadi dalam benak siswa tidak penting, semua itu penting tapi, faktor – faktor terse-but tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum. Hanya dengan asumsi demikian, kata watson kita bisa meramalkan perubahan yang bakal terjadi pada siswa, dan hanya dengan demikianlah psikologi dan ilmu tentang belajar dapat disejajarkan dengan ilmu – ilmu lainnya seperti fi-sika, atau biologi yang sangat berorientasi kepada alam empirik. Penganut aliran tingkah laku lebih suka memilih untuk tidak memikirkan hal-hal yang bisa diukur, meskipun mereka tetap mengakui bahwa semua itu pent-ing, teori watson ini juga disebut sebagai aliran tingkah laku (behaviorism) Tiga pakar lainnya adalah CLARK HULL, EDWIN GUTHRIE dan B.F. SKINNER. Ketiga pakar terakhir ini menggunakan variabel S-R. Untuk men-jelaskan teori – teori mereka, meskipun tiga pakar ini disebut tokoh Behavi-oristik namun pendapat mereka satu sama lainnya secara prinsip tetap berbeda c. CLARK HULL Clark Hull sangat terpengaruh oleh teori evolusinya, Charles Darwin. Bagi Hull, seperti dalam teori evolusi semua fungsi tingkah laku bermanfaat teru-tama untuk menjaga kelangsungan hidup, karena itu dalam teori Hull kebutu-han biologis dan pemuasan kebutuhan biologis menempati posisi sentral sti-mulus hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis ini, meskipun respon mungkin bermacam – macam bentuknya. Teori ini, terutama setelah SKINNER memperkenalkan teori ternyata tidak banyak dipakai dalam dunia praktis, meskipun sering digunakan dalam berba-gai bidang eksperimen dalam laboratorium. d. EDWIN GUTHRIE Menurut Edwin Guthrie, stimulus tidak berbentuk kebutuhan biologis, yang terpenting dalam teori Guthrie adalah, bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung bersifat sementara. Karena itu diperlukan pemberian stimu-lus yang sering agar hubungan ini menjadi labih langsung. Selain itu, suatu respon berhubungan dengan bermacam stimulus. Contohnya kenapa kebiasaan merokok, sulit ditinggalkan. Seringkali terjadi, perbuatan merokok tidak hanya berhubungan dengan satu macam, stimulus (kenikmatan menorok), tetapi juga dengan stimulus lainnya (seperti minum kopi, teh, dan lain – lain, berkumpul dengan teman-teman, ingin nampak ga-gah dan lain–lain). Maka setiap kali salah satu atau lebih stumulus itu muncul maka segera pula keinginan merokok itu muncul. Guthrie percaya bahwa “hukuman” memegang peranan penting dalam proses balajar. Menurut Guthrie suatu hukuman yang diberikan pada saat yang te-pat,untuk tujuan yang tepat, akan mampu merobah kebiasaan seseorang dima-sa yang akan datang. Faktor hukuman ini tidak lagi dominan dalam teori – teori tingkah laku, terutama setelah SKINNER yakni mempopulerkan ide ten-tang “penguatan” (Reinforcement) e. B.F. SKINNER B.F. Skinner adalah tokoh yang datang kemudian, mempunyai pendapat lain, yang ternyata mempumyai pamor teori – teori, Hull dan Guthrie. Hal ini mungkin karena kemampuan Skinner dalam “menyederhanakan kerumitan teorinya serta menjelaskan konsep – konsep yang ada dalam teorinya itu. Menurut Skinner, deskripsi hubungan antara Stimulus dan Respon untuk me-nyelesaikan perubahan tingkah laku (dalam hubungannya dengan lingkungan) menurut versi Watson deskripsi belum lengkap, kalau respon yang diberikan oleh siswa sederhana sekali. Sebab pada dasarnya setiap stimulus yang diberi-kan berintegrasi satu sama lainnya, dan interaksi itu akhirnya mempengaruhi respon yang dihasilkan dengan berbagai konsekwen, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkah laku siswa. Karena itu, untuk memahami tingkah laku siswa secara tuntas kita harus me-mahami hubungan antar satu stimulus dengan stimulus lainnya, memahami respon itu sendiri, dan berbagai konsekwen yang diakibatkan oleh respon ter-sebut. Skinner juga menjelaskan bahwa menggunakan perubahan–perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan membuat segala se-suatunya menjadi bertambah rumit, sebab alat itu akhirnya juga harus dije-laskan lagi. Misalnya, bila kita mengatakan bahwa” seseorang siswa yang berprestasi rendah/buruk mungkin ia sedang mengalami frustasi “akan menun-tut kita akan menjelaskan” apa itu frustasi “ dan penjelasan frustasi itu besar kemungkinan akan memerlukan penjelasan lain, begitu seterusnya. Dari semua pendukung teori tingkah laku, mungkin teori Skinnerlah yang pal-ing besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar. Beberapa program pembelajaran seperti TEACHING Mach INE” Mathetic” atau program– rogram lain yang memakai konsep stimulus–respon, dan faktor penguat (REINFORCEMENT) adalah sebagian contoh program yang memanfaatkan teori. SKINNER ini. Ada enam solusi yang melandasai teori kondisioning operand B.H. SKINNER adalah 1. Belajar itu adalah TL 2. Perubahan TL (belajar) secara fungsional berkaitan dengan adanya peru-bahan dalam kejadian dilingkungan. 3. Hubungan antara TL dengan hukum lingkungan 4. TL merupakan sumber informasi 5. TL. Organisme secara individu merupakan sumber data yang cocok 6. Dinamika interaksi organisme dengan lingkungan itu sama. 2. Aliran Kognitif Teori kognitif, sebaliknya lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil bela-jar itu sendiri. Bagi penganut aliran ini belajar itu tidak sekedar melibatkan hu-bungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu, belajar melibatkan proses ber-pikir yang sangat komplek, teori ini sangat erat hubungannya dengan teori siber-nitik. Pada masa–masa awal mulai diperkenalkannya teori ini, para ahli mencoba men-jelaskan bagaimana siswa mengolah stimulus dan bagaimana siswa tersebut bisa sampai ke respon tertentu (pengaruh aliran tingkah laku masih terlihat disini). Namun lambat laun, perhatian ini mulai bergeser, saat ini perhatian mereka terpu-sat pada proses bagaimana suatu ilmu yang baru berasimilasi dengan ilmu yang sebelumnya telah dikuasai oleh siswa. Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang individu me-lalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan, proses ini tidak berjalan terpatah–patah, tetapi melalui proses yang mengalir, bersambung-sambung, menyeluruh ibarat seseorang yang memainkan musik, orang ini tidak memakai not–not balok yang terpampang di partitur sebagai informasi yang saling lepas berdiri sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan yang secara utuh masuk kepikiran dan perasaannya. Seperti ketika anda membaca tulisan ini, bukan alfa-bet–alfabet yang terpisah–pisah yang anda serap dan kunyah dalam pikiran, tetapi adalah kata, kalimat, paragraf, semuanya itu seolah-olah menjadi satu, mengalir, menyerbu secara total bersamaan. Dalam praktek, teori ini antara lain terwujud dalam tahap–tahap perkembangan yang diusulkan oleh Jean Peaget “belajar ber-maknanya” Ausubel dan belajar penemuan yang bebas” (Free discovery learning) oleh Jerome Bruner. Jadi menurut aliran Kognitif ini tingkah laku individu senantiasa didasarkan ke-pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi, di dalam situasi belajar individu harus terlibat langsung yang pada akhirnya ini akan memperoleh insight untuk memecahkan masalah. Para penganut aliran kognitif ini adalah PIAGET , AUSUBEL dan BRUNER. a. JEAN PIAGET Menurut Jean Piaget proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahap yakni asimilasi, akomudasi, equilibrasi (penyambungan). Proses asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru, kestruktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kog-nitif kedalam situasi yang baru. Equalibrasi adalah penyesuaian berkesenam-bungan antara asimilasi dengan akomodasi. Suatu contoh, seorang siswa yang sdah mengetahui prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka proses Pengintegrasian an-tara prinsip penjumlahan (yang sudah ada dibenak siswa) dengan prinsip perkalian (sebagai informasi baru) disebut proses asimilasi, jika siswa diberi sebuah soal perkalian, maka situasi ini disebut akomodasi, ini berarti pema-kaian (aplikasi) prinsip perkalian tersebut terjadi dalam situasi yang baru dan spesifik. Agar siswa tersebut dapat berkembang dan menambah ilmunya, harus tetap menjaga stabilitas mental dalam dirinya diperlukan proses penyeimbangan, proses inilah yang disebut equalibrasi. Proses penyeimbangan antara “dunia luar” dengan “dunia dalam” tanpa proses ini perkembangan kognitif seseo-rang akan tersendat–sendat dan berjalan tak teratur (Dis Organizet). Dua orang yang mempunyai jumlah informasi yang sama di otaknya mungkin mempunyai kemampuan equilibrasi yang baik yang berbeda. Seseorang dengan kemampuan equilibrasi dan baik akan mampu menata informasi da-lam urutan yang baik, jernih, dan logis. Sedangkan rekannya yang tidak me-miliki kemampuan equilibrasi sebaik itu cenderung menyimpan semua in-formasi yang ada secara kurang teratur, karena itu orang ini cendrung mem-punyai alur berfikir ruwet, tidak logis, dan berbelit–belit. Menurut Piaget proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dialami siswa. Dalam hal ini Piaget membagi empat tahap yaitu tahap sensoris motor ketika anak berumur 1,5–2 tahun, tahap pra operasional 2/3–7/8 tahun, tahap operasi konkrit 7/8–12/14 tahun dan tahap operasi formal 14 tahun keatas. Proses belajar yang dialamai seorang anak pada tahap sensoris motor tentu lain yang dialami seorang anak yang sudah tahap kedua, begitu juga pada ta-hap–tahap berikutnya. Oleh karena itu semakin tinggi tingkat kognitif semakin teratur cara berfikir-nya, maka guru seyogyanya memahami tahap–tahap perkembangan anak di-diknya serta memberikan meteri pelajaran dalam jumlah dan jenis yang sesuai dengan tahap–tahap tersebut. Guru yang mengajar tetapi tidak menghiraukan tahapan – tahapan perkembangan anak didiknya ini akan cenderung menyulitkan para siswa. b. AUSUBEL Menurut Ausubel siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut “pen-gatur kemajuan balajar (Advance Organizeis), didefenisikan dan dipresentasi-kan dengan baik dan tepat kepada siswa, pengatur kemajuan balajar adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa. Ausubel percaya bahwa “advance Organizers” dapat memberikan tiga macam manfaat yakni : 1. dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa. 2. dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipelajari olah siswa “saat itu” dengan apa yang “akan” dipelajari siswa sedemikian rupa sehingga 3. mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mu-dah. Untuk itu pengetahuan guru terhadap isi pelajaran harus sangat baik, hanya dengan demikian sorang guru akan mampu menemukan informasi, yang me-nurut Ausubel sangat abstrak, umum dan inklusif “yang mewadahi apa yang akan diajarkan itu. Selain itu logika berpikir guru juga dituntut sebaik mung-kin, tenpat memiliki logika berfikir yang baik, maka guru akan kesulitan me-milah–milah materi pelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan padat, serta mengurutkan materi demi meteri itu kedalam struktur urutan logis serta mudah dipahami. c. BRUNER Bruner mengusulkan teorinya disebut Free Discovery Learning. Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi, dan sebagainya) melalui contoh – contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya. Dengan kata lain, siswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu ke-banaran umum, untuk memahami konsep “kejujuran” misalnya siswa tidak pertama – tama menghafal definisi kata itu, tetapi mempelajari contoh – con-toh konkrit tentang kejujuran, dan dari contoh – contoh itulah siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata kejujuran. Lawan pendekatan ini disebut “balajar ekspositori” (belajar dengan cara men-jelaskan), dalam hal ini, siswa di sodori sebuah informasi umum dan diminta untuk menjelaskan informasi ini melalui contoh–contoh konkrit. Dalam con-toh–contoh di atas maka siswa pertama–tama diberi definisi tentang kejujuran dan dari definisi itulah siswa diminta untuk mencari contoh–contoh konkrit yang dapat mengambarkan makna kata tersebut, proses belajar ini berjalan se-cara deduktif. 3. Aliran Humanistik Bagi penganut teori ini, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Dari beberapa teori belajar, teori humanistik inilah yang paling abstrak yang paling mendekati dunia filsafat dari pada dunia pendidikan. Teori ini menekankan kepada pentingnya “isi” dari proses belajar dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar, dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini bersifat eklektik, teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuannya untuk memuliakan kemanusiaan ma-nusia (mencapai aktualisasi dan sebagainya) itu dapat tercapai. Dalam praktek, teori ini antara lain terwujud dalam pendekatan yang diusulkan oleh Ausubel yang disebut “belajar bermakna” atau meaningfull learning (sebagai catatan, teori Ausubel ini juga dimasukkan kedalam aliran kognitif). Teori ini juga terwujud dalam teori Bloom dan Krathwohl dalam bentuk taksonomi Bloom yang terkenal itu, selain itu empat tokoh lain yang termasuk kedalam kubu teori ini adalah Kolb, Honey dan Mumford serta Habermas. a. BLOOM DAN KRATHWOHL Bloom dan krathwohl, menunjukan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa yang tercakup dalam tiga kawasan yaitu: kawasan kognitif, affek-tif, psikomotor. 1. Kognitif ada enam tingkatan a. pengetahuan (mengingat, menghafal) b. pemahaman (menginterpretasikan) c. aplikasi (penggunaan konsep untuk memecahkan suatu masalah) d. analisis (menjabarkan suatu konsep) e. sintesis (menggabungkan bagian–bagian konsep menjadi suatu konsep yang untuh) f. evaluasi (membandingkan nilai–nilai, ide, metode, dan sebagainya) 2. Affektif terdiri dari lima tingkatan a. pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu) b. merespon (aktif berpartisipasi) c. penghargaan (menerima nilai–nilai, setia kepada nilai–nilai tertentu). d. Pengorganisasian (menghubung–hubungkan nilai-nilai yang dipercayai) e. Pengamalan (menjadikan nilai–nilai sebagai bagian dari pola hidup) 3. Psikomotor terdiri dari lima tingkatan a. peniruan (menirukan gerak) b. penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak) c. ketetapan (melakukan gerak dengan benar) d. perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar) e. naturalisasi (melakukan gerak secara wajar) Taksonomi Bloom ini telah berhasil memberikan inspirasi kepada banyak pakar lain untuk menyumbangkan teori–teori belajar dan pembelajaran pada tingkat praktis, bahkan telah banyak membantu praktisi pendidikan untuk memformulasikan tujuan – tujuan belajar dalam bahasa yang mudah dipahami, operasional, serta dapat diukur dari beberapa taksonomi belajar. Mungkin bloom ini yang paling populer khususnya di Indonesia. Selain itu teori bloom ini bayak dipakai untuk membuat kisi – kisi soal ujian. b. KOLB Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat tahap yaitu : 1) pengalaman konkrit 2) pengamatan aktif dan replektif 3) konseptualisasi 4) ekspermentasi aktif Pada tahap yang paling dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya mam-pu sekedar ikut mengalami suatu kejadian, dia belum memahami hakikat ke-jadian tersebut. Dia belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjadi seperti itu, inilah yang terjadi pada tahap pertama proses balajar. Pada tahap kedua siswa tersebut lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahami, inilah yang sering terjadi pada tahap pengamatan aktif dan replektif. Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar untuk membuat abstrak atau teori ten-tang suatu hal yang pernah diamati. Pada tahap ini siswa diharapkan mampu untuk membuat aturan – aturan umum (generalisasi) dari berbagai contoh ke-jadian yang meskipun tampak berbeda – beda, tetapi mempunyai landasan aturan yang sama. Pada tahap terakhir (ekspermentasi aktif) siswa sudah mampu mengaplikasi-kan suatu akurat umum kesituasi yang baru. Dalam dunia matematika misal-nya, “siswa tidak banyak memami kami asal usul” sebuah rumus, tetapi ia juga nampu memakai rumus tersebut untuk memecahkan suatu masalah yang belum pernah ia temui sebelumnya. Menurut Kolb, siklus belajar semacam ini terjadi secara berkenambungan dan berlangsung diluar kesadarn sipelajar, meskipun dalam teorinya kita mampu membuat garis tegas antar tahap satu dengan tahap lainnya, namun dalam praktek peralihan dari satu tahap ke ta-hap lainnya itu sering terjadi begitu saja, sulit kita tentukan kapan berakhir-nya. c. HONEY DAN MUMFORD Berdasarkan teori Kolb, Honey dan Mumford mebuat penggolongan siswa. Menurut mereka, ada empat macam atau tipe siswa, yakni aktivis, reflektor, teoris, pragmatis. Siswa tipe aktivis adalah mereka yang suka melibatkan diri pada pengalaman–pengalaman baru, mereka cenderung berfikiran terbuka dan mudah diajak berdialog, namun siswa semacam ini biasanya kurang skeptis menghadap se-suatu. Kadang kala indentik dengan sifat mudah percaya, dalam proses balajar mereka menyukai metode yang mampu mendorong seseorang menemukan hal – hal baru, seperti Brain Stroming, problem Solving, tetapi mereka cepat me-rasa bosan dengan hal-hal yang memerlukan waktu lama dalam Inflementasi. Siswa tipe refleksi, sebaliknya, cenderung sangat hati-hati mengambil langkah, dalam proses pengambilan keputusan, siswa seperti ini cenderung konservatif, dalam arti mereka lebih suka menimbang-nimbang secara cermat baik buruk suatu keputusan. Siswa tipe teoris, biasanya sangat kritis, senang menganalisis dan menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif bagi mereka, berfikir secara rasional adalah sesuatu yang sangat penting mereka biasanya juga sangat se-lektif dan tidak menyukai hal- hal yang bersifat spekulatif. Siswa tepe pragmatis menaruh perhatian besar pada aspek aspek dari segala hal, teori memang penting, kata mereka, namun bila teori tak bisa dipraktek-kan, untuk apa ? mereka tidak bisa betele-tele, sesuatu dikatakan ada gunanya dan baik hanya jika bisa dipraktekan. d. HABERMAS Habermas percaya bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi baik den-gan lingkungan maupun dengan sesama manusia. dengan asumsi ini, dia membagi tipe belajar menjadi tiga macam yaitu : 1). Belajar teknis (technical Learning) 2). Belajar praktis (practical learning) 3). Belajar emansifatoris (emancifatory learning) Dalam belajar teknis, siswa belajar bagaimana berinteraksi dengan alam se-kelilingnya, mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan cara mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu. Dalam belajar praktis, siswa juga belajar berinteraksi, tetapi pada tahap ini lebih dipentingkan adalah interaksi dia dengan orang – orang sekelilingnya, pada tahap ini, pemahaman siswa terhadap alam tidak berhenti sebagai suatu pemahaman yang kurang dan terlepas kaitannya dengan manusia, tetapi pe-mahaman terhadap alam itu justru relevan jika berkaitan dengan kepentingan manusia. Sedangkan dalam belajar emansipatoris, siswa berusaha mencapai pemaha-man dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan (transformasi) kultural dari suatu lingkungan. Bagi Habermas, pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural ini dianggap tahap belajar yang paling tinggi 4. Aliran Psikologi GESTALT Tokoh Psikologi Gestalt adalah Wertheimer, Kohler, Kooffka. Wertheimer den-gan gejala “phi-phenomenom-nya” merupakan penemuan yang penting, oleh ka-rena melahirkan gejala penghayatan yang berbeda dengan unsur – unsur yang membentuknya. Gejala tersebut tidak dapat dijelaskan melalui analisis atas unsun-unsur, meskipun hasil gejala tersebut adalah dari unsur-unsur bagian tersebut. Jadi penghayatan psikologis adalah hasil bentukan dari unsur – unsur pengindraan, ia berbeda antar pengalaman phenomenologis dengan pengalaman pengindraan yang membentuknya. Gestalt mengatakan bahwa organisme menambahkan sesuatu pa-da penghayatan yang tidak terdapat didalam pengindraannya, maka sesuatu ada-lah organisme. Dari sumber lain dengan gaya bahasa yang berbeda dapat dibaca pendapat gestalt sebagai berikut, bahwa pengalaman itu berstruktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan yang terorganisir, bukan dalam bagian – bagian yang terpisah. Menurut gestalt, semua kegiatan belajar menggunakan insight atau pemahaman terhadap hubungan – hubungan, antara bagian atau keseluruhan, tingkat kejelasan atau keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih mening-katkan belajar seseorang dari pada dengan hukuman dan jajaran. 5. Aliran / Teori Sosial Albert Bandura Teori belajar sosial diawali dengan kepercayaan bahwa proses dan isu psikologi yang penting telah diabaikan atau hanya dipelajari sebagian–sebagian saja oleh teori–teori lain. Soal–soal yang diabaikan itu termasuk kapasitas orang sebagai sibelajar untuk berfikir simbolik, kecenderungan orang untuk belajar dengan arah sendiri dan luasnya faktor–faktor sosial yang dapat mempengaruhi perbuatan in-isiatif (peniruan). Menurut terori belajar siswa, hal yang amat penting ialah kemampuan individu untuk mengambil sari informasi dari tangkah laku orang lain, memutuskan tingkah laku mana yang akan diambil. Teori belajar sosial Bandura oleh Albert. Bandura berusaha menjelaskan hal belajar dalam latar yang wajar. Asumsi yang menjadi dasar teori ini bahwa belajar sosial memberikan makna (a) hakekat belajar dalam latar alami (b) hubungan belajar dengan lingkungan (c) definisi dari apa yang dipelajari. Hakekat proses belajar menurut teori sosial bandura ini bermula dari kupasan atas balajar munatif (peniruan) sebagaimana diperiksa oleh teori – teori terdahulu. Tingkah laku dari lingkungan itu keduanya dapat diobah dan tak satupun meru-pakan penentuan utama dari terjadinya perubahan tingkah laku, Buku tidak akan mempengaruhi orang kecuali seseorang menulisnya, dan orang lain memilih serta membacanya, ganjaran dan hukuman tetap tidak berpengaruh sampai dibang-kitkan oleh performance yang cocok. (Bandura, 1974). Bandura berpendapat “pa-ham belajar sosial orang tidak didorong oleh tenaga dari dalam demikianpun tidak digencet stimulus–stimulus yang berasal dari lingkungan, alih – alih fungsi psi-kologi orang tidak dijelaskan sebagai interaksi timbal balik yang terus menerus terjadi antara faktor–faktor penentu pribadi dan lingkungannya (1977). Oleh karena itu Bandura mengajukan hubungan segi tiga yang saling berkaitan antara tingkah laku (T) hubunhan (L) dan kejadian Internal yang memepengaruhi pessepsi (P) seperti Bagan ini : Bagan hubungan segi tiga antara Lingkungan, faktor pribadi, tingkah laku (P) Ekspektasi dan mulai Ciri – ciri fisik tampak menarik mempengaruhi TL suku bangsa, perawakan, jenis kelamin dan atribut sosial mengaktifkan reakasi lingkungan yang berlainan Tingkah laku sering dimulai tanpa memper hatikan balikan dari lingkungan, dengan mengubah kesan pribadi Tingkah Laku (T) (L) mengaktifkan kontengensi kontingensi yang diaktifkan lingkungan dapat mengubah intensif atau arah kegiatan 6. Aliran Sibernetik Teori belajar jenis ke 6 mungkin paling baru dari semua teori belajar yang kita kenal, adalah teori Sibenertik. Teori ini berkembang sejalan dengan perkemban-gan ilmu informasi. Menurut teori ini belajar adalah pengolahan informasi. Sekilas teori ini mempunyai kesamaan dengan teori kognitif yang mementingkan proses. Proses memang penting dalam teori sibernetik. Namun yang lebih penting adalah “sistem informasi” yang diproses itu. Asumsi lain dari teori sibenertik ini adalah bahwa tidak ada satu proses belajarpun yang ideal untuk segala situasi, yang cocok untuk semua siswa, Maka sebuah informasi mungkin akan dipelajari seorang siswa dengan satu macam proses be-lajar dan informasi yang sama itu mungkin akan di pelajari Siswa lain melalui proses belajar yang berbeda. Dalam bentuk yang lebih praktis, teori ini telah dikembangkan oleh Lauda (dalam pendekatan yang disebut “algoritmik” dan “heuristik”) Pas dan Scott (dengan pembagian siswa tipe “menyeluruh” atau Wholist” dan tipe “serial” atau “se-rialis”) atau pendekatan – pendekatan lain yang berorientasi pada pengolahan in-formasi. a) Landa Menurut Landa ada dua macam proses berfikir yang pertama disebut proses berfikir algoritmik, yaitu proses berfikir linear, konvergan, lurus menuju kesatu terget tertentu, Jenis kedua adalah cara berfikir heuristik, yakni cara berfikir divergan menuju beberapa target sekaligus. Proses belajar akan berjalan dengan baik jika apa yang hendak dipelajari itu/masalah yang hendak dipecahkan diketahui ciri – cirinya. Satu hal lebih tepat disajikan dalam urutan teratur, linear sekuensial, satu hal lain lebih tepat bila disajikan dalam bentuk terbuka dan memberi keleluasaan pada siswa – siswa untuk berimajinasi dan berfikir. Misalnya agar siswa mampu memahami sebuah rumus matematika, mungkin akan lebih efektif jika presentasi informasi tentang rumus ini disajikan secara algorirmik. Alasanya adalah sebuah rumus matematikan biasanya mengikuti urutan tahap demi tahap yang sudah teratur dan mengarah kesatu target tertentu. b) Pask dan Scott Pendekatan serialis yang diurutkan oleh Pask dan Scott itu sama dengan pen-dekatan algoritmik. Namun cara berfikir menyeluruh (wholist) tidak sama dengan heusristik. Cara berfikirnya menyeluruh adalah cara berfikir yang cenderung melompat kedepan, langsung ke gambaran lengkap sebuah sistem informasi. Pendekatan yang berorientasi pada pengelolaan informasi menekankan bebe-rapa hal seperti ingatan jangka pendek (short termmemory) ingatan jangka panjang (long termmemory) dan sebagainya. Teori pengelolaan informasi sesuatu deskripsi (Wittrock 1978) otak itu bukan konsumen yang pasif dari informasi, ia secara aktif memilih, menunjukan perhatian, mengorganisaikan mempersepsi, mengubah menjadi sandi, dan mendapatkan kembali simpanan informasi, kadang–kadang otak menghasilkan gambaran yang lengkap dari stimulus setengah angan–angan pada kali yang lain, otak mengupas pula runag yang komplek menjadi pola yang lebih sederhana operasi–operasi, interpretasi dan inferensi yang banyak jumlah dan ragamnya menyifatkan kenyataan rumit yang dibentuk oleh otak. Rangkuman A. Teori Belajar Behaviorisme (Tingkah Laku) Menurut teori ini belajar adalah perubahan tingkah laku. Seseorang-dianggap telah belajar sesuatu bila ia mampu menunjukan perubahan tingkah laku. Misalnya : seorang siswa belum bisa membaca maka iapun keras belajar, betapa-pun gurunya berusaha sebaik mungkin mengajar atau bahkan ia sudah hafal huruf A sampai Z diluar kepala, namun bila siswa itu gagal mendemonstrasikan ke-mampuannya dalam membaca, maka siswa itu belum bisa dianggap telah belajar. Ia dianggap telah belajar bila ia telah menunjukan sesuatu perubahan dalam ting-kah laku. Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan / input yang berupa stimulus dan keluaran /output yang berupa respon. Sedangkan apa yang terjadi diantara stimulus dan respon itu dianggap tak penting di perhatikan sebab tidak bisa di-amati. Yang bisa diamati hanyalah stimulus respon. Faktor lain yang juga penting adalah faktor penguatan. Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan maka respon akan menjadi kuat. Begitupun bila penguatan dikurangi, responpun akan tetap dikuatkan. Pelopor terpenting teori ini antara lain adalah Parlov, Watson, Skinner, Hull dan Gethrie. Pengaplikasian teori belajar behaviorisme didalam instruksional Secara umum aplikasi teori behavoirisme biasanya meliputi bebrapa langkah berikut ini :1. Mementukan tujuan – tujuan instruksional 2. Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi pengetahuan awal mahasiswa. 3. Menentukan materi pelajaran 4. Memecah materi pelajaran menjadi bagian kecil–kecil (pokok bahasan, SPB, Sub topik dan sebagainya) 5. Menyajikan materi pelajaran 6. Memberikan stimulus yang mungkin berupa pertanyaan (lisan, tertulis, tes, la-tihan, tugas–tugas) 7. Mengamati dan melengkapi respon yang diberikan 8. Memberikan penguatan/reimforcement (mungkin penguatan positif atau nega-tif) 9. Memberikan stimulus baru 10. Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan 11. Memberikan penguatan dan seterusnya. B. Teori Belajar kognitivisme Menurut teori ini, balajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman, Peruba-han persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perilaku tingkah laku yang bisa diamati (bandingkan dengan teori Bahaviorisme) Asumsi dasar teori ini adalah setiap orang telah mempunyai pengalaman dan penge-tahuan di/dalam dirinya, pengalaman dan pengetahuan ini tertera dalam bentuk struk-tur kognitif. Menurut teori ini proses belajar akan berjalan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi (bersinambung) secara klop dengan struktur kognitif yang su-dah dimiliki oleh mahasiswa. Dalam perkembangannya setidak – tidaknya ada tiga teori belajar yag bertitik tolak dari teori kognitisme ini, teori perkembangan Piaget, teori kognitif Bruner dan teori bermakna Ausabel. Aplikasi teori ini dalam kegiatan instruksional Piaget : seperti teori Bruner dan ausubel, teori piaget ini dalam aplikasi praktisinya sangat mementingkan keterlibatan mahasiswa secara aktif dalam proses belajar, hanya dengan mengaktifkan mahasiswa proses asimilasi / akomudasi, pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik. Aplikasi teori ini sebagai berikut : 1. Menentukan tujuan –tujuan instruksional 2. Memilih materi palajaran 3. Menentukan topik – topik yang mungkin dipelajari secara aktif oleh mahasiswa. 4. Menentukan dan merancang KBM yang cocok 5. Mempersiapkan berbagai pertanyaan yang dapat memacu kratifitas mahasiswa untuk berdiskusi dan bertanya 6. Mengevaluasi proses dan hasil belajar. Bruner : secara umum teori ini diaplikasikan dalam PBM sebagai berikut : 1. Menentukan tujuan instruksional 2. Memilih materi palajaran 3. Menentukan topik – topik yang bisa dipelajari secara indifidu atau ke-lompok 4. Mencari contoh-contoh, tugas, ilustrasi, yang dapat digunakan 5. Mengatur topik-topik pembalajaran sedemikian rupa sehingga urutan topik itu bergerak dari yang paling konkrit ke abstrak dari sederhana ke komplek dari tahap enaktif, ekonik, sampai ke tahap sembolik dan seterusnya. 6. Mengevaluasi PBM Ausubel : secara umum teori ini diaplikasikan dalam PBM sebagai berikut : 1. Menentukan tujuan – tujuan instruksional 2. Mengukur kesiapan baik melalui tes awal interview dan lain – lain 3. Memilih materi pelajaran dalam bentuk konsep – konsep kunci. 4. Mengidentifikasikan prinsip yang harus dikuasai siswa 5. Menyajikan suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa yanag dipelajari 6. Membuat dan menggunakan ADVANCE ORGANIZER 7. Mengajar mahasiswa memahami konsep – konsep dan prinsip – prinsip yang sudah ditentukan 8. Mengevaluasi proses dan hasil belajar C. Teori Belajar Humanistik Menurut teori Humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manu-sia. PBM dianggap berhasil jika pelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain sibelajar dalam proses pembelajaran harus berusaha agar lambat laun mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik – baiknya. Menurut Krathwole dan B. Bloom ada 3 kawasan tujuan belajar yang bisa dicapai mahasiswa yang dikenal dengan kognitif, affektif, psikomotor Menurut Kolb ada 4 tahap proses balajar yaitu : 1. Pengalaman konkrit mahasiswa 2. Pengalaman aktif dab reflektif 3. Konsep tualisis berteori 4. Eksperimentasi aktif mahasiswa Honey dan Mumford membagi mahasiswa menjadi 4 macam 1. Aktifis (melibatkan diri pada pengalaman baru) 2. Reflektor (hati – hati sebelum bertindak) 3. Teoris (kecendrungan berfikir rasional) 4. Pragmatis (menaruh perhatian kepada aspek praktis) H.abernas : ada tiga tipe belajar menurut Habernas ini 1. Belajar teknis menekankan interaksi manusia dengan lingkungan 2. Belajar praktis 3. Belajar emansipatoris menekankan kepada transpormasi dan perubahan Aplikasi teori Humanistik dalam kegiatan instruksional sebagai berikut 1. Menentukan tujuan instruksional 2. Menentukan materi pelajaran 3. Mengidentifikasi entry behavionis mahasiswa 4. Mengidentifikasi topik–topik yang memungkinkan mahasiswa mempelajari se-cara aktif. 5. Mendesain wahana 6. Membimbing mahasiswa belajar aktif 7. Membimbing mahasiswa memahami hakekat makna dan pengalaman belajar mereka 8. Membimbing mahasiswa membuat konseptualisme pengalaman tersebut 9. Membimbing mahasiswa mengaplikasikan konsep baru kesituasi yang baru 10. Mengevalusi proses dan hasil belajar mahasiswa. D. Teori Belajar Sibernitik Teori Sibernitik adalah teori yang relatif baru bila dibandingkan dengan ketiga teori belajar sebelumnya, teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu informasi, Menurut teori ini adalah pengelolaan informasi. Teori ini menekankan pentingnya sistem informasi dari apa yang akan dipela-jari mahasiswa, sedangkan bagaimana PBM berlangsung sangat dipengaruhi oleh sis-tem informasi tersebut. Oleh karena itu teori ini berasumsi, bahwa tidak ada satupun jenis cara belajar yang ideal untuk segala situasi, sebab cara belajar sangat ditentukan oleh sistem informasi. Dalam bentuknya yang lebih praktis, teori ini dikembangkan oleh Landa den-gan pendekatan ALGORITMIK dab HEURISTIK serta PAST dan SCOTT dengan pembangian tipe siswa dikenal dengan tipe Wholist dan tipe Scrialist Pendekatan be-lajar “Algoritmik” menuntut mahasiswa berpikir linear, lurus menuju target tertentu seperti matematika, fisika dan lain – lain. Pendekatan Heuristik menuntut mahasiswa berfikir secara divergen, menyebar beberapa target sekaligus memahami suatu konsep yang penuh arti ganda dan penaf-siran biasanya menuntut cara berfikir Heuristik. Aplikasi teori sebernitik ini kedalam kegiatan instruksional Beberapa langkah umum yang biasa kita temui dalam implemantasi teori Sibernitik adalah sebagai berikut : 1. Menentukan tujuan – tujuan Instruksional 2. Menentukan materi pelajaran 3. Mengkaji sistem informasi yang terkandung dalam materi tersebut. 4. Menentukan pendekatan belajar yang sesuai dengan sistem informasi 5. Menyajikan materi dan membimbing mahasiswa belajar dengan pola yang sesuai dengan urutan materi pelajaran E. Ciri – Ciri Belajar Dan Pembelajaran 1. Pengaruh “Kematangan” individu terhadap proses dan hasil belajar a. Kematangan (maturity) ialah keadaan atau kondisi baik yang berkaitan dengan aspek bentuk, struktur maupun fungsi yang lengkap pada suatu organisme b. Kematangan membentuk sifat dan kekuatan dalam diri individu yang ber-sangkutan untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disebut kesiapan (readines) kesiapan artinya seseorang individu telah siap betingkah laku, baik/tingkah laku yang bersifat instingtif maupun tingkah laku yang dipelajari. c. Kematangan dapat mendukung terjadinya proses belajar yang effektif dan efesien akan tetapi kematangan dicapai tidak mesti melalui proses balajar. 2. Kondisi fisik dan mental dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar a. Diantara kondisi fisik dan mental yang mempengaruhi kegiatan belajar adalah 1. perubahan alat dria 2. kelelahan fisik (alat organisme) 3. kesehatan badan terganggu 4. fostur tubuh tidak memenuhi tuntutan tugas – tugas akademik b. Perubahan kondisi mental berkaitan dengan 1. motivasi 2. minat 3. sikap 4. kematangan meliputi intelektual, emosional, sosial 5. keseimbangan pribadi (balance personality) 6. perhatian (konsentrasi) 7. kepribadian 8. percaya diri (self confidence) 9. disiplin diri (self diciplin) 10. dorongan ingin tahu (natural curriosity) Daftar Pustaka Bel – Gredler, ME, Learning and Instruction : Theory Into Practice, Macmilan Pub-lishing Company, New York, 1986, dikutip oleh Dr. Prasetya Irawan (1995) dalam : Teori Belajar, Motivasi dan Keterampilan Mengajar Romiszowski A.J. Developing Auto Instructional Materials : From Programmed Texts, Cal and Interaktive Vedio Kogan Page, London, 1986 Suppos. P. The Place of Theory in Educational Research, dalam jurnal Educational Recearher No.3 (6) Hal 3-10-1974 E. Bell, Gredler M, Belajar dan Membelajarkan seri Pustaka Teknologi Pendidikan No.11 Universitas terbuka Rajawali Pers (1991) Jakarta Uzim. S. Winata Putra : Belajar dan pembelajaran,Modul 1-6 PGSM (Dirjen pendidi-kan dasar dan menengah proyek peningkatan Mutu Guru SLTP Setara D III 1994/95 Jakarta Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Teknologi Instruksional,Buku III-C Dep-dikbud Proyek Pengembangan Institusi Pendidikan Tinggi 1981 Jakar-ta.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons