KEARIFAN
LOKAL SUKU TIDUNG TARAKAN
Ahsan Sofyan,
S.E., M.Pd
NIM.1603055
Program Doktoral
Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Sekolah
Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung
ABSTRAK
Perlu adanya penanaman
dan rekonstruksi nilai-nilai luhur kepada siswa. Upaya yang perlu dilakukan
adalah menumbuhkan dan menerapkan kearifan lokal Tidung yang relevan untuk
membangun pendidikan karakter. Harapan penulis kurikulum muatan lokal khususnya
budaya lokal harus diterapkan di setiap masing-masing daerah dan satuan
pendidikan sebagai jati diri dari budaya bangsa Indonesia. Kearifan lokal Suku
Tidung yang telah penulis telusuri dan digali kiranya dapat dipelihara serta
dilestarikan dengan baik agar dapat berfungsi sebagai pedoman hidup manusia
Indonesia menuju bangsa yang beradab, kokoh, dan berkarakter cerdas sosial.
Setidaknya Artikel ini dapat menjadi pelajaran yang berarti khususnya bagi
penulis agar kedepannya nanti bisa lebih membuka seluas-luasnya serta mengembangkan kearifan lokal Suku Tidung agar
bisa menjadi acuan atau referensi bagi para peneliti yang ingin mengembangkan
kearifan lokal Suku Tidung sebagai bagian integral dari budaya-budaya bangsa
Indonesia, terutama dalam rangka pengembangan pendidikan karakter di Indonesia.
KataKunci:Kearifan Lokal Suku Tidung Tarakan,
Pendidikan Karakter
A. PENDAHULUAN
Tarakan menurut cerita rakyat berasal dari bahasa tidung
“Tarak” (bertemu) dan “Ngakan” (makan) yang secara harfiah dapat diartikan
“Tempat para nelayan untuk istirahat makan, bertemu serta melakukan barter
hasil tangkapan dengan nelayan lain. Selain itu Tarakan juga merupakan tempat
pertemuan arus muara Sungai Kayan, Sesayap dan Malinau.
Kerajaan Tidung atau dikenal pula
dengan nama Kerajaan Tarakan (Kalkan/Kalka) adalah kerajaan yang memerintah Suku
Tidung di Kalimantan Utara, yang berkedudukan di Pulau
Tarakan dan berakhir di Salimbatu, tana lia, Pulau
bunyu, Sesayap. Tarakan juga sebagai tempat bermuaranya tiga sungai besar
seperti sungai Sesayap/Malinau, Sungai Kayan, dan Sungai Sembakung. Pulau
Tarakan yang kecil dikelilingi laut, dalam Bahasa Tidung disebut Tengkayu yang
berarti wilayah air asin atau daerah pesisir/pantai.
Masuknya Agama dan budaya Islam
mempengaruhi tradisi budaya Tidung sejak pemerintahan Bengawan, dan belakangan
beliau juga menjadi salah satu penyebar Islam di Kalimantan Utara sehingga
dikenal sebagai Syekh Bengawan. Menurut riwayat beliau menjadi raja Tidung
pertama yang menganut agama Islam yang memerintah dari tahun 1236-1280. Sebelumnya terdapat dua kerajaan di
kawasan ini, selain Kerajaan Tidung, terdapat pula Kesultanan Bulungan yang berkedudukan di
Tanjung Palas. Berdasarkan silsilah (Genealogy)
yang ada bahwa dipesisir timur Pulau
Tarakan yaitu di kawasan Dusun Binalatung sudah ada Kerajaan Tidung
Kuno (The Ancient Kingdom of Tidung),
kira-kira pada tahun 1076-1156, kemudian berpindah ke pesisir selatan Pulau
Tarakan di kawasan Tanjung Batu pada tahun 1156-1216, lalu bergeser lagi ke
wilayah barat yaitu ke kawasan Sungai Bidang kira-kira pada tahun 1216-1394,
setelah itu berpindah lagi, yang relatif jauh dari Pulau Tarakan ke daerah
Pimping bagian barat dan kawasan Tanah Kuning, sekitar tahun 1394-1557, dibawah
pengaruh Kesultanan Sulu.
Kota
Tarakan terdiri dari 4 Kecamatan dan 20 Kelurahan, untuk Kecamatan Tarakan
Barat dan Tarakan Tengah masing-masing terdiri dari 5 Kelurahan, untuk Tarakan
Timur terdiri dari 7 Kelurahan dan 3 Kelurahan untuk Tarakan Utara.
Secara geografis Kota Tarakan
terletak pada posisi 3°14'23" -
3°26'37" Lintang Utara dan 117°30'50" - 117°40'12" Bujur Timur,
terdiri dari 2 (dua) pulau, yaitu Pulau Tarakan dan Pulau Sadau dengan luas wilayah
mencapai 657,33 km².
Adapaun batas-batas wilayah sebagai
berikut :
- Sebelah Utara : Kecamatan Pulau Bunyu
- Sebelah Timur : Laut Sulawesi
- Sebelah Selatan : Kecamatan Tanjung Palas
- Sebelah Barat : Kecamatan Sesayap dan Kecamatan Sekatak
Suhu
udara minimum Kota Tarakan rata-rata 24,1 °C dan maksimum 31,1 °C dengan
Kelembabab rata-rata 84,7%. Curah Hujan dalam 5 tahun terakhir rata-rata
sekitar 308,2 mm/bulan dan penyinaran rata-rata 49,82%, telah memberikan
julukan tersendiri bagi pulau ini sebagai daerah yang tak kenal musim.
B. Kearifan
Lokal di Tarakan
Kearifan lokal
adalah tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berintraksi dengan
lingkungan tempatnya hidup secara arif. Kearifan lokal berasal dari nenek
moyang yang menyatu dalam kehidupan manusia yang diturunkan dari generasi ke
generasi. Salasatu perilaku yang diwariskan nenek moyang dari Tarakan adalah Dialek Bahasa
Tidung yang merupakan kelompok komunitas berikut lingkungan sosial
maupun budayanya, maka dari kelompok-kelompok dimaksud tentulah memiliki
pemimpin masing-masing. Sebagaimana diriwayatkan kemudian bahwa setelah
Kerajaan Benayuk di Menjelutung runtuh maka anak keturunan beserta warga yang
selamat berpindah dan menyebar kemudian membangun pemukiman baru. Salah seorang
dari keturunan Benayuk yang bernama Kayam selaku pemimpin dari pemukiman di
Linuang Kayam (Kampung si Kayam) yang merupakan cikal bakal dari pemimpin
(raja-raja) di Pulau Mandul, Sembakung dan Lumbis.
Riwayat-riwayat
yang terdapat dikalangan suku Tidung tentang kerajaan yang pernah ada
dan dapat dikatakan yang paling tua di antara riwayat lainnya yaitu dari
Menjelutung di Sungai Sesayap
dengan rajanya yang terakhir bernama Benayuk. Beberapa sumber didapatkan
riwayat tentang masa pemerintahan Benayuk yang berlangsung sekitar 35 musim.
Perhitungan musim tersebut adalah berdasarkan hitungan hari bulan (purnama)
yang dalam semusim terdapat 12 purnama. Dari itu maka hitungan musim dapat
disamakan lebih kurang dengan tahun Hijriah (qomariah). Apabila dirangkaikan
dengan riwayat tentang beberapa tokoh pemimpin (Raja) yang dapat diketahui lama
masa pemerintahan dan keterkaitannya dengan Benayuk. Berakhirnya zaman Kerajaan Menjelutung
karena ditimpa malapetaka berupa hujan ribut dan angin topan yang sangat
dahsyat sehingga mengakibatkan perkampungan di kawasan itu runtuh dan tenggelam
kedalam air (sungai) berikut warganya. Peristiwa tersebut dikalangan suku
Tidung disebut Gasab yang kemudian menimbulkan berbagai mitos
tentang Benayuk dari Menjelutung, diperkirakan tragedi di Menjelutung tersebut
terjadi pada sekitaran awal abad XI.
Kelompok-kelompok Suku Tidung pada zaman Kerajaan Menjelutung tidak
seperti apa yang terlihat di zaman ini, sebagaimana diketahui bahwa dikalangan Suku
Tidung yang ada di Kalimantan Utara sekarang terdapat 4 (empat)
kelompok dialek bahasa Tidung, yaitu : 1).Dialek bahasa Tidung Malinau,
2). Dialek bahasa Tidung Sembakung, 3). Dialek bahas Tidung Sesayap, 4). Dialek
bahasa Tidung Tarakan, yang biasa pula disebut Tidung Tengara yang kebanyakan
bermukim di daerah air asin. Ritual dalam bentuk pementasan seni
ini dilakukan oleh masyarakat tidung. Ritual- ritual ini hampir punah dan telah
diusahakan untuk revitalisasi oleh masyarakat dengan dipimpin tetua adat,
Ritual itu antara lain:
1.
Bebalon
Bebalon
merupakan pementasan seni dalam rangka ritual pernikahan, yakni membaca
syair-syair dengan iringan rebana. Pemain laki dan perempuan duduk berselonjor
menyilangkan kaki kanan ke atas kaki kiri sambil menepuk tangan ke arah kaki
dan tangan pemain di sebelahnya. Syair- yang dibaca seringkali juga shalawat
nabi Muhammad untuk mendapatkan berkah dan syafaat di hari akhirat kelak.
2.
Bekeparat
Bekeparat
digelar umumnya untuk menunjukkan bahwa masyarakat Tarakan di Kalimantan utara
memiliki keragaman budaya yang istimewa, kekayaan yang saling menguatkan, hidup
rukun dan penuh kreativitas. Keragaman bukan menjadi sumber perpecahan tetapi
menjadi sumber kekayaan bangsa dan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan. Dalam
ritual ini digelar pentas seni seperti tari, music, suara, dan gelaran seni
rupa, seni lukis, ukir dan sebagainya. Serta dimulai dengan baca doa dan
dzikir, diakhiri dengan mujahadah dan doa bersama.
3.
“PESTA
IRAW TENGKAYU”.
Sesuai
alam lingkungannya berhubungan dengan laut, terbentuklah budaya turun-temurun
dan berkembang di kalangan masyarakat Tidung, baik yang bersifat perayaan
(pesta) maupun upacara-upacara ritual yang dilaksanakan pada waktu tertentu
sesuai dengan latar belakang kondisi sosial. Peristiwa bersifat perayaan
(pesta) dalam Bahasa Tidung disebut Iraw. Apabila perayaan ada hubungannya
dengan laut disebut Iraw Tengkayu. Ritual yang biasa dilaksanakan dalam
kegiatan tersebut oleh masyarakat Tidung adalah pakan yang berarti menghaturkan
sesaji berupa makanan dan lain-lain. Upacara pakan berupa upacara menghaturkan
sesaji dihanyutkan ke laut dengan menggunakan Padaw Tuju Dulung yang
melambangkan bahwa masyarakat Tidung selalu mengungkapan rasa syukur dan ucapan
terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas rezeki yang diperoleh dari hasil laut.
Harapan selanjutnya agar diperoleh hasil lebih baik dari sebelumnya.
Gambar
1 : Padaw
Tuju Dulung digunakan untuk melarutkan sesaji kelaut
(Pesta Rakyat Iraw Tengkayu di KotaTarakan)
Gambar 2 : Padaw
Tuju Dulung di Arak ke laut
(Pesta Rakyat
Iraw Tengkayu di KotaTarakan)
Gambar 3 dan 4: Padaw Tuju Dulung diarak Ke Laut dan
Disambut dengan Tarian
(Pesta Rakyat Iraw Tengkayu di KotaTarakan)
Haluan perahu bercabang tiga. Haluan
tengah bersusun tiga. Haluan kanan dan kiri bersusun dua. Terdapat tujuh haluan
bermaksudkan jumlah hari dalam seminggu. Kehidupan manusia berlangsung dari
hari Ahad (Minggu) dan seterusnya. Warna perahu terdiri kuning, hijau dan
merah. Haluan perahu teratas (tengah) dan perlengkapan di atas perahu berwarna
kuning. Warna kuning menurut tradisi budaya Tidung merupakan lambang sesuatu
yang ditinggikan dan dimuliakan. Hanya satu haluan berwarna kuning bermakna
hanya satu penguasa tertinggi dalam semesta yaitu Yang Maha Kuasa Allah SWT.
Acara ini adalah merupakan peristiwa yang bersejarah bagi masyarakat dan
penduduk bumi paguntaka dan acara ini biasa diperingati setiap 2 tahun sekali.
Berikut Info Lebih lanjut mengenai Iraw Tengkayu :
1)
Penurunan
padaw tuju dulung. Haluan perahu yang teratas (ditengah) dan perlengkapan
lainnya di atas perahu yang berwarna kuning, yang mana warna kuning menurut
tradisi budaya suku tidung adalah perlambang suatu kehormatan atau suatu
kehormatan atau suatu yang ditinggikan dan dimulyakan. Hanya satu penguasa
tertinggi alam semesta yaitu yang maha kuasa Allah SWT. Sang maha pencipta.
Diatas perahu terdapat lima buah tiang yang melambangkan sholat lima waktu yang
merupakan tiang agama islam. Guna tiang-tiang tersebut adalah tempat mengikat
atap dari kain berwarna kuning yang disebut PARI-PARI. Pada tiang kanan depan
terpasang kain kuning ke haluan kanan, demikian pula pada tiang kiri depan
memanjang turun ke haluan kiri. Diatas padaw tuju dulung dibuat bentuk seperti
rumah dengan atap bersusun tiga yang disebut MELIGAY yang terdapat pintu
keempat dindingnya. Didalam meligay diletakkan sesaji berupa makanan.
2)
Parade
nusantara (karnaval budaya) Parade Nusantara atau biasa disebut carnaval budaya
adalah iring-iringan atau semacam pawai untuk menghantarkan penurunan padaw
tuju dulung. Didalam parade nusantara ini diikuti oleh berbagai macam suku
bangsa sebagai wujud kebersamaan dan kekeluargaan yang erat dibumi paguntaka.
Padaw tujuh dulung (tuju haluan) adalah merupakan sebuah perahu dengan bentuk
yang mana diatas perahu tersebut ditempatkan sesaji yang dihaturkan. Bentuk
haluan perahu bercabang tiga. Haluan yang ditengah bersusun tiga, haluan yang
kanan dan kiri masing-masing bersusun dua, maka terdapat tujuh haluan yang
jumlah hari dalam seminggu dimana kehidupan manusia berlangsung dari hari dan
seterusnya. Warna perahu terdiri dari kuning, hijau dan merah.
3)
Tarakan
expo. Didalam tarakan expo akan diperkenalkan seluruh budaya yang ada di kota
Tarakan (Borneo). Beraneka ragam kreatifitas dan produk-produk yang mencerminkan
kota Tarakan (Borneo) di pamerkan di tarakan expo ini.
4)
Parade
musik dan tari. Untuk meramaikan acara iraw tengkayu, diadakan acara parade
musik dan tari, parade musik akan diisi oleh grup-grup band asal bumi paguntaka
dan luar tarakan (Borneo) untuk memperlihatkan kualitas mereka dalam bermusik.
Sedangkan parade tari akan diramaikan oleh penari-penari lokal (Kota Tarakan)
dan luar kota tarakan.
5)
Olahraga
tradisional. LOMBA SUMPIT. Sumpit adalah senjata khas suku dayak yang juga
salah satu suku asli kota tarakan, untuk melestarikan sumpit maka diadakan
lomba sumpit. Peserta tidak hanya berasal dari kota tarakan akan tetapi berasal
dari luar kota tarakan. PERAHU/KAPAL HIAS. Salah satu acara untuk meramaikan
iraw tengkayu, diadakan perahu/kapal hias.
6)
Festival
masakan laut dan bakar ikan. Dalam acara iraw tengkayu, kuliner juga tidak ikut
ketinggalan, masakan laut dan bakar ikan adalah salah satu acara yang
menyajikan selera paguntaka dalam seni masakan apalagi kota Tarakan terkenal
dengan hasil lautnya. Sehingga kota tarakan kaya akan masakan-masakan yang
berasal dari laut.
7)
Olahraga
prestasi. Untuk meramaikan acara iraw tengkayu diadakan lomba lari maraton
dengan menempuh jarak hingga 10 KM, lomba lari maraton ini nantinya akan
diikuti oleh peserta dari berbagai provinsi di indonesia hingga peserta dari
luar negeri seperti Negara tetangga kita Malaysia. Lomba ini selain meramaikan
acara iraw tengkayu juga dapat menumbuhkan juara-juara baru dalam bidang
olahraga atletik khususnya lomba lari.
C. Fungsi,
Dan Makna Kearifan Lokal Di Tarakan
Bangsa
Indonesia memiliki beraneka ragam kultur budaya dan kearifan lokal yang
beraneka ragam pula. Misalkan saja, Suku Batak kental akan keterbukaan, Jawa
identik dengan kehalusan, Sunda identik dengan kesopanan, Madura memiliki harga
diri yang tinggi, dan Bugis yang terkenal kepiawaiannya dalam mengarungi
samudera. Dalam konteks ini, masing-masing etnik memiliki keharmonisan terhadap
lingkungan alam yang ikut mengitari segala aktivitasnya. Kearifan lokal tidak
secara instan muncul dan menjadi pedoman kebijakan dalam menjalani hidup. Akan
tetapi, melalui proses panjang sehingga terbukti dan menjadi pijakan mutlak
masyarakat setempat. Dalam tataran kearifan lokal inilah, masyarakat selalu
menjaga dan melestarikan agar dapat tetap eksis dan saling pengaruh antara satu
dengan lainnya.
Hal demikian terjadi pula pada
kearifan lokal Suku Tidung. Di samping itu berfungsi sebagai bentuk penguat
jati diri kesukuan, kearifan lokal Tidung dapat digunakan sebagai filterisasi
terhadap gempuran budaya luar dan dapat juga dijadikan sebagai acuan dalam
pengembangan nilai-nilai luhur yang akan diinternalisasikan dalam pendidikan
karakter. Berdasarkan hasil analisa saya sebagai penulis, ditemukan beberapa
nilai-nilai luhur dalam kearifan lokal Tidung yang dapat ditransmisikan kepada
peserta didik dalam rangka pembentukan karakternya. Nilai-nilai itu antara
lain:
1. Menjaga
ekosistem alam. Masyarakat Suku Tidung adalah sosok masyarakat yang unik dan
senantiasa memegang teguh amanat warisan para leluhurnya tentang bagaimana
menjaga dan melestarikan ekosistem alam. Masyarakat Suku Tidung senantiasa
menyatu dengan alam, dekat dengan alam dan selalu berinteraksi dengan alam
sekitarnya. Kepedulian masyarakat Tidung dalam menjaga dan melestarikan
ekosistem alam pohon bakau terlihat jelas dalam amanat yaki yadu berikut:
“Bebilin yadu yaki, sama muyu ngusik/ngacow de upun bakau, geno baya buyag binatang tanga
maupun tad de dumud, upun bakau penyangga timuk bunsuk, bua upun bakau kalap
tenugos de uwot, upun bakau no baya buyag
kuyad bekare baya no gium buyag dan mangow”. Artinya, berpesan nenek
dan kakek, bagi anak-anak keturunan ku, jagalah dan lestarikan hutan bakau,
jangan kau ganggu hutan bakau itu, karena pohon bakau itu tempat hidupnya
binatang laut dan darat, hutan bakau sebagai penyangga banjir, buah pohon bakau
dapat menjadi obat, dan tempat hidupnya kera/monyet bekantan dan tempatnya
beradaptasi dan berkembang biak.
2. Suka
bekerja sama. Tolong-menolong atau kerja
sama merupakan bagian tak terlepaskan dan tak terpisahkan dari masyarakat Suku
Tidung. Masyarakat Tidung senantiasa membantu sesamanya dan bekerja sama dalam
segala aspek kemasyarakatan. Dalam konteks ini, bekerja sama diartikan dengan
istilah “Tenguyun”. Misalkan dalam
mencari nafkah di laut mereka saling membantu dalam membuat perahu, dayung, dan
alat tangkap ikan. Kemudian mereka dalam mencari hasil tangkapan laut dilakukan
dengan cara saling bantu membantu di laut maupun di kegiatan kemasyarakatan di
daerah daratan pesisir pantai (tengkayu).
3. Kesederhanaan
dan kemandirian. Masyarakat Tidung adalah masyarakat yang menganut pola hidup
sederhana. Kebanyakan masyarakat Tidung hidup dengan mencari nafkah di laut,
masyarakat Tidung dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka adalah dengan
“betamba” yang artinya membuat perangkap ikan atau wadah untuk menjebak ikan.
Masyarakat Tidung dalam memperoleh rejekinya di laut tidak dilakukan secara
berlebihan. Mereka berfikir tangkapan untuk hari ini hanya di ambil ala
kadarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya untuk hari ini, mereka mengambil
tangkapan ikan hanya secukupnya saja. Masyarakat Tidung sangat menjaga
akhlaknya terhadap laut, karena dari lautlah mereka bisa mengambil nikmat yang
diberikan oleh Allah SWT. Msayarakat Tidung sangat menjaga habitat ekosistem
laut yaitu sangat melarang keras merusak terumbu karang. Karena terumbu karang
adalah tempat hidupnya hewan-hewan laut.
4. Kejujuran.
Bagi masyarakat Tidung kejujuran adalah harga diri yang telah menjadi harga
mati dalam masyarakat Tidung. Dengan kejujuran masyarakat akan dihargai,
dihormati, dan dimuliakan. Oleh karena itu, masyarakat Tidung memiliki etika
yang sopan dan santun dalam bertutur kata serta menjunjung tinggi kejujuran.
Kejujuran dalam bertutur kata dan bersikap merupakan pedoman yang secara
generasi ke generasi menjadi panutan/pedoman bagi masyarakat Tidung. Bahkan,
telah menjadi pijakan hidup (way of life)
yang tercermin dari nenek moyang yang telah diterapkan oleh masyarakat Tidung
dari zaman dahulu (tempo doloe) hingga sekarang.
5. Masyarakat
Tidung sangat religius dalam hubungannya dengan eksistensi penguasa jagad raya
(Allah SWT). Masyarakat Tidung sangat percaya dan menjunjung tinggi nilai-nilai
kebenaran dan keberadaannya alam yang ghaib. Masyarakat Tidung senantiasa
bersyukur dengan cara melakukan ritual hajatan yang diistilahkan dengan “PESTA IRAW TENGKAYU” yang diartikan sebagai
luapan hati/kegembiraan dan bersyukur atas nikmat yang diberikan kepada
masyarakat Tidung yang biasanya dirayakan pesta rakyat tersebut di pesisir
pantai. Masyarakat Tidung meyakini adanya hubungan baik antara Allah SWT,
sesama manusia, maupun alam sekitarnya.
D.
PEMBAHASAN
Kearifan
lokal tercermin dalam religi, budaya, dan adat istiadat. Masyarakat melakukan
adaptasi terhadap lingkungan tempat tinggalnya dengan mengembangkan suatu
kearifan dalam wujud pengetahuanatau ide, nilai budaya, serta peralatan, yang
dipadukan dengan nilai dan norma adat dalam aktivitas mengelolah lingkungan
untuk mencukupi kebutuhan hidup. Indonesia
kaya akan budaya dan kearifan lokal masyarakat. Suku-suku di Indonesia yang
jumlahnya ribuan memiliki kearifan lokal yang menjadi ciri khas masing-masing.
Hal ini karena kondisi geografis antarwilayah yang berbeda sehingga penyesuaian
kearifan lokal terhadap alam juga berbeda. Namun, pada dasarnya kearifan lokal
di setiap wilayah sama, yaitu sebagai aturan, pengendali, rambu-rambu, dan
pedoman masyarakat dalam memperlakukan lingkungan alam sekitar. Bentuk-bentuk
kearifan lokal juga terlihat pada bangunan rumah adat, yang terlihat lebih
modern dan modis karena hasil pengembangan arsitektur Dayak dari Rumah Panjang
(Rumah Lamin) yang dihasilkan oleh Masyarakat suku Tidung yang tidak lain
merupakan suku di Tarakan Kalimantan Utara yang mempunyai kebudayaan dan model
rumah adat sendiri.
Gambar
5: Rumah Adat Baloy Tidung dibangun menghadap ke utara, sedangkan pintu
utamanya menghadap ke selatan. Rumah adat baloy terbuat dari bahan dasar kayu
ulin. Ada terdapat empat ruang utama di dalam Rumah Baloy yang biasa disebut
Ambir
1)
Alat
Kait atau Ambir Kiri sebagai tempat menerima pengaduan masalah adat maupun
perkara-perkara lainnya.
2)
Lamin
Bantong atau Ambir Tengah sebagai tempat pemutusan perkara adat hasil sidang
pemuka adat.
3)
Ulat
kemagot atau Ambir Kanan sebagai tempat istirahat maupun berdamai setelah
selesainya perkara adat.
4)
Lamin
Dalom sebagai tempat singgasana Kepala Adat Besar Dayak Tidung.
Gambar
6 : Rumah Adat Lubung Kilong. Bangunan ini adalah sebuah tempat untuk menampilkan kesenian suku Tidung,
seperti Tarian Jepen
Gambar
7 : Rumah Adat Lubung Intamu dibagian belakang rumah Lubung Kilong yaitu suatu bangunan besar sebagai
tempat acara-acara pelantikan maupun musyawarah masyarakat.
Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam
masyarakat dapat berupa nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus.
Salah satunya yaitu kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya alam khususnya
di Tarakan Kalimantan Utara. Secara
umum penduduk asli yang mendiami Kalimantan Utara terkhusus di Tarakan terdiri atas empat jenis suku bangsa,
yaitu Suku Tidung, Bulungan, Dayak dan Bugis. Keempat suku tersebut mewakili
empat kebudayaan yang berbeda, yaitu
kebudayaan pesisir, kelautan, kesultanan, dan pedalaman. Tarakan yang merupakan
pulau kecil dan sebagian besar wilayahnya merupakan wilayah pesisir, banyak
didiami oleh kaum Suku Tidung. Suku Tidung inilah yang kemudian dikenal sebagai
penduduk asli Tarakan. Suku Tidung merupakan suku bangsa yang terdapat di
Indonesia maupun Malaysia (Negeri Sabah). Suku Tidung atau Tidong (Malaysia)
sebenarnya berasal dari bahasa tideng yang artinya gunung. Kemudian seiring
dengan perkembangan zaman kata tideng berubah menjadi tidung. Suku Tidung,
kemungkinan masih berkerabat dengan Suku Dayak Murut (dayak yang ada di Sabah).
Namun Suku Tidung ini beragama Islam dan mengembangkan ajaran Islam maka Suku
Tidung tidak lagi dianggap sebagai Suku Dayak.
Islam masuk ke dalam peradaban
masyarakat Suku Tidung pada abad 14 Masehi.
Perkembang agama Islam di wilayah Kalimantan Utara dibawa oleh salah
satu utusan dari tanah suci Makkah yaitu Syarif Marzin Al-Marzaq yang membawa
kitab suci Al-Quran sebagai pedoman hidup umat Islam. Dalam masa perjalanannya
mengembangkan ajaran agama Islam ia menikah dengan seorang gadis asli
Kalimantan yang kemudian memeluk agama Islam dan mendapatkan tiga orang putra
yang bernama Syarif Pangeran, Syarif
Muda, dan Syarif Hamzah Al-Marjaq. Untuk mengembangkan dakwah Islam Syarif
Marzin Al-Marjaq melakukan perjalanan dakwah sehingga meninggalkan anak dan
istrinya. Sehingga, yang melanjutkan tugasnya mengembangkan syiar Islam di
Kalimantan Utara adalah anaknya yang bernama Syarif Hamzah Al-Marjaq.
Orientasi gaya hidup Suku Tidung
berbanding lurus dengan aneka ragam budaya yang dimilikinya. Suku Tidung yang
tinggal di pantai bekerja sebagai nelayan (betambak/bekelong) juga berdagang
karena mereka sudah membaur dengan orang-orang dari kepulauan lain, seperti
Bugis, Sulu, Bajau, dan orang-orang laut lainnya. Suku Tidung memiliki bahasa
sendiri, yaitu bahasa Tidung. Secara umum, bahasa Tidung ini dibedakan menjadi
dua dialek besar, yaitu dialek Tidung Sesayap dan dialek Tidung Sembakung.
Dialek Sesayap meliputi subdialek Sesayap, Malinau, dan Tarakan. adapun
subdialek Tarakan merupakan subdialek yang dianggap dapat menjembatani
subdialek lainnya, karena difahami oleh semua warga Tidung.
Kebudayaan masyarakat Kota Tarakan
yang diwakili oleh masyarakat Etnik Tidung memiliki ciri khas tersendiri; suatu
kebudayaan yang lahir sebagai jawaban atas proses adaptasi yang difahami oleh
masyarakat tersebut. Memiliki corak ragam budaya yang dipengaruhi oleh
lingkungan kepulauan. Sehingga memunculkan aspek-aspek tradisi lokal yang
mencerminkan aktivitas ritual yang berhubungan dengan laut. Tradisi ini
merupakan pesta adat yang dilakukan setiap tahun. Masyarakat Suku Tidung memberi
nama “PESTA IRAW TENGKAYU”, suatu pesta ritual yang dilakukan sebagai wujud
nyata tanda syukur masyarakat Suku Tidung atas hasil laut dan keselamatan
mereka dalam melakukan aktivitas sebagai nelayan. Masyarakat Suku Tidung selalu
menjaga keselarasan hubungan yang harmonis antara alam (ekosistem flora dan
fauna), manusia, dan penguasa jagad raya (Allah SWT). Masyarakat Tidung juga
memperhatikan resistensi terhadap tradisi-tradisi lama dan tetap
melestarikannya hingga sekarang. Tradisi tersebut antara lain; tradisi seni
tari “Iluk Bebalen” yang mencerminkan
musibah yang menimpa masyarakat Tidung. Seni tari untun belanai yang
mencerminkan kegembiraan para remaja dalam pesta adat perkawinan (Anonim, 2001:
9). Berdasarkan hasil pengamatan dan pengalaman yang dilakukan serta dialami
oleh penulis, diantara banyaknya kearifan lokal di Tarakan terkhusus di
Provinsi Kalimantan Utara, yang menjadi pusat perhatian saya adalah:
Era globalisasi dan reformasi telah
berdampak tergerusnya keluhuran bangsa. Tuntutan akan teknologi yang berkembang
amat pesat, menyebabkan pemerintah khususnya yang menangani soal pendidikan
harus lebih inovatif lagi dan akhirnya memunculkan argument masyarakat yang
fenomenal yaitu ganti menteri ganti kurikulum yang selalunya disesuaikan dengan
tuntutan era globalisasi. Orientasi pendidikan dikacaukan oleh prioritas
melayani persaingan global ketimbang memelihara dan melestarikan harmoni
kearifan lokal. Globalisasi dinilai telah berhasil mendekadentekstualisasikan
arah pendidikan menuju visi kapitalisme, yang memunculkan paradigm bahwa
pendidikan hanya berorientasi pasar, berlogika kuantitas hingga memunculkan
upaya privatisasi pendidikan itulah
beberapa contoh dari gejala keterpurukan hakikat pendidikan menuju hasrat
kapitalisme global.
Lembaga pendidikan formal yang
seyogyanya menjadi arena transformasi dan konservasi nilai-nilai budaya pun,
kini telah kehilangan kemurniannya. Lembaga pendidikan formal telah
terperangkap dalam kepentingan industri kapitalisme. Oleh karena itu, upaya
pemurnian yang harus dilakukan agar arah pendidikan nasional menjadi hal yang
mutlak. Konsepsi yang mengacu pada
kodrat filosofis dan historis perlu di eksplorasi demi membangun karakter
kearifan lokal bangsa. Sehingga, penguatan karakter kearifan lokal yang agamis
pada peraktik pendidikan akan berujung pada kemajuan suatu bangsa. Pengembangan
pendidikan karakter di sekolah ditempuh melalui tahap: (1) perencanaan, (2)
pelaksanaan, (3) pengkondisian, (4) penilaian. Sedangkan strategi dalam
pengembangan pendidkan karakter di sekolah merupakan satu kesatuan dari program
manajemen peningkatan mutu berbasis kepada sekolah dan terimplikasi dalam
pengembangan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan sekolah. Strategi tersebut
dapat dilakukan pada tingkatan : (1) kegiatan pembelajaran, (2) pengembangan
budaya sekolah sebagai pusat pembelajaran, (3) kegiatan ko-kurikuler dan
ekstrakurikuler, dan (4) kegiatan di rumah dan masyarakat.
Adapun
nilai-nilai karakter yang hendak dikembangkan di sekolah adalah: (1) religius,
(2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7)
mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11)
cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) komunikatif, (14) cinta damai,
(15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, (18) tanggung
jawab (Anonim: 2011: 3). Delapan belas nilai tersebut bersumber dari agama,
falsafah, dan budaya bangsa. Hal itu menjadi sebuah pegangan dalam
mengembangkan pendidikan karakter dengan memperhatikan nilai-nilai luhur agama,
falsafah, dan budaya bangsa. Nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia merupakan hal yang sangat berharga dan tak terniali harganya terutama
dalam membangun karakter bangsa (Anonim: 2011: 2-3). Dalam konteks itulah,
masyarakat adat masih tetap eksis dalam memelihara local wisdom-nya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam
pengembangan pendidikan karakter. Masih banyak masyarakat adat yang tetap
menjunjung tinggi kearifan lokalnya dan hal itu terbukti berhasil dalam
pengembangan pendidikan yang dikenal dengan pendidikan tradisi atau pendidikan
kebudayaan. Salah satu masyarakat adat yang dimaksud adalah Suku Tidung yang
berada di Kota Tarakan wilayah Kalimantan Utara.
E.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Masyarakat Suku Tidung adalah sekelompok
masyarakat yang memiliki ciri khas yang unik dan berbeda dengan suku-suku
lainnya yang berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Masyarakat Tidung merupakan masyarakat yang patuh serta taat dalam melaksanakan
amanat para leluhurnya, aktivitas keseharian mereka sangat kental dengan
adat-istiadat yang memerintahkan mereka untuk selalu senantiasa menjaga dan
memelihara lingkungan alam sekitarnya (ekosisitem alam) dan tidak
mengeksploitasi dan merusaknya. Masyarakat Tidung juga memiliki kesederhanaan
dalam hal mencari penghidupan, dan suka tolong-menolong (tenguyun) antara sesama dan senantiasa bertutur kata yang baik dan
santun serta berkata jujur dalam iklim ekologis kemasyarakatannya. Masyarakat
Tidung juga sangat meyakini eksistensi Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu,
masyarakat Tidung sangat memegang teguh agama yang dianutnya yaitu Agama Islam
yang secara turun temurun menjadi landasan bagi masyarakat Tidung.
Akhirnya, dipenutup penulisan ini
penulis merekomendasikan kepada seluruh masyarakat Indonesia secara umum dan
khususnya masyarakat Suku Tidung Tarakan untuk dapat kembali kepada jati diri
mereka melalui budaya dan kearifan lokal yang sekarang telah terkikis oleh
perkembangan zaman. Perlu adanya penanaman dan rekonstruksi nilai-nilai luhur
mereka sendiri. Oleh karena itu, upaya yang perlu dilakukan adalah menumbuhkan
dan menerapkan kearifan lokal Tidung yang relevan untuk membangun pendidikan
karakter. Dan penulis berharap kurikulum muatan lokal khususnya budaya lokal Suku
Tidung dapat diterapkan di setiap masing-masing daerah dan satuan pendidikan
sebagai jati diri dari budaya bangsa Indonesia. Semoga kearifan lokal Tidung
yang telah ditelusuri, digali, dapat dipelihara dan dilestarikan dengan baik
dan nantinya dapat berfungsi sebagai pedoman hidup manusia Indonesia menuju
bangsa yang berperadaban, kokoh, dan berkarakter cerdas. Tulisan ini tentunya
masih jauh dari sempurna untuk dapat menggambarkan kearifan lokal Suku Tidung
yang seutuhnya. Sebenarnya masih banyak nilai-nilai luhur yang dapat ditelusuri
dan digali dari kearifan lokal Suku
Tidung. Namun, tulisan ini setidaknya dapat menjadi pelajaran yang berarti
khususnya bagi penulis agar kedepannya nanti bisa lebih mengesplor dan mengembangkan
kearifan lokal Suku Tidung dan pada umumnya bisa menjadi acuan refrensi bagi
para peneliti yang ingin mengembangkan kearifan lokal Suku Tidung sebagai
bagian integral dari budaya dan kearifan lokal bangsa Indonesia, terutama dalam
pengembangan pendidikan karakter di Indonesiaalam sekitarnya.
F. DAFTAR PUSTAKA
Abudin
Nata. 2001. Peta Keragaman Pemikiran Islam
Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Andi M. Akhmar dan Syarifuddin, 2007.Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan,PPLH Regional
Sulawesi, Maluku dan Papua, Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI Masagena Press, Makasar.
Ayatrohaedi, 1986. Kepribadian
Budaya Bangsa (local Genius), Pustaka Jaya,
Jakarta.
Aziz
Safa. et. al., 2011. Restorasi Pendidikan Indonesia.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Anonim.
2001. Tarakan Kota Tengkayu.
Anonim.
2010. Profil Seni dan Budaya Kota Tarakan.
John M. Echols dan Hassan Syadily.(2005)
Kamus Inggris Indonesia Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Nurla
Isna Aunillah. 2011. Panduan Menerapkan Pendidikan
Karakter di Sekolah. Jogjakarta:
Laksana.
Nurul
Zuriah. 2007. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti
dalam Perspektif Perubahan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Prayitno
dan Belferik Manullang. 2011. Pendidikan Karakter
dalam Pembangunan Bangsa.
Jakarta: Gramedia.
Partanto.
1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola.
Sartini, Agustus 2004.Jurnal Filsafat,Jilid 37, Nomor 2. Menggali
Kearifan Lokal Nusantara,sebuah
Kajian Pilsafati.Fakultas Pilsafat UGM
Waskito, 2012.
Kamus Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta:KawahMedia
Sony, Keraf (2002).dalam
Y, Bambang (2013).Membangun kesadaran Warga Negara dalam Pelestarian Lingkungan. Dee publish.p.183
Suhartini, Kajian
Kearifan Lokal Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan
MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009
0 komentar:
Posting Komentar