About

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
Berpikir POSITIF, KRITIS, KREATIF,INOVATIF, SOLUTIF...berserah diri pada ALLAH SWT.

talk n think my Blog

Kamis, 01 September 2011

Perlunya UKHUWAH DALAM KEMAJEMUKAN

“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu,” (QS al-Baqarah [2]: 147).

Agama Islam adalah satu, namun interpretasi terhadap ajaran Islam itu begitu beragam. Munculnya empat arus utama pemikiran (mazhab) dalam bi¬dang fikih; Maliki, Hambali, Syafi’i, Hanafi, merupakan contoh tak terbantahkan bahwa dalam memahami ajaran Islam kaum Mus¬lim berbeda-beda. Dalam bidang teologi (ilmu kalam), apalagi dalam politik, juga terjadi hal yang serupa.

Dalam menyikapi perbedaan pemikiran, mazhab, kelompok, umat Islam terpecah pada dua titik ekstrem. Pertama, kelompok yang membenarkan semua ragam pemikiran. Kelompok ini mengibaratkan Islam sebagai pelangi. Menurut mereka, tidak seorangpun berhak mengklaim satu kelompok sesat kare¬na tidak ada seorang pun yang memiliki ke¬wenangan untuk menentukan siapa yang sesat atau tidak. Mereka mengatakan bahwa Allah-lah yang berhak menentukan hal itu, sementara manusia tidak.

Selain itu, mereka tidak mengakui adanya kebenaran mutlak. Mereka mengklaim bah¬wa kebenaran mutlak hanya ada di sisi Allah. mereka merujuk firman Allah Swt berikut ini, “Kebenaran itu adalah dari Tuhan¬mu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu,” (QS al-Baqarah [2]: 147).
Karena itu, menurut mereka, di dunia ini tidak ada kebenaran mutlak, semuanya relatif; benar dan salah tergantung dari sudut pandang yang kita gunakan. Benar bagi kelompok A belum tentu benar bagi kelom¬pok B karena disebabkan perbedaan sudut pandang. Pemahaman kelompok ini cende¬rung filosofis.

Kelompok kedua berkebalikan dengan kelompok yang pertama. Kelompok kedua meyakini bahwa kelompoknya sebagai yang paling benar. Guna membenarkan pandangan dan keyakinannya mereka mengutip ayat dan hadits yang sesuai dengan keyakinan mereka. Kelompok kedua ini memandang orang di luar kelompok mereka sebagai kelompok bid’ah, sempalan, bahkan musyrik dan kafir. Pemahaman kelompok kedua ini cenderung simplistis dan menyederhanakan masalah.

Lalu, bagaimana kita mensikapi muncul perbedaan pendapat dan aliran serta kelom¬pok di tubuh umat Islam? Lebih penting lagi, apakah perbedaan pendapat merupakan hal yang terlarang (dalam Islam)? Marilah kita telisik pemikiran intelektual asal Mesir, Muhammad Imarah, dalam bukunya Islam dan Pluralitas: Mensikapi Perbedaan dan Kemaje¬mukan dalam Bingkai Persatuan guna men¬jernih¬kan masalah ini.

Antara Ushul dan Furu’
Menurut Muhammad Imarah, perbedaan bisa menjadi hal yang diperbolehkan (halal) dan bisa juga terlarang (haram). Imarah membangun pondasi pemikirannya pada dua hal, yakni pada masalah prinsip-prinsip Islam (ushul) dan masalah-macalah cabang (furu’).

Berangkat dari hal ini, Imarah berpenda¬pat bahwa perbedaan dalam masalah ushul adalah hal yang terlarang. Menurut Imarah, menyangkut masalah ushul umat Islam hen¬dak-lah menyatukan pemahamannya pada ke¬sepakatan kaum muslim sejak dulu, dari era para sahabat dan tabi’in, sampai sekarang.

Penyimpangan dari The Basic Islamic Mindframe (ushul) tersebut tidak dapat ditole¬ran¬si. Menurut Imarah, penyimpangan yang tidak dapat ditoleransi berkenaan dengan masalah-masalah aqidah, dasar-dasar Ibadah dan dasar-dasar Mu’amalah. Masuk dalam kategori ini, misalnya, mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad Saw.

Ada pun perbedaan pendapat, pemikiran dan aliran pada aspek-aspek cabang-cabang syari’ah maka hal tersebut dibolehkan dan ditolerir oleh Islam, sepanjang masih didasar¬kan pada dalil-dalil yang kuat dan benar, serta metode pengambilan hukumnya (istinbath ad-dalil) juga telah dilakukan secara benar.

Hal-hal ini biasanya berkaitan dengan masalah wasilah (sarana), uslub (metode) dan style/gaya berbagai aliran dalam memahami dalil-dalil yang multi-interpretatif (masalah-masalah ijtihadiyyah), sehingga ada yang menggunakan qiyas (reasoning by analogy), istihsan (preference), mashalih-mursalah (utility), dan lain sebagainya.

Becermin pada Sikap Ali
Saat ini umat Islam terkotak-kotak dalam pelbagai kelompok. Di Indonesia saja, ada NU (Nahdlatul Ulama), Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad, dan kelompok-kelompok lainnya dengan ciri khas masing-masing. Per¬bedaan kelompok ini sejatinya tidak diperten¬t¬angkan, tapi disenergikan dalam mewujud¬kan kemuliaan Islam dan umatnya (izzul Islam wa al-muslimin). Dengan lain kata, plura¬litas kelompok ini hendaknya tidak menjadi tembok penghalang menggapai cita-cita tersebut.

Mufti besar Saudi Arabia pernah ditanya mengenai perbedaan berbagai jamaah di negara-negara kaum muslim. Beliau menjawab, “Keberadaan jamaah-jamaah ini adalah baik bagi kaum muslimin dan agar setiap jamah Islam seperti Jama’ah Tabligh, Ittihad Thalabil Muslimin, Al-Ikhwanul Muslimin, Asy-Syub¬banul Muslimin, Anshar as-Sunnah al-Mu¬ham-madiyyah, al-Jami’ah asy-Syar’iyyah dan lain-lain bekerjasama satu dengan lainnya dalam kebenaran yang mereka sepakati dan agar saling memaklumi akan sisi-sisi perbeda¬an diantara mereka”.

Namun, seringkali perbedaan pemikiran dan pandangan serta kelompok tersebut dijadikan ajang untuk saling memusuhi. Ke¬luar¬lah klaim bahwa kelompok sendiri sebagai kelompok yang paling islami, sesuai dengan al-Qur’an dan as-sunnah. Tidak hanya itu saja, muncul klaim bahwa orang yang diluar kelompok mereka sebagai ahlul bid’ah, bah¬kan musyrik dan kafir.
Padahal yang menjadi titik perbedaannya hanya dalam masalah furu’ (cabang), bukan ushul (akidah). Karena itu, cap ahlul bid’ah, musyrik dan kafir, tidak layak disematkan kepada kelompok tertentu sepanjang akidah mereka masih sejalan dengan akidah yang disepakati oleh para ulama salaf (terdahulu).

Mengenai perbedaan pandangan atau pe¬mi¬kiran dalam masalah furu’ (cabang) ini, sikap Ali bin Abi Thalib ra kepada lawan politiknya patut kita contoh. Meskipun per¬selisihan politik ini sampai melahirkan perang saudara yang berdarah-darah, Ali ra tidak menganggap lawan politiknya sebagai kelom¬pok orang munafik, apalagi kafir.

Suatu ketika Ali ra di tanya pandangan¬nya atau sikapnya terhadap lawan politiknya, apakah mereka yang memeranginya adalah orang kafir. Ali menjawab bahwa mereka, lawan politik Ali ra, adalah orang-orang yang lari dari kekafiran. Ia kemudian ditanya lagi apakah lawan politiknya adalah orang muna¬fik atau tidak. Ali ra menjawab, “Orang munafik adalah orang yang tidak menyebut nama Allah Swt kecuali sedikit, tidak men¬diri¬kan shalat kecuali merasa malas dan tidak berinfak kecuali merasa berat”.

Lalu Ali ra ditanya lagi menganai status hukum lawan politiknya dalam pandangan Islam. Beliau menjawab, “Mereka adalah saudara-saudara kita yang sedang mem¬beron¬tak terhadap kita, maka sebab itulah kita memeranginya”.

Lalu khalifah yang adil ini berkhutbah: “Wahai sekalian manusia! Kita telah ber¬hadapan dengan mereka, Tuhan kita satu, nabi kita satu, dan dakwah kita satu. Kita tidak pernah menganggap keimanan kita ke¬pada Allah Swt lebih baik dari mereka, serta pem¬benaran kita kepada Rasulullah Saw lebih baik dari mereka, dan mereka pun tidak beranggapan lebih baik dari kita. Yang men¬jadi masalah kita adalah satu, yaitu per¬bedan pendapat kita tentang darah Utsman, sedang kita bebas dari hal tersebut”.

Dari kisah ini kita bisa mengambil hikmah bahwa apa pun titik perbedaan kita dengan saudara seiman, selama dalam ma¬salah furu’ (cabang), cap ahlul bid’ah, musy¬rik dan kafir tidak semestinya dilontarkan kepada orang yang berbeda pandangan atau kelompok dengan kita. Setiap kelompok hendaknya menghargai dan memaklumi per¬bedaan yang ada sehingga perbedaan ter¬sebut tidak merusak jalinan ukhuwah. Wallahu a’lamu bis shawab.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons