Kamis, 27 Maret 2014

sosial kebangsaan

4 PILAR KEBANGSAAN atau 3 PILAR KEBANGSAAN Opini tentang 4 Pilar Kebangsaan Indonesia Berbicara tentang Pancasila mungkin dianggap sudah begitu klasik dan membosankan bagi sebagian besar kalangan masyarakat Indonesia. Sejak runtuhnya kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru oleh gerakan reformasi yang memuncak di pertengahan Mei 1998 lalu, Pancasila memang nyaris dilupakan dan secara sadar mulai dikubur dalam-dalam dari ingatan kita sendiri. Termasuk pada peringatan kelahirannya yang ke-68 tahun ini, pun terasa begitu biasa-biasa saja, seakan tidak ada urgensinya sama sekali untuk dirayakan atau sekedar direfleksikan dan menjadi perhatian bersama. Bila dicermati, kini muncul pula permasalahan baru tentang pengukuhan Pancasila sebagai falsafah dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Maret 2013 lalu, ketua MPR RI Taufiq Kiemas mewakili lembaga negara yang dipimpin, memperoleh gelar kehormatan doctor honoris causa (H.C) dari Universitas Trisakti atas jasanya telah melahirkan gagasan sosialisasi empat pilar kebangsaan Indonesia, yakni : 1. Pancasila, 2. Bhineka Tunggal Ika, 3. Undang Undang Dasar (UUD) 1945, dan 4. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Gagasan yang gencar disosialisasikan sejak 3 tahunan lalu oleh lembaga MPR RI tersebut dinilai sangat efektif guna menanamkan kembali nilai-nilai luhur yang perlu dijadikan acuan dan pedoman bagi setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut almarhum Pak Taufi Kemas, Empat Pilar Bangsa harus dijabarkan dan menjiwai semua peraturan perundangan, institusi pendidikan, pertahanan serta semua sendi kehidupan bernegara. Namun belakangan ini, gagasan 4 Pilar Kebangsaan ini digugat oleh sejumlah kalangan yang tidak setuju penempatan Pancasila sebagai Pilar Kebangsaan. Menurut mereka, Pancasila adalah pondasi dasar, bukan salah satu pilar dalam kehidupan kebangsaan. Selain itu, penggunaan kata Empat Pilar tidak tepat dan rentan penyimpangan anggaran APBN melalui kewenangan MPR dan pelanggaran hukum. Menyikapi sejumlah permasalahan itu, sudah selayaknya 4 Pilar Kebangsaan dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, Empat Pilar Kebangsaan itu harus dilihat sebagai pemahaman dan upaya pemimpin untuk meyakinkan masyarakat bahwa ada prinsip-prinsip yang harus dipegang teguh dalam menjalani kehidupan berbangsa dan negara. Bangsa kita sedang terkoyak, dari luar kita dijadikan sasaran penghisapan oleh kepentingan asing, sementara di dalam, kita masih terpuruk dengan benang kusut budaya korupsi anggaran negara, kerusuhan sosial dan konflik horizontal, lemahnya taraf hidup masyarakat, minimnya akses pendidikan dan kesehatan, juga belitan persoalan lainnya. Pancasila sebagai gagasan pencerah semestinya dapatlah kembali menginsprasi jiwa kita secara utuh sebagai Bangsa merdeka yang punya kemampuan untuk mewujudkan cita-cita nasional tentang Bangsa Indonesia yang berdaulat, mandiri, berkepriadian, adil dan makmur. Upaya memperkokoh pilar-pilar negara haruslah didukung aktif seluruh komponen bangsa terutama keteladanan dari para penyelenggara negara dengan memahami dan melaksanakan nilai-nilai luhur bangsa yang terangkum dalam 4 Pilar dalam segala aspek. Kita berharap para pimpinan MPR RI bisa meneruskan gagasan 4 Pilar Kebangsaan yang sudah dijalankan oleh Pak Taufiq KONTROVERSI tentang Pancasila yang diposisikan sebagai salah satu pilar kebangsaan berujung pada uji materi UU Parpol dalam sidang Mahkamah Konstitusi, Senin 17 Februari. Uji materi UU Parpol itu dimohonkan oleh Masyarakat Pengawal Pancasila Jogja, Solo dan Semarang (Joglosemar). Penyebutan Pancasila sebagai pilar pada Pasal 34 ayat (3) huruf b Undang-Undang No 2 Tahun 2011 itu menggelisahkan banyak kalangan, terutama para akademisi. Argumen yang dibangun untuk mempertahankannya dengan mengatakan keberadaan pilar kebangsaan tidak mereduksi kedudukan Pancasila sebagai dasar/ideologi negara. Jadi sama sekali tidak menyamakan kedudukan Pancasila dengan pilar-pilar lain (KR, 18/2). Pernyataan ini justru membingungkan masyarakat. Bagaimana mungkin, pilar-pilar bangunan berbangsa dan bernegara itu berbeda-beda kapasitasnya. Seyogianya dengan lapang dada, lembaga yang berwenang meninjau kembali pasal itu. Pancasila adalah suatu fundamen, di atasnya dibangun Negara Indonesia yang berdaulat. Sebagai sebuah bangunan, butuh fundamen yang kokoh dan di atasnya dipancangkan pilar-pilar sebagai tulang punggung untuk menyangga kerangka atap bangunan, sehingga pilar-pilar itu harus memiliki bentuk dan kekuatan sama. Pilar utama bangunan rumah Joglo tradisi Jawa berjumlah empat dan dinamakan saka guru. Rumah Jawa ini sarat nilai-nilai filosofis, yang membentuk struktur kosmologi. Maka struktur dan filosofi ini dapat dimanfaatkan sebagai inspirasi analogi pada bangunan kosmologi politik Negara Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila sebagai dasar dan sekaligus sebagai ideologi negara tentunya tidak dibenarkan berkedudukan sebagai pilar. Jelas, bahwa fundamen bangunan itu bukan dan berbeda dengan pilar. Pancasila adalah dasar dan ideologi negara, sementara UUD 1945 adalah dimensi normatifnya, dan NKRI adalah kesatuan geo-politik dan 'Bhinneka Tuggal Ika' semboyan kesatuan berbangsa dari keanekaan. Ketiga pilar terakhir ini memiliki kapasitas dan kekuatan sama, sementara Pancasila melebihi ketiganya. Sebagai dasar negara Pancasila adalah meja statis yang mempersatukan Bangsa Indonesia, sementara sebagai ideologi bangsa, Pancasila menjadi tuntunan dinamis, yang memandu Bangsa Indonesia menuju cita-cita sejahtera, adil dan makmur di masa depan. Panduan itu kemudian diurai menjadi '4 Pilar' yang secara utuh harus terdiri empat tiang pancang. Ketika Pancasila tidak dibenarkan berkedudukan sebagai pilar, muncullah permasalahan yang kelihatannya dilematis, karena hanya menyisakan '3 Pilar'. Lantas, nilai etika normatif apa dalam budaya Indonesia yang berskala nasional dan layak diangkat untuk melengkapi '4 Pilar' itu. Sebagai pemecahan, sebaiknya lembaga yang berwenang menugasi para akademisi dan pakar lainnya agar menggali nilai-nilai etika normatif yang berlaku dan mengakar dalam budaya dan masyarakat di Indonesia. Salah satunya yang dapat ditawarkan dalam tulisan ini adalah nilai 'gotong-royong'. Diharapkan nilai ini layak dan sepadan mendampingi UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Bahkan pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri tahun 2001-2004, nilai gotong-royong diangkat sebagai nama kabinet. Dalam kedudukan ini, filosofi gotong-royong diserap maknanya sebagai semangat kerja sama sinergitas. Sementara gotong-royong dalam kedudukannya sebagai salah satu pilar adalah tataran praksis, yang merupakan etika normatif yang menjadi tuntunan warga Negara Indonesia dalam bertindak. Dari studi-studi yang dilakukan, gotong-royong dalam berbagai jenis kegiatan dan istilahistilah lokalnya, merupakan realitas objektif yang masih berlaku dan mengakar dalam budaya- budaya dan masyarakat Indonesia. Jenis kegiatannya yang beragam mewarnai aktivitas kehidupan masyarakat, dan justru mampu menjadi pemersatu kelompok-kelompok kelas sosial dan agama. Masalah kemasyarakatan yang mereka hadapi diselesaikan dengan kerja bersama, saling membantu. Sistem gotong-royong sesungguhnya bukan kegiatan keguyuban komunitas kedesaan dan perkampungan kota semata, melainkan juga berupa kerja sama sinergitas antara unit-unit berbeda yang memiliki kepentingan sama, seperti 'Pela-Gandong' di Maluku, atau 'Desa Manca-Pat' di Jawa klasik. Maka nilai gotongroyong dapat dimaknai secara lebih luas yang meliputi kerja bersama keguyuban yang merupakan ciri khas kehidupan komunitas pedesaan dan perkampungan perkotaan dan kerja sama sinergitas patembayan antara lembaga-lembaga berbeda-beda pada urusan target pembangunan yang sama. (Ahsan Sofyan,Pemerhati Sosial tinggal di Tarakan) diadaptasi dari kompasiana...repost

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons