About

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
Berpikir POSITIF, KRITIS, KREATIF,INOVATIF, SOLUTIF...berserah diri pada ALLAH SWT.

talk n think my Blog

Sabtu, 27 Agustus 2011

Kecerdasan Spiritual Menentukan Jati Diri

“Bangun Silaturrahim yang Berkualitas”

Setelah sebulan lamanya umat Islam menjalankan ibadah puasa, beberapa hari lagi kaum Muslimin akan merayakan ‘kemenangan’, yakni Hari Raya Idul Fitri. Bagaimana sebaiknya umat Islam memaknai dan menyikapi hari mulia tersebut agar tidak sia-sia dan terkesan simbolik? Apa yang harus dilakukan umat beragama agar momentum lebaran ini dapat menjadi pintu masuk untuk membangun perdamaian dan menjauhkan dari segala tindak kekerasan?
Membahas masalah tersebut, tim At-Tanwir mewawancarai intelektual dan Katib Syuriah PBNU, Prof Dr Said Aqil Siradj. Petikannya:
Hari Raya Idul Fitri setiap tahun kita rayakan. Bagaimana sebaiknya umat Islam memaknai dan menyikapinya?
Pemaknaan yang paling tepat adalah ‘silaturrahim,’ yakni memperkuat tali persaudaraan antar sesama umat Islam, juga umat lainnya. Umat Islam minimal 5 kali menjaga silaturrahim dengan Allah, melalui shalat. Dan melalui shalat pula (shalat berjamaah), minimal 5 kali umat Islam menjaga dan memperkuat tali persaudaraan sesama kaum Muslim. Al-Quran menjelaskan dalam Surat Ar-Ra’d ayat 26, “Orang-orang yang mau menghubungkan tali silaturrahim sesuai perintah Allah, dan takut kepada Allah dilandasi rasa keimanan.” Jadi menyambung tali silaturrahim itu jelas ajarannya.
Persoalannya, silaturrahim yang seperti apa? Apakah hanya sebatas saling bertemu?
Bukan seperti itu maksudnya. Kalau hanya saling bertemu mudah saja dilakukan. Tapi, yang diajarkan oleh Islam adalah silaturrahim yang ada tindaklanjut. Artinya, hubungan yang berkualitas antar sesama Muslim itu hanya bisa dibangun kalau ada tindaklanjut dalam bentuk amal, kreatifitas, dan sejenisnya, yang bermanfaat bagi umat dan bangsa. Dari situ akan terwujud bangunan silaturrahim yang hakiki, kuat, dan tak mudah goyah. Sekarang ini antar negara Islam saja kan tidak kuat hubungannya. Seperti di bidang ekonomi, mereka lebih suka berhubungan dengan Barat. Jadi kerjasama di sini penting.
Apa yang harus dilakukan agar pelajaran dari berpuasa itu berdampak nyata, dan juga manfaat lebaran berdampak pada tindakan riil?
Hemat saya, meningkatkan kesadaran menghayati dan memahami ajaran Islam. Harus diakui, umat Islam kurang familiar dengan ajaran agamanya. Shalat itu minimalnya 5 kali sehari, zakat minimalnya 2.5 persen setahun, puasa minimalnya sekali dalam setahun, haji minimalnya sekali seumur hidup (bagi yang mampu), dan sebagainya. Tapi yang minimal saja kan umat Islam masih banyak yang bolong-bolong, tidak taat menjalankannya. Padahal, semua agama saya yakin berdampak baik bagi kehidupan sosial. Jadi kesadaran terhadap nilai agama yang lemah.
Di bulan suci ini, dan menjelang Idul Fitri, tindak kekerasan terus terjadi, seperti peledakan bom di Poso dan di tempat lain. Apa pendapat Anda?
Ya, kita prihatin dan sayangkan kejadian semacam itu terus berulang, apalagi di bulan suci ini. Karena itu, saya menghimbau agar umat beragama, khususnya umat Islam, jangan sampai terpancing. Sebab, kejadian semacam itu tidak sertamerta terjadi dengan sendirinya, tapi ada rekayasa. Semua itu politis. Karena itu, kuncinya, hukum harus ditegakkan, polisi mesti tegas, dan umat beragama memahami dan mengamalkan ajaran agamanya secara benar. Kalau hukum tidak tegak, aparat kosong kehadirannya, maka dapat memicu munculnya tindakan dan benih-benih radikalisme lainnya. Jangan sampai ini terjadi.

Kecerdasan Spiritual Menentukan Jati Diri

In Islam, psikologi on 14 Oktober 2010 at 6:56 AM
Sudah tertanam anggapan umum masyarakat, anak yang nilai matematikanya kurang bagus dikelompokkan sebagai anak bodoh. Wajar jika sebagian besar orang tua cemas bila anaknya kurang pandai matematika.
Padahal kecerdasan tidak hanya terbatas pada intelektual, dikenal juga kecerdasan emosional (emotional intelligence) dan kecerdasan spiritual (spiritual intelligence).
Jika kecerdasan emosional memang membuat orang lebih mudah mencapai sukses dalam hidup. Tapi, untuk menemukan kebahagiaan dan makna dari kehidupan, diperlukan kecerdasan spiritual.
Kecerdasan spiritual diyakini sebagai kecerdasan yang paling utama dibandingkan dengan berbagai jenis kecerdasan yang lain. Kata spiritual memiliki akar kata spirit yang berarti roh. Kata ini berasal dari bahasa Latin, spiritus, yang berarti napas.
Roh bisa diartikan sebagai energi kehidupan, yang membuat manusia dapat hidup, bernapas dan bergerak. Spiritual berarti pula segala sesuatu di luar fisik, termasuk pikiran, perasaan, dan karakter kita.
Kecerdasan spiritual berarti kemampuan seseorang untuk dapat mengenal dan memahami diri seseorang sepenuhnya sebagai makhluk spiritual maupun sebagai bagian dari alam semesta. Dengan memiliki kecerdasan spiritual berarti bisa memahami sepenuhnya makna dan hakikat kehidupan yang kita jalani dan ke manakah kita akan pergi
Menurut Roberts A. Emmons dalam buku The Psychology of Ultimate Concerns, ada lima karakteristik orang yang cerdasa secara spiritual yaitu kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material, kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak, kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari, kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan masalah dan kemampuan untuk berbuat baik.
“Dua karakteristik yang pertama sering disebut sebagai komponen inti kecerdasan spiritual,” ujar Emmons.
Orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasional atau emosional saja. Dia menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual. Dia merujuk pada warisan spiritual seperti teks-teks Kitab Suci untuk memberikan penafsiran pada situasi yang dihadapinya, untuk melakukan definisi situasi.
Pengamat dan pakar pendidikan, DR. H. Arief Rachman MPd mengemukakan pentingnya mengembangkan potensi anak untuk mendukung kecerdasan majemuk. Menurut Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu, orangtua hendaknya mengenali ragam potensi kecerdasan anak yaitu potensi spiritual, potensi perasaan, potensi akal, potensi sosial, potensi jasmani.
Potensi spiritual terdiri dari kemampuan menghadirkan Tuhan atau keimanan dalam setiap aktivitas, kegemaran berbuat untuk Tuhan, disiplin beribadah, sabar berupaya, dan bersyukur atas pemberian Tuhan kepada kita. Sedangkan potensi perasaan mencakup pengendalian emosi, mengerti perasaan orang lain, senang bekerjasama, menunda kepuasan sesaat dan berkepribadian stabil.
Menurut Psikolog Anak & Remaja Lentera Insan Child Development & Education Center, Hj. Fitriani F. Syahrul, Msi.Psi, perayaan hari raya Idul Fitri sebenarnya sebagai salah satu waktu yang tepat dalam mengasah kecerdasan spiritual.
Sayangnya, masih banyak orangtua yang belum mencontohkan hari raya Idul sebagai ajang untuk membersihkan jiwa sehingga kembali suci. Namun, masih sebatas ritual seperti baju baru atau pemberian angpau pada waktu silaturahmi ke rumah kerabat.
“Sebenarnya bermaaf-maafan itu sebaiknya dilakukan sebelum bulan puasa, kemudian kita menjalankan ibadah puasa sebaik-baiknya. Sehingga memudahkan kita untuk kembali suci diri pada hari Idul Fitri,” ujar ibu dari tiga anak ini.
Selain itu, mengasah kecerdasan spiritual juga dapat dilakukan dengan mengajarkan anak-anak bersyukur atas makanan yang lebih banyak di hari raya Lebaran sebagai berkah atas ketakwaan yang dilakukan selama bulan Ramadhan.
Yang sering dilupakan oleh kaum muslim di Indonesia ialah perayaan dari Hari Raya Kurban atau Idul Adha. Padahal, lanjut Fitri, Idul Adha merupakan salah satu simbol dari penaklukan hawa nafsu manusia dan pasrah kepada perintah Tuhan.
“Hari raya Idul Fitri juga sebaiknya jangan berlebih-lebihan, karena ada ibadah puasa Syawal yang harus dilakukan umat muslim,” pungkas Fitri.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons