Selasa, 21 Februari 2017

TEORI SOSIAL BUDAYA DAN HUMANIORA

LITERARY THEORY & CRITICAL TEXT ANALYSIS MAKALAH Diajukan Untuk Memenuhi Salasatu Tugas Mata Kuliah Teori Sosial, Budaya Dan Humaniora Dosen Pengampu : Prof. Dr. Helius Sjamsudin, M.A Oleh : Ahsan Sofyan, S.E., M.Pd NIM : 1603055 PROGRAM DOKTORAL PRODI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2016 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia,masyarakat dan kebudayaan dalam arti yang utuh merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, manusia merupakan mahluk yang mempunyai akal, jasmani dan rohani. Melalui akalnya manusia dituntut berpikir menggunakan akalnya untuk berkarya menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Sebuah karya yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia adalah seni karena seni merupakan ekspresi manusia terhadap sesuatu, apabila kita mempelajari the humanities maka kita akan menjadi manusia yang berbudaya, dan halus. Sedangkan sastra berasal dari kata castra artinya tulisan. Dari makna asalnya dulu, sastra meliputi segala bentuk dan macam tulisan yang ditulis oleh manusia. Seperti catatan ilmu pengetahuan, kitab-kitab suci, surat-surat, undang-undang, dan sebagainya. Pemahaman dalam menikmati karya sastra harus didukung pula pemahaman tentang teori sastra yang menjelaskan kepada kita tentang konsep sastra sebagai salah satu disiplin ilmu Humaniora yang akan mengantarkan kita ke arah pemahaman dan penikmatan fenomena kehidupan manusia yang tertuang di dalam teori sastra. Sastra lebih mudah untuk berkomunikasi, karena pada hakekatnya karya sastra merupakan penjabaran abstraksi. Hal ini memunculkan berbagai fenomena dikalangan pakar-pakar yang kritis tentang teori sastra itu sendiri. Istilah ”kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani yaitu krites yang berarti ”hakim”. Krites sendiri berasal dari krinein ”menghakimi”; kriterion yang berarti ”dasar penghakiman” dan kritikos berarti ”hakim kasustraan” (Baribin, 1993). Pradotokusumo (2005) menguraikan bahwa kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra sebagai karya seni. Sementara Abrams “Pengkajian sastra” (2005) mendeskripsikan bahwa kritik sastra merupakan cabang ilmu yang berkaitan dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian dari karya sastra itu. Perkataan kritik dalam artinya yang tajam adalah penghakiman, meskipun kata itu dipergunakan dalam pengertian yang paling luas. Karena itu kritikus sastra pertama kali dipandang sebagai seorang ahli yang memiliki suatu kepandaian khusus dan pendidikan untuk mengerjakan suatu karya seni sastra. Pekerjaan penulis tersebut memeriksa kebaikan-kebaikan dan cacat-cacatnya dan menyatakan pendapatnya tentang hal itu (Pradopo, 1997). B. Target pembahasan makalah : 1. Untuk mengetahui siapa saja tokoh-tokoh Analisis teks kritis dan bagaimana pandangan-pandangannya terhadap teori sastra. 2. Untuk menjelaskan bagaimana menganalisis teks secara kritis terhadap teori sastra berdasarkan konteks sosial. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Teori Sastra Teori sastra, yaitu cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang asas-asas, hukum-hukum, prinsip dasar sastra, seperti struktur, sifat-sifat, jenis-jenis, serta sistem sastra yang dimaknai sebagai asas-asas dan prinsip-prinsip dasar mengenai sastra dan kesusastraan. Dalam ilmu Filologi, yaitu cabang ilmu sastra yang meneliti segi kebudayaan untuk mengenal tata nilai, sikap hidup, dan semacamnya dari masyarakat yang memiliki karya sastra. Teori sastra umumnya berupaya menjelaskan kepada pembaca perihal karya sastra sebagai karya seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Yunus:1990). Karya sastra merupakan ekpresi jiwa dan batin penciptanya (Sastrowardoyo:1988). Karya itu muncul dalam bentuk fisik (bahasa) yang khas. Kekhasan bahasa itu menunjukkan bahwa karya sastra bukanlah komunikasi biasa, melainkan komunikasi yang unik dan dapat menimbulkan multi makna dan penafsiran (A.Teeuw: 1984). Oleh karena itu diperlukan seperangkat teori keilmuan yang mengkaji, membahas, memperkatakan, dan menjelaskan perihal apa, mengapa, dan bagaimana karya sastra itu. Jika disiasati dalam pembelajaran bahasa Indonesia, khsusunya sastra, teori yang paling menonjol yang dimanfaatkan adalah teori structural. Teori ini melihat sastra sebagai suatu subjek yang otonom yang terdiri dari dua unsur penting yaitu unsur dari luar dan dari dalam. Unsur itulah yang disebut unsur ektrinsik dan unsur intrinsik (Esten:1988). Hal itu tertera di dalam dokumen kurikulum sekolah 1975, 1984, 1987,kurikulum 1994, dan standar isi 2006. Jadi, pada dasarnya teori strukturallah yang mewarnai teori sastra yang digunakan untuk pembelajaran di sekolah. Selain teori struktural, ada sejumlah teori yang ditawarkan oleh para dosen di LPTK, khususnya bahasa dan sastra Indonesia. Teori-teori itu antara lain sosiologi sastra, resepsi sastra, dan psikologi sastra. Teori sosiologi sastra menjelaskan bahwa karya sastra berasal dari kenyataan-kenyataan sosial yang ada di tengah masyarakat. Kenyataan-kenyataan itu merupakan realitas objektif menjadi tesis dari sebuah karya sastra yang melahirkan keinginan, harapan, dan cita-cita kemudian menjadi realitas imajinatif yang dikenal dengan antitesis. Dari tesis dan antitesis itu lahirlah karya sastra sebagai sintesis. Jadi karya sastra itu dibangun dari realitas objektif dan realitas imajinatif. Teori resepsi sastra berpandangan bahwa makna karya sastra ditentukan oleh pembacanya, Pembaca memiliki kebebasan untuk memberikan makna atau arti sebuah karya sastra. Setiap orang (pembaca) dapat memberikan makna, arti, dan respon terhadap karya sastra yang dibaca atau dinikmatinya. Makna dan arti karya sastra itu dikaitkan dengan pengalaman batin pembaca, pengalaman hidup pembaca, dari situlah makna dibangun. Dengan demikian terjadilah keberanekaragaman makna dari setiap karya sastra. Teori ini dipopulerkan di Indonesia oleh Prof. Umar Yunus, guru besar sastra Melayu Universitas Kebangsaan Malaysia tahun 80-an. Prof. Rizanur Gani (Guru Besar IKIP/UNP Padang) mengaplikasikan teori itu dalam bukunya “Pembelajaran Sastra, Respon dan Analisis”. Teori psikologi sastra berupaya menjelaskan perkembangan psikologis tokoh atau pelaku-pelaku dalam karya sastra. Selain itu juga berupaya menjelaskan hubungan penulisnya secara psikologis dengan karyanya. Hal itu juga ditawarkan oleh para pakar perguruan tinggi. Jadi, teori-teori sastra tersebut pada dasarnya adalah untuk membantu pembaca mengenal, memahami, dan mengapresiasi karya sastra. Dengan teori itu pembaca akan terbantu menikmati karya-karya sastra yang dibacanya. Karya sastra pada dasarnya adalah sebagai alat komunikasi antara sastrawan dan masyarakat pembacanya. Karya sastra selalu berisi pemikiran, gagasan, kisahan, dan amanah yang dikomunikasikan kepada pembaca agar pembaca mampu mengapresiasikannya. Pengetahuan tentang pengertian sastra belum lengkap bila belum tahu manfaatnya. Horatius mengatakan bahwa manfaat sastra itu berguna dan menyenangkan. Secara lebih jelas dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Karya sastra dapat membawa pembaca terhibur melalui berbagai kisahan yang disajikan pengarang mengenai kehidupan yang ditampilkan. Pembaca akan memperoleh pengalaman batin dari berbagai tafsiran terhadap kisah yang disajikan. 2. Karya sastra dapat memperkaya jiwa/emosi pembacanya melalui pengalaman hidup para tokoh dalam karya. 3. Karya sastra dapat memperkaya pengetahuan intelektual pembaca dari gagasan, pemikiran, cita-cita, serta kehidupan masyarakat yang digambarkan dalam karya. 4. Karya sastra mengandung unsur pendidikan. Di dalam karya sastra terdapat nilai-nilai tradisi budaya bangsa dari generasi ke generasi. Karya sastra dapat digunakan untuk menjadi sarana penyampaian ajaran-ajaran yang bermanfaat bagi pembacanya. 5. Karya sastra dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan atau penelitian tentang keadaan sosial budaya masyarakat yang digambarkan dalam karya sastra tersebut dalam waktu tertentu. B. Pengertian Analisis Teks Kritis Analisis adalah aktivitas yang memuat sejumlah kegiatan seperti mengurai, membedakan, memilah sesuatu untuk digolongkan dan dikelompokkan kembali menurut kriteria tertentu kemudian dicari kaitannya dan ditafsirkan maknanya. Dalam pengertian yang lain, analisis adalah sikap atau perhatian terhadap sesuatu (benda, fakta, fenomena) sampai mampu menguraikan menjadi bagian-bagian, serta mengenal kaitan antarbagian tersebut dalam keseluruhan. Analisis dapat juga diartikan sebagai kemampuan memecahkan atau menguraikan suatu materi atau informasi menjadi komponen-komponen yang lebih kecil sehingga lebih mudah dipahami. Artinya dapat disimpulkan bahwa analisis adalah sekumpulan aktivitas dan proses. Salah satu bentuk analisis adalah merangkum sejumlah besar data yang masih mentah menjadi informasi yang dapat di interpretasikan. Semua bentuk analisis berusaha menggambarkan pola-pola secara konsisten dalam data sehingga hasilnya dapat dipelajari dan diterjemahkan dengan cara yang singkat dan penuh arti. Analisis wacana Kritis (AWK) adalah analisis bahasa dalam penggunaannya dengan menggunakan bahasa kritis. Analisis ini dipandang sebagai oposisi terhadap analisis wacana deskriptif yang memandang wacana sebagai fenomena teks bahasa semata, karena analisis jenis ini selain berupaya memperoleh gambaran tentang aspek kebahasaan, juga menghubungkannya dengan konteks, baik itu konteks sosial, kultural, ideologi dan domain-domain kekuasaan yang menggunakan bahasa sebagai alatnya. Dalam Analisis wacana kritis ini terdapat tokoh-tokoh yang memiliki sudut pandang dan cara analisis yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing pandangan tersebut hanya ditujukan pada satu pokok permasalahan yaitu Analisis wacana Kritis (Critical Discourse Analysis). Dari sudut pandang para tokoh Analisis Wacana Kritis, terdapat pandangan bahwa wacana adalah alat bagi kepentingan kekuasaan, hegemoni, dominasi budaya dan ilmu pengetahuan. Untuk itu, dalam menganalisis wacana juga harus memperhatikan masalah ideologi dan sosio kultural yang melatarbelakangi penulisan suatu wacana. Terdapat banyak tokoh AWK diantaranya adalah : 1. Michel Foucault. Lahir di Poitiers Perancis, tahun 1926. Bidang ilmu yang digelutinya : filsafat, sejarah, psikologi dan psikopatologi. Buku-buku hasil karyanya antara lain : Penyakit Mental dan Kepribadian, Sejarah Kegilaan, The Birth of The Clinic, Archeology of Human Sciences, Disciplines and Punish dan trilogi The History of Sexuality. Karier : Sebagai staf pengajar pada Universitas Uppsala (Swedia) untuk bidang sastra dan kebudayaan Perancis, Dosen di berbagai Universitas di Perancis, dan pendiri Universitas Paris Vincenes. Meninggal dunia dalam usia 57 tahun pada tahun 1984. Inti Pemikiran Foucault : a) Wacana,menurut Foucault Wacana bukan hanya sebagai rangkaian kata atau proposisi dalam teks, melainkan sesuatu yang memproduksi sesuatu yang lain. Sehingga dalam menganalisis wacana hendaknya memperimbangkan peristiwa bahasa dengan melihat bahasa sebagai dua segi yaitu segi arti dan referensi. Wacana merupakan alat bagi kepentingan kekuasaan, hegemoni, dominasi budaya dan ilmu pengetahuan. Dalam masyarakat, ada wacana yang dominan dan ada wacana yang terpinggirkan. Wacana yang dominan adalah wacana yang dipilih dan didukung oleh kekuasaan, sedangkan wacana lainnya yang tidak didukung akan terpinggirkan (marginalized) dan terpendam (submerged). b) Discontinuitas, Foucault menolak teori mengenai sejarah yang berjalan linier dan kontinyu “contonuous history”,karena itu dia mengajukan konsep discontinuitas sejarah. Foucault lebih tertarik pada kejadian biasa atau peristiwa kecil yang diabaikan oleh ahli sejarah, daripada analisis sejarah tradisional yang cenderung mempertanyakan strata dan peristiwa mana yang harus diisolasi dari yang lain, jenis hubungan yang harus dikonstruksi serta kriteria periodisasi. Biasanya analisis tradisional hanya menyoroti sejarah “orang-orang besar.” c) Kuasa dan Pengetahuan, Menurut Foucault, kekuasaan dan pengetahuan adalah dua hal yang selalu berkaitan. Menurutnya, kekuasaan selalu terakumulasi melalui pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa.Konsep ini membawa konsekuensi untuk mengetahui bahwa untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Foucault meyakini bahwa kuasa tidak bekerja melalui represi, tetapi melalui normalisasi dan regulasi. Kuasa tidak bekerja secara negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan produktif. d) Episteme, Foucault membedakan tiga jaman episteme yaitu : Abad Renaisan yang menekankan pada resemblance (kemiripan), Abad Klasik yang menekankan pada representation (representasi) dan Abad Modern yang menekankan pada signification (signifikasi) atau pemaknaan. 2. Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress, dan Tony Trew (Fowler dkk) Fowler, Hodge, Kress dan Trew adalah sekelompok pengajar di Universitas Eart Anglia (aliran Linguistik Eropa Kontinental). Karya mereka adalah sebuah buku yang berjudul Language and Central (1979) dengan pendekatan Critical Linguistic yang memandang bahwa bahasa dikenal sebagai praktik sosial. Pendekatan ini dikembangkan dari teori linguistik para peneliti yang melihat bagaimana tata bahasa (grammar) tertentu menjadikan kata tertentu (diksi) membawa implikasi dan ideologi tertentu (Darma). Dalam membangun model analisisinya, mereka mendasarkan pada penjelasan Halliday mengenai struktur dan fungsi bahasa yang menjadi struktur tata bahasa. Praktik penggunaan tata bahasa, maka kosa kata merupakan pilihan kata (diksi) untuk mengetahui praktik ideologi. 3. Theo Van Leeuwen Theo Van Leeuwen memperkenalkan model analisis wacana untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarginalisasikan posisinya dalam suatu wacana. Kelompok dominan lebih memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa dan pemakaiannya, sementara kelompok lain yang posisinya rendah cenderung untuk terus-menerus menjadi obyek pemaknaan dan digambarkan secara buruk. Ada dua pusat perhatian dalam analisis Van leeuwen, yaitu : a. Proses pengeluaran (eksklusi) apakah dalam suatu teks berita ada aktor atau kelompok yang dikeluarkan dari pemberitaan, dan strategi wacana apa yang dipakai untuk itu. b. Proses pemasukan (inklusi) yaitu proses dimana suatu pihak atau kelompok ditampilkan lewat pemberitaan. 4. Sara Mills Sara Mills menjadikan teori wacana Foucault sebagai ground teori untuk analisis wacana kritis. Konsep dasar pemikiran Mills lebih melihat pada bagaimana aktor ditampilkan dalam teks baik dia berperan sebagai subyek maupun obyek. Ada dua konsep dasar yang diperhatikan yaitu posisi Subyek-Obyek, menempatkan representasi sebagai bagian terpenting. Bagaimana seseorang, kelompok, pihak, gagasan dan peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam wacana dan memengaruhi makna khalayak. Penekanannya adalah bagaimana posisi dari aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa ditempatkan dalam teks. Selain posisi aktor dalam teks, Sara Mills juga memusatkan perhatian pada bagaimana pembaca dan penulis bisa ditampilkan. Posisi pembaca memengaruhi bagaimana seharusnya teks itu dipahami dan bagaimana aktor sosial ditempatkan. Penceritaan dan posisi ini menjadikan satu pihaklegitimate dan pihak lain illegitimate. Karena Sara Mills adalah seorang feminist, maka aktor yang sering dia tampilkan dalam karyanya adalah perempuan. 5. Teun A. Van Dijk Analisis Wakana Kritis Modern van Dijk dikenal dengan model “kognisi sosial” yaitu medel analisis yang tidak hanya mendasarkan pada analisis teks semata, tetapi juga proses produksi wacana tersebut yang dinamakan kognisi sosial. Dijk berusaha untuk menyambungkan wacana dengan konteks sosialnya. Dalam hal ini konteks sosial sebagai elemen besar struktur sosial (stuktur makro) dan elemen wacana seperti gaya bahasa, kalimat dan lain-lain (struktur mikro). Wacana menurut Van Dijk memiliki tiga dimensi : teks, kognisi sosial dan konteks. a. Dalam teks (stuktur mikro)Van Dijk berusaha meneliti dan mamaknai bagaimana struktur teks dan strategi wacana secara kebahasaan (bentuk kalimat, pilihan kata, metafora yang dipakai) b. Pada level kognisi sosial dipelajari bagaimana proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan. c. Pada level konteks sosial (struktur makro) mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah 6. Norman Fairclough Analisis Wacana Kritis Model Fairclough disebut dengan model perubahan sosial (social change), yaitu mengitegrasikan secara bersama-sama analisis wacana yang didasarkan pada linguistik, pemahaman sosial politik terhadap perubahan sosial. Menurut Fairclough bahasa sebagai praktik sosial mengandung implikasi bahwa : 1. Wacana adalah bentuk dari tindakan, seseorang menggunakan bahasa sebagai tindakan pada dunia dan khususnya sebagai bentuk representasi ketika melihat realita. 2. Adanya hubungan timbal balik antara wacana dan struktur sosial , kelas, dan relasi sosial lain yang dihubungkan dengan relasi spesifik dan institusi tertentu seperti pada buku, pendidikan, sosial dan klasifikasi. Fairclough membagi wacana dalam tiga dimensi yaitu teks, discourse practice, dan Sociocultural Practice . a. Teks dianalisis secara linguistik, dengan melihat kosa kata, semantik dan tata kalimat termasuk keherensi dan kohesivitas yang bertujuan untuk melihat elemen-elemen idesional, relasi dan identitas suatu wacana. b. Discourse practice berhubungan dengan bagaimana proses produksi dan konsumsi teks. c. Sociocultural Practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks seperti konteks situasi, konteks dan praktik institusi dari media dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya politik tertentu. C. Bahasa, Teks, dan Konteks Sosial dalam Analisis Wacana Kritis 1. Bahasa Bahasa sebagai Semiotik Sosial salah satu makna dari sejumlah sistem makna, seperti tradisi, mata pencaharian, dan sistem sopan santun, secara bersama-sama membentuk budaya manusia. Dalam proses sosial ini, konstruk realitas tidak dapat dipisahkan dari konstruk sistem semantis, di tempat realitas itu dikerjakan. Bahasa tidak berisi kata-kata, klausa-klausa atau kalimat-kalimat, tetapi bahasa berisi teks atau wacana, yakni pertukaran makna. Dalam konteks interpersonal, konteks tempat makna itu dipertahankan, sama sekali bukan tanpa nilai sosial. Melalui tindakan makna sehari-hari, masyarakat memerankan struktur sosial, menegaskan status dan peran yang dimilikinya, serta menetapkan dan mendefinisikan sistem nilai dan pengetahuan. 2. Teks Teks berkaitan dengan apa yang secara aktual dilakukan, dimaknai, dan dikatakan oleh masyarakat dalam situasi yang nyata. Halliday (1978:40) menyatakan bahwa teks adalah suatu pilihan semantis data konteks sosial, yaitu suatu cara pengungkapan makna melalui bahasa lisan atau tulis. Semua bahasa hidup yang mengambil bagian tertentu dalam konteks situasi dapat disebut teks. Dalam hal ini ada empat catatan mengenai teks yang perlu dikemukakan sebagai berikut: 1). Teks pada hakikatnya adalah sebuah unit semantik. 2). Teks dapat memproyeksikan makna pada level yang lebih tinggi. 3) . Teks pada hakikatnya sebuah proses sosiosemantik. 4). Situasi merupakan faktor penentu teks. 3. Konteks Situasi, Konteks situasi, Menurut Halliday menyatakan bahwa situasi merupakan lingkungan tempat teks datang pada kehidupan. Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya diperlukan pemahaman terhadap konteks situasi dan konteks budaya. Dalam pandangan Halliday, konteks situasi terdiri dari tiga unsur, yaitu medan wacana, pelibat wacana, dan sarana wacana. Jones memandang medan wacana sebagai konteks situasi yang mengacu pada aktivitas sosial yang sedang terjadi serta latar institusional tempat satuan-satuan bahan itu muncul. Dalam medan wacana terdapat tiga hal yang perlu diungkap, yaitu ranah pengalaman, tujuan jangka pendek, dan tujuan jangka panjang. Jones melihat bahwa pelibatan wacana sebagai konteks situasi yang mengacu pada hakikat hubungan timbal balik antarpartisipan termasuk pemahaman dan statusnya dalam konteks sosial dan linguistik. Ada tiga hal yang perlu diungkap dalam pelibat wacana, yaitu peran agen atau masyarakat, status sosial, dan jarak sosial. Ada tiga wacana tentang realitas sosial, yaitu: 1). Wacana adalah bagian dari aktivitas sosial. 2). Representasi, yaitu suatu proses dari praktik-praktik sosial. 3). Wacana menggambarkan bagaimana sesuatu terjadi dalam identitas-identitas konstitusi. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa : Tokoh-tokoh Analisis Wacana yaitu Michel Foucault, Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress, dan Tony Trew, Theo Van Leeuwen, Sara Mills, Teun A. Van Dijk, dan Norman Fairclough. Masing-masing dari mereka memiliki cara pendekatan tersendiri dalam menganalisis suatu wacana. Terdapat empat tokoh yang memiliki pandangan dan pendekatan yang sama yaitu Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress, dan Tony Trew (Fowler dkk). Teks atau wacana sifatnya sangat kompleks, dan karena struktur ideologis dapat dinyatakan dalam berbagai cara, sangat berguna untuk memiliki metode praktis ‘heuristic’ untuk menemukan ideologi dalam teks dan pembicaraan. Setelah diketahui ide dasarnya, maka teks dapat dianalisis melalui : arti (konten ideologis), struktur proposisional, struktur formal, struktur kalimat, retotika, argumentasi, aksi dan reaksi. Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya diperlukan pemahaman terhadap konteks situasi dan konteks budaya. Dalam pandangan Halliday, konteks situasi terdiri dari tiga unsur, yaitu medan wacana, pelibat wacana, dan sarana wacana. B. Saran Saya menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya. Untuk itu masukan-masukan dan kritik yang konstruktif sangat saya perlukan sebagai bahan perbaikan dan penyempurnaan ke depan. Namun demikian, Saya sangat mengharapkan bahwa makalah ini nantinya bermanfaat bagi para pembacanya. DAFTAR PUSTAKA Badara, Aris. 2012. Analisis wacana Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Darma, Yoce, A. 2014. Analisis Wacana Kritis. Bandung : PT. Refika Aditama. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Horkheimer, M. Critical Theory (New York: Seabury Press, 1982) http://soddis.blogspot.co.id/2015/03/teori-dan-apresiasi-sastra-dalam.html Lubis, Mochtar. 1997. Sastra dan Tekniknya (hal.87-92). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Luxemburg, Jan Van, dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia. Pradopo, Joko Rachmat. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media. Pusat Bahasa Depatemen Pendidikan Nasional. 2000. Buku Praktis Bahasa Indonesia: Jakarta: Pusat Bahasa.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons