About

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
Berpikir POSITIF, KRITIS, KREATIF,INOVATIF, SOLUTIF...berserah diri pada ALLAH SWT.

talk n think my Blog

Kamis, 01 September 2011

Memahami dan Menyikapi Perbedaan dan Perselisihan

Memahami dan Menyikapi Perbedaan dan Perselisihan

Definisi .Ikhtilaf memiliki beberapa makna yang saling berdekatan, diantaranya; tidak sepaham atau tidak sama. Berasal dari kata khalaftuhu-mukhalafatan-wa khilaafan. Jadi ikhtilaf itu adalah perbedaan jalan, perbedaan pendapat atau perbedaan manhaj yang ditempuh oleh seseorang atau sekelompok orang dengan yang lainnya.
Macam-Macam Ikhtilaf (Perbedaan)

Ikhtilaf (perbedaan) bisa dibedakan menjadi dua ;
Pertama, ikhtilaful qulub (perbedaan dan perselisihan hati) yang termasuk kategori tafarruq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. Kedua, ikhtilaful ‘uqul wal afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan pemahaman), yang masih bisa dibagi lagi menjadi dua:

Secara umum Syaikh Dr. Ahmad Syuwaiki3 mengklasifikasikan ikhtilaf dalam dua kategori besar. Pertama: ikhtilaf yang terpuji. Ikhtilaf ini terkait dengan masalah-masalah furû’ dalam agama yang dalilnya zhanni seperti yang telah menjadi Ijmak Sahabat, ikhtilaf yang terjadi di antara mereka dan ikhtilaf yang terjadi di antara para ulama salaf. Kedua: ikhtilaf yang tercela. Ikhtilaf terjadi dalam masalah ushuluddin dan pada masalah-masalah yang qath’i dalam masalah-masalah furû’ dalam Islam serta hal-hal yang sudah dijelaskan dengan tegas dalam nash, seperti ‘ikhtilaf’ orang-orang kafir dan perpecahan mereka dalam masalah agama.
Antara Ikhtilaf (Perbedaan) dan Tafarruq (Perpecahan)

Setiap tafarruq (perpecahan) merupakan ikhtilaf (perbedaan), namun tidak setiap ikhtilaf (perbedaan) merupakan tafarruq (perpecahan). Namun setiap ikhtilaf bisa dan berpotensi untuk berubah menjadi tafarruq atau iftiraq antara lain karena:

1. Faktor pengaruh hawa nafsu, yang memunculkan misalnya ta’ashub (fanatisme) yang tercela, sikap kultus individu atau tokoh, sikap mutlak-mutlakan atau menang-menangan dalam berbeda pendapat, dan semacamnya. Dan faktor pelibatan hawa nafsu inilah secara umum yang mengubah perbedaan wacana dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah yang ditolerir menjadi perselisihan hati yang tercela.
2. Salah persepsi (salah mempersepsikan masalah, misalnya salah mempersepsikan masalah furu’ sebagai masalah ushul). Dan ini biasanya terjadi pada sebagian kalangan ummat Islam yang tidak mengakui dan tidak memiliki fiqhul ikhtilaf. Yang mereka miliki hanyalah fiqhut tafarruq wal iftiraq (fiqih perpecahan), dimana bagi mereka setiap perbedaan dan perselisihan merupakan bentuk perpecahan yang tidak mereka tolerir,
3. Tidak menjaga moralitas, akhlaq, adab dan etika dlm berbeda pendapat dan dalam menyikapi para pemilik atau pengikut madzhab dan pendapat lain.

Sebab – Sebab Terjadinya Ikhtilaf

Dapat disimpulkan dan dikelompokkan kedalam empat sebab utama:

1. Perbedaan pendapat tentang valid dan tidaknya suatu teks dalil syar’i tertentu sebagai hujjah (tentu saja ini tertuju kepada teks hadits, yang memang ada yang shahih dan ada yang dha’if, dan tidak tertuju kepada teks ayat Al-Qur’an, karena seluruh ayat Al-Qur’an disepakati valid, shahih dan bahkan mutawatir).
2. Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu. Jadi meskipun suatu dalil telah disepakati keshahihannya, namun potensi perbedaan dan perselisihan tetap saja terbuka lebar. Dan hal itu disebabkan karena adanya perbedaan dan perselisihan para ulama dalam memahami, menafsirkan dan menginterpretasikannya, juga dalam melakukan pemaduan atau pentarjihan antara dalil tersebut dan dalil-dalil lain yang terkait.
3. Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i (dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya) yang memang diperselisihkan di antara para ulama, seperti qiyas, istihsan, mashalih mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’, syar’u man qablana, dan lain-lain.
4. Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan realita kehidupan, situasi, kondisi, tempat, masyarakat, dan semacamnya. Oleh karenanya, di kalangan para ulama dikenal ungkapan bahwa, suatu fatwa tentang hukum syar’i tertentu bisa saja berubah karena berubahnya faktor zaman, tempat dan faktor manusia (masyarakat).

Bagaimana Menyikapi Ikhtilaf ?

1. Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara proporsional.
2. Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap masalah-masalah kecil seperti masalah-masalah khilafiyah
3. Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi ummat.
4. Memadukan dalam mewarisi ikhtilaf para ulama terdahulu dengan sekaligus mewarisi etika dan sikap mereka dalam ber-ikhtilaf. Sehingga dengan begitu kita bisa memiliki sikap yang tawazun (proporsional). Sementara selama ini sikap kebanyakan kaum muslimin dalam masalah-masalah khilafiyah, seringkali lebih dominan timpangnya. Karena biasanya mereka hanya mewarisi materi-materi khilafiyah para imam terdahulu, dan tidak sekaligus mewarisi cara, adab dan etika mereka dalam ber-ikhtilaf, serta dalam menyikapi para mukhalif (kelompok lain yang berbeda madzhab atau pendapat).
5. Mengikuti pendapat (ittiba’) ulama dengan mengetahui dalilnya, atau memilih pendapat yang rajih (kuat) setelah mengkaji dan membandingkan berdasarkan metodologi (manhaj) ilmiah yang diakui.
6. Untuk praktek pribadi, dan dalam masalah-masalah yang bisa bersifat personal individual, maka masing-masing berhak untuk mengikuti dan memgamalkan pendapat atau madzhab yang rajih (yang kuat) menurut pilihannya. Meskipun dalam beberapa hal dan kondisi sangat afdhal pula jika ia memilih sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath) dalam rangka menghindari ikhtilaf (sesuai dengan kaidah ”al-khuruj minal khilaf mustahabb” – keluar dari wilayah khilaf adalah sangat dianjurkan).
7. Menghindari sikap ghuluw (berlebih-lebihan) atau tatharruf (ekstrem), misalnya dengan memiliki sikap mutlak-mutlakan atau menang-menangan dalam masalah-masalah furu’ khilafiyah ijtihadiyah. Karena itu adalah sikap yang tidak logis, tidak islami, tidak syar’i
8. Menjaga agar ikhtilaf (perbedaan) dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah tetap berada di wilayah wacana pemikiran dan wawasan keilmuan, dan tidak masuk ke wilayah hati, sehingga tidak berubah mejadi perselisihan perpecahan (ikhtilafut- tafarruq), yang akan merusak ukhuwah dan melemahkan tsiqoh (rasa kepercayaan) di antara sesama kaum mukminin.

Bagi seorang Muslim mengadopsi satu hukum syariah untuk satu amal adalah suatu keniscayaan.
Islam adalah agama yang sempurna. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan baik individu, masyarakat maupun bernegara. Allah menegaskan dalam firman-Nya:
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya dibandingkan dengan Allah bagi orang-orang yang yakin? (5: 50).
Tentang ayat ini al-Hafidz Asy-Syaukani menegaskan,9 Untuk mereka yang masuk kategori ahlul yaqin, tidak ada yang lebih baik daripada hukum Allah. Namun, tidak demikian bagi orang yang bodoh dan pemuja hawa nafsu. Sebagaimana penjelasan di atas, bahwa hukum syariah yang datang di dalam al-Quran dan as-Sunnah itu, banyak persoalan yang di dalamnya mengandung beberapa makna ditinjau dari sisi bahasa maupun syariah. Karenanya, wajar jika terjadi ikhtilaf di antara kaum Muslim. Namun, ini hanya pada tataran pemikiran atau konsep. Adapun pada tataran implementasi (amal), justru menjadi keharusan dan tidak ada alternatif lain bagi seorang Muslim untuk mengadopsi (tabanni) satu hukum ketika dia harus melakukan suatu aktivitas. Sebab, seorang Muslim wajib terikat dengan hukum Allah dalam seluruh aktivitas yang di lakukan. Hukum Allah atas satu masalah bagi seorang Muslim adalah satu, tidak lebih. Karenanya, setiap Muslim harus menentukan satu hukum atas suatu masalah dan kemudian melaksanakannya. Karena itu, seorang Muslim wajib mengadopsi hukum syariah tertentu ketika melakukan aktivitas, baik ia mujtahid maupun muqallid.
Terkait dengan Khalifah, tabanni atas suatu hukum merupakan hal yang sangat urgen untuk melakukan ri’âyah asy-syu’ûn terhadap masyarakat. Dalil kebolehan Khalifah melakukan tabanni adalan Ijmak Sahabat. Khalifah hendaknya melakukan tabanni atas hukum-hukum tertentu yang sifatnya umum berlaku bagi seluruh kaum Muslim baik terkait dengan urusan pemerintahan, kekuasaan, seperti zakat, pajak, hubungan luar negeri, serta tiap hal yang menyangkut keutuhan negara maupun keutuhan pemerintahan.

1 komentar:

Ahsan Sofyan,S.E., M.Pd mengatakan...

terimakasih antum,atas pencerahannya...barakallahu lii walakum...

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons