About

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
Berpikir POSITIF, KRITIS, KREATIF,INOVATIF, SOLUTIF...berserah diri pada ALLAH SWT.

talk n think my Blog

Jumat, 29 Juli 2011

(Apa Itu Perilaku Prososial ?)

WHAT IS PROSOCIAL BEHAVIOR ? (Apa Itu Perilaku Prososial ?)
Oleh :
Agus Effendi dan Asep Ginanjar


Altruisme (faham yang mementingkan dan mengutamakan orang lain)
Perilaku pertama yang termasuk prososial adalah altruisme. Para psikolog tidak seragam dalam mendefinisikan altruisme walaupun mereka sepakat bahwa perilaku altruistik adalah :
1.         berasal dari  dalam hati
2.         bertujuan untuk kepentingan orang lain
3.         tanpa mengharapkan imbalan
Terdapat perbedaan tentang beberapa prakondisi spesifik prilaku altruistik. Demikianlah, Midlarsky (1969) mendefinisikan altruisme sebagai sub kategori  bantuan, memberikan bantuan pada  seseorang dengan harapan keuntungan sangat kecil atau menanamkan modal  tanpa mengharapkan keuntungan yang besar. Bryan and Test (1967) melihat altruisme sebagai “beberapa aksi di mana individu –individu berbagi atau berkorban secara positif untuk  kegiatan yang bersifat sosial yang tidak memperlihatkan keuntungan materi. Singkatnya, Walster dan Paliavin (1972) berargumen bahwa prilaku altruistik secara umum merupakan prilaku yang menganggap kepentingan orang lain lebih baik dari pada hal lainnya. Psikolog lainnya telah menetapkan kondisi tambahan yang penting dalam mendefinisikan altruisme. Bagi Aronfreed (1970) dan Cohen (1972) , empati adalah sebuah kondisi penting yang melahirkan  prilaku altruistik. Hanya bantuan yang lahir sebagai akibat reaksi empati terhadap pengalaman yang lainnya dapat disebut altruistik. Leeds (1963) memprensentasikan tiga kondisi perilaku altruistik sebagai berikut :
1.      harus diperlakukan sebagai akhir dalam diri sendiri
2.      harus ditimbulkan dari dalam hatinya
3.      harus dipertimbangkan oleh yang lainnya sebagai perbuatan baik
Salah satu kontroversi tentang definisi altruisme, hal yang baik sebagai prilaku prososial adalah tentang penghargaan. Semua definisi sepakat bahwa sesorang yang berprilaku altruistik tidak akan menerima penghargaan dari luar (penghargaan diri sendiri adalah kekuatan, sebuah kepuasan, kebanggaan, atau kesenangan, sebagai konsekuensi dari tindakannya). Haruskah kita sebut perilaku menghargai diri sendiri sebagai altruisme? Apakah, seseorang melakukan pertolongan, merasa memberikan penghargaan terhadap dirinya dalam perilaku, dan masih disebut sebagai altruisme? Rosenhan (1972) dan Walster & Piliavin (1972) objek untuk menimbang menghargai diri sendiri sebagai perilaku altrustik. Rosenhan mengklaim bahwa penghargaan diri sendiri adalah sulit untuk didemontrasikan secara empiris dan oleh karena itu lahirlah sebuah rumusan hipotesis. Hingga para psikolog dapat menunjukkan bukti empiris operasional sebuah penghargaan diri sendiri, itu  tinggal menjadi sebuah konsep yang samar. Walster dan Piliavin berargumen berkenaan dengan penghargaan diri sendiri,  bahwa membuat definisi perilaku altruistik menjadi pengulangan yang tidak berguna. Penghargaan oleh diri sendiri bukan hal yang istimewa, penghargaan adalah hadiah, tetapi terbuka kemungkinan eksplanasi yang memutar : perilaku individu yang altruis untuk mendapatkan penghargaan oleh mereka sendiri atau penghargaan oleh dirinya sendiri juga merupakan konsekuensi dari perilaku altruistik.
Keberatan-keberatan tersebut diangkat oleh Rosenhan dan Walster & Piliavin sebagai titik tolak masalah yang sulit untuk mengidentifikasi penghargaan oleh diri sendiri. Tetapi itu penting untuk membedakan secara teoritis, di antara perilaku altruistik dan tindakan menolong yang timbul sebagai akibat penghargaan eksternal. Karena itu, saya mengusulkan ruang lingkup yang tidak terbatas atas perilaku altruistik termasuk juga kemungkinan penghargaan oleh diri sendiri. Kemungkinan ini juga termasuk di dalam definisi yang diusulkan tentang perilaku prososial.
Demikianlah, dalam buku ini, saya mengusulkan definisi konsep altruisme dalam sebuah proposal yang diajukan oleh Macaulay dan Berkowitz (1970) dengan satu kondisi tambahan. Mereka mendefiniskan altruisme sebagai “perilaku yang mengabaikan keuntungan lain tanpa mengharapkan penghargaan dari sumber luar. Kondisi tambahan yang diharapkan, bahwa perilaku tersebut harus dilakukan sekehendak hati. Perilaku alturistik tidak dapat terjadi seperti kewajiban atau harapan quid pro quo. Ketika seseorang menolong, ia merasa bahwa ia diharapkan untuk melakukan sesuatu sebab belum lama ini telah diterima bantuan atau sebab ia melakukan kejahatan, dia melakukan restitusi.  

Restutisi (Pemberian Ganti Kerugian)
Sebuah fakta yang menjengkelkan bahwa  para psikolog (Rosenhan, 1972) mengindentikan perilaku prososial dengan alturisme, definisi yang diusulkan dalam buku dibalik perilaku prososial tidak lain adalah tindakan altruistik.   Tindakan altruistik juga merupakan salah satu tipe perilaku prososial. Tipe yang lainnya terdiri dari tindakan yang bertujuan untuk membuat restutisi  dalam hubungan manusia. Definisi tersebut termasuk perilaku penerima yang mencoba melakukan pertukaran yang sebelumnya telah menerima pertolongan dan berbuat kejahatan yang dicoba utuk mengganti kerugian korbannya.  Tetapi, definisi yang didapat bahwa perilaku begitu harus dilakukan sesuai kehendak hati juga untuk kepentingan restitusi dan tanpa mengharapkan penghargaan dari luar. Kajian ilmu jiwa tentang restitusi akan dibahas dalam bab selanjutnya berkenaan dengan pertukaran pergantian perilaku.

Penelitian Tentang Perilaku Prososial
Tahun belakangan ini perilaku prososial telah menjadi satu kajian sentral dari psikologi sosial. Indikasi formal dari trend ini adalah masuknya bab   dengan perilaku prososial di dalam buku  psikologi sosial baru. Lusinan studi empiris telah dilakukan untuk melakukan penelitian perilaku  prososial. Para psikolog telah melakukan studi tentang perilaku prososial di labortorium dan situasi riil di lapangan. Fakta menunjukkan, perilaku prososial adalah salah satu dari beberapa kajian psikologi sosial dimana penelitian telah dilakukan di lapangan. Studi lapangan penting untuk melakukan penelitian perilaku altruistik; restutisi telah dilakukan penelitian penting di dalam setting laboratorium. Hal ini dilakukan sebab studi tentang altruistik hanya bertujuan mengkreasi situasi di mana seseorang akan mempunyai kesempatan berprilkau alturistik, padahal penelitian tentang restitusi menjadi lebih sulit dimanilulasi. Dalam studi terakhir, seseorang harus menerima anugrah dari yang lainnya atau orang lain yang melakukan kesalahan. Terdapat syarat mutlak untuk berbuat restutisi. Juga setelah beberapa manipulasi mungkin terlihat jika seseorang bertukar posisi dengan yang belum lama menerima pertolongan atau memberikan kompensasi untuk yang belum lama melakukan kesalahan.
Peneliti telah mendesain perbedaan situasi secara cerdik sesuai aturan studi tentang perilaku prososial. Dalam studi alturistik, subjek ditempatkan dalam situasi dimana seseorang membutuhkan bantuan, dan peneliti melakukan observasi reaksi subjek apakah mereka membutuhkan bantuan atau tidak. Sebagai contoh, dalam sebuah situasi laboratorium, subjek berperan sesuai aturan pekerjaan dibawah bimbingan tidak langsung  yang berpura-pura sebagai supervisor. Subjek yang lainnya bercerita bahwa para supervisor kemungkinan memberikan hadiah sebagai hasil kerja kontingen mereka. Dalam studi lainnya, (Arderman, 1972) subjek diminta secara suka rela untuk berpartisipasi dalam penelitian sebuah eksperimen dengan sebuah penghargaan seperti tambahan kredit atau uang. Subjek di studi laboratorium lainnya melihat person yang lainnya jatuh dan menangis karena rasa sakit.
Dalam satu studi lapangan (Wispe & Freshley, 1971) subjek-subjek menemukan situasi dimana tas setiap orang dari para penjual  telah buka  di depan sebuah supermarket. Pada setting lapangan lainnya (Bickman & Kamzan, 1973; Latane, 1970) di jalan diminta sedikit bantuan untuk menujukkan arah,  menukar uang atau  dolar. Pada situasi lapangan ketiga (Piliavin & Piliavin, 1972) di jalan besar para pengendara menemukan seseorang yang tumbang di dalam perjalanan.
Eksperimen untuk mempelajari perubahan perilaku  yang ditampilkan telah dilakukan dalam laboratorium. Contoh berikut adalah representasi beberapa situasi yang dimanipulasi dalam eksperimen. Dalam satu situasi subjek menerima sebuah minuman ringan dari  seseorang dan kemudian diminta oleh orang yang sama untuk membeli beberapa tiket undian. Dalam situasi lain, (Greenberg, Block, & Silverman, 1971) subjek membantu menyelesaikan tugas mereka dan kemudian meminta pertolongan dari seseorang yang telah menolong mereka belum lama ini.
Sejumlah besar studi penelitian penggantian perilaku juga telah dilakukan di laboratorium.  Sebagai contoh, dalam sebuah eksperimen (Freedman, Wallington, & Bless, 1967) subjek-subjek diajak mengacak tingkatan siswa yang disusun dalam kartu indeks dan kemudian diminta secara suka rela untuk bereksperimen lari. Pada eksperimen lainnya (Carlsmith & Gross, 1969) subjek yang berperan sebagai guru memberikan instruksi untuk melakukan shock terapi listrik ketika seorang pembelajar melakukan kesalahan. Kemudian pembelajar meminta tiap-tiap subjek secara suka rela menelepon orang dalam peraturan untuk mencegah bangunan dilalui jalan besar pohon kayu besar di California.
Pada bab selanjutnya tiap-tiap tipe perilaku prososial akan dibahas secara detail. Tetapi, pertama itu penting dianalisis bagaimana perilaku prososial  tersebut dalam proses sosial. Bab berikut akan membahas  sebagai isu utama.

 Hasil Pembahasan Kelompok :
Sebagai makhluk sosial manusia tentu tidak terlepas dari manusia yang lainnya. Dalam pergaulannya, manusia melalukan interaksi dengan sifat-sifat bawaannya sebagai makhluk yang bernaluri ganda, makhluk sosial dan makhluk pribadi. Di sinilah keunikan makhluk yang bernama manusia. Secara individu, manusia memiliki perbedaan dari manusia yang lainnya. Tetapi dalam perbedaan tersebut ternyata memiliki kesamaan yang prinsifil yaitu saling membutuhkan.
Keunikan manusia tersebut menjadi keunikan pula dari ilmu yang mempelajarinya. Dalam hal ini, pembahasan lebih konsen pada keunikan psikologi manusia sebagai makhluk sosial. Bagaimana hubungan manusia dengan manusia lainnya serta makhluk lainnya yang didasari oleh cirri-ciri manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial. Sangat menarik untuk terus dikaji. Dari dua hal tersebut tentu bisa melahirkan perilaku yang prososial dan juga perilaku antisosial. Kajian bab ini dibatasi hanya membahas perilaku prososial dan lebih spesifik membahas tentang altruistik.
Perilaku prososial adalah tindakan yang menguntungkan orang lain tetapi tidak memberikan keuntungan yang nyata bagi orang yang melakukan tindakan tersebut, walaupun terkadang menyebabkan resiko di pihak orang yang memberikan bantuan. Terdapat beberapa perilaku yang berkenaan dengan perilaku prososial, seperti tindakan menolong, melakukan kebajikan, volunterisme juga digunakan untuk menggambarkan tentang hal-hal “baik” yang dilakukan orang untuk memberikan bantuan yang dibutuhkan kepada orang lain.
Konsep altruisme sendiri berasal dari bahasa Perancis yaitu autrui yang artinya "orang lain" turunan dari kata latin alter. Secara epistimologis, altruisme berarti: Loving others as oneselfBehaviour that promotes the survival chances of others at a cost to ones own,  Self-sacrifice for the benefit of others.
Istilah altruisme diciptakan oleh Auguste Comte, seorang filsuf positivisme. Comte dalam “Catechisme Positivistemengatakan bahwa setiap individu memiliki kehendak moral untuk melayani kepentingan orang lain atau melakukan kebaikan kemanusiaan tertinggi ("greater good" of humanity). Kehendak hidup untuk sesama merupakan bentuk pasti moralitas manusia, yang memberi arah suci dalam rupa naluri melayani, yang menjadi sumber kebahagiaan dan karya.
Altruisme berarti melayani orang lain dengan menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Altruisme merupakan kehendak untuk mengorbankan kepentingan pribadi. Tindakan ini seringkali disebut sebagai peniadaan diri atau pengosongan diri. Altruisme merupakan sebuah dorongan untuk berkorban demi sebuah nilai yang lebih tinggi, bisa karena faktor manusiawi mapun faktor religi. Sebuah nilai yang tidak akan bisa diukur oleh apapun. Ukuran kepuasan bukan lagi materi, melainkan kebahagian orang lain yang berhasil kita bantu.
Altruisme merupakan sikap dalam diri seseorang atau dorongan yang dapat memunculkan dan meningkatkan tindakan prososial. Altruisme juga dapat diartikan sebagai dorongan reaksi emosional positif yang mengarahkan pada tindakan prososial dalam membantu kesulitan orang lain. Berdasarkan dua pernyataan di atas terlihat bahwa altruisme lebih mengarah pada dorongan atau sikap.
 Dalam bidang kehidupan manusia, altrusime dan self-sucrifice  secara umum diartikan sebagai ekspresi tertinggi dari moralitas. altrusime dan self-sucrifice adalah tindakan yang jelas mencerminkan bagaimana suatu aksi tidak hanya dimaksudkan demi kebaikan pribadi. Hal tersebut jelas menjadi representasi dari kriteria diri sebagai agen moral. Jika kita menggunakan kacamata yang lebih luas, ekspresi tertinggi moralitas bisa jadi bukan hanya sekedar monopoli bidang kehidupan manusia. Artinya, dengan menggunakan kriteria yang sama yaitu altrusime dan self-sucrifice sebagai ekspresi tertinggi dari moralitas, makhluk non-human pun sebenarnya juga dapat melakukanya. Di atas telah disebutkan bahwa semut, lebah, serta tumbuhan dapat merepresentasikan tindakan altruis dan self-sucrifice. Oleh karena itu, rasanya tidaklah terlalu berlebihan jika kita menyebut mereka sebagai makhluk yang juga memiliki ekspresi moral (Hermanprawiyanto, 2009)
 Perilaku altruis berfokus pada motivasi untuk menolong sesama atau niat melakukan sesuatu tanpa pamrih, berupa ketetapan moral. Altruisme adalah perbuatan mengutamakan orang lain dibanding diri sendiri. Perilaku ini adalah sifat murni dalam banyak budaya, dan juga ajaran dalam banyak agama. Istilah altruisme sendiri terkadang digunakan secara bergantian dengan tingkah laku prososial, tetapi altruisme yang sebenarnya adalah tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk tidak mementingkan diri sendiri demi kebaikan orang lain.
Perilaku altruistik tidak hanya berhenti pada perbuatan itu sendiri, sikap dan perilaku ini akan menjadi salah satu indikasi dari moralitas altruistik. Moralitas altruistik tidak sekadar mengandung kemurahan hati atau belas kasihan. Ia diresapi dan dijiwai oleh kesukaan memajukan sesama tanpa pamrih. Ketika kita berbicara tentang altruisme lebih khususnya perilaku altruistik maka akan terkait dengan perilaku prososial.
Kalau kita merujuk pada ajaran agama, Islam memandang alturistik, kualitas iman atau agama justru harus diukur dari tindakan altruistik seseorang. sebagaimana hadis Rasulullah saw: “Berkorban untuk orang lain adalah kebajikan yang paling baik, dan merupakan derajat iman yang tertinggi.” Seorang yang mengaku beragama atau beriman mestilah jiwa dan ruhaninya diresapi kasih sayang terhadap sesama tanpa bersikap diskriminatif dan primordialistik. Orang beriman adalah orang yang diri dan apapun yang dimilikinya telah diberikan hanya untuk berjuang dijalan Allah. Mereka bertindak hanya berdasar pada pertimbangan keimanan dan kepasrahan kepada Allah semata. Sesama Islam adalah saudara, apabila seorang Islam sakit maka sakitlah juga yang dirasakan oleh seluruh umat tersebut.
Dalam Islam, ketika kita memberi sesuatu maka berilah sesuatu yang paling dicintai, bukan sebaliknya, kita memberikan barang sisa kepada orang lain. Ciri utama moralitas altruistik adalah pengorbanan. Karena itu, tindakan altruistik menjadi suatu yang diidealkan dalam ajaran agama. Bahkan para filsuf berpendirian bahwa altruistik adalah pilihan terbaik bagi kehidupan bersama umat manusia. Sir Charles Erlington umpamanya mengemukakan, bekerja sama telah terbukti lebih berhasil dari pada berkompetisi dalam proses evolusi (Tn, 2009)
Dalam bidang politik, bisnis, dan kehidupan sosial lainnya, acapkali dibutuhkan suatu bentuk pengorbanan untuk kemajuan bersama yang lebih baik. Kebiasaan pejabat tertentu mundur demi memberi kesempatan pada orang lain yang lebih muda atau lebih potensial, adalah bentuk kerja sama dan pengorbanan yang diperlukan untuk memberi manfaat yang berharga dan untuk tujuan lebih luhur bagi kemanusiaan . Walaupun Darwin mengajarkan survival of the fittest sebagai hukum evolusi, ternyata bahwa hukum itu tidak semata-mata dijalani dengan berkompetisi dan cenderung mengorbankan pihak lain dan orang lain, tetapi juga, secara alamiah itu tidak mungkin terjadi sepenuhnya. Dalam realitanya, sekecil apapun hidup ini mengandung makna pengorbanan bagi keberlangsungan hidup itu sendiri. Hal ini sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk sosial.
Sebagai makhluk yang bermoral seharusnya setiap manusia mempunyai kesadaran altruistik. Dan supaya kesadaran moral altruistik termanifestasi dalam kenyataan hidup masyarakat, sifat itu mestinya menjadi muatan pendidikan budi pekerti dan pendidikan agama yang diberikan kepada anak didik. Kepedulian terhadap sesama, solidaritas sosial dan kesediaan berbagi merupakan nilai-nilai yang perlu ditanamkan dan dibiasakan kepada anak didik sejak dari rumah, sekolah, dan di masyarakat. Kesadaran ini belum banyak disadari oleh para pendidik sehingga pengembangannyapun tersendat dalam jebakan sistem pendidikan yang sangat pro-iptek. Jadi wajar saja kalau outcome pendidikan Indonesia  masih jauh panggang dari api.
Berdasarkan penelitian para ahli dalam hubungan perilaku alturustik, dalam kehidupan nyata yang berhubungan dengan gender, menunjukkan bahwa laki-laki lebih cendrung memberi pertolongan pada wanita yang mengalami kesulitan, meskipun wanita pada semua umur mempunyai empati yang lebih tinggi daripada laki-laki. Misalnya saja dalam situasi darurat yang membutuhkan keterampilan, dan pengetahuan tertentu yang lebih banyak terdapat pada pria daripada wanita, maka prialah yang terlihat memiliki perilaku tersebut. Contoh, ketika sebuah mobil yang dikenderai seorang perempuan mengalami pecah ban, maka seorang prialah yang paling mungkin melakukannya. Contoh lain, ketika penduduk di sebuah pedesaan sedang mendirikan rumah, maka yang berbondong-bondong membantu pembangunan tersebut adalah dari gender laki-laki.
Perilaku prososial tentu bermula dari kondisi pribadi manusia itu sendiri. Berikut merupakan karakteristik kepribadian yang dapat mendorong tingkah laku prososial, yakni:
1.        Empati, individu yang menolong memiliki rasa empati yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak menolong.
2.        Komponen kognitif
3.        Kebutuhan untuk disetujui
4.        Kepercayaan interpersonal, individu yang memiliki kepercayaan interpersonal yang tinggi akan terlibat dalam lebih banyak tingkah laku prososial daripada individu yang tidak mempercayai orang lain.
5.        Emosi yang positif
6.        Sosialibilitas dan keramahan
7.        Tidak agresif
8.        Percaya akan dunia yang adil, individu yang menolong mempersepsikan dunia sebagai tempat yang adil dan percaya bahwa tingkah laku yang baik akan mendapat pahala dan tingkah laku yang buruk mendapat hukuman
9.        Tanggung jawab sosial, individu yang menolong mengekspresikan kepercayaan bahwa setiap orang bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik untuk menolong orang yang membutuhkan.
10.    Locus of Control Internal, kepercayaan individual dimana individu dapat memilih untuk bertingkah laku dalam cara yang memaksimalkan hasil akhir yang baik dan meminimalkan yang buruk. Orang yang menolong mempunyai locus of control internal yang tinggi.
11.    Tidak adanya egosentris, individu yang menolong memiliki sifat egosentris yang rendah.
12.    Generativitas atau komitmen pada diri sendiri
13.    Bukan Machiavellian, dimana individu tidak merujuk pada orang-orang yang dikarakteristikan oleh ketidakpercayaan, sinisme, egosentris, dan kecendrungan untuk memanipulasi orang lain.
14.    Kesediaan untuk bertindak (Tn, 2008)



DAFTAR PUSTAKA
Sumber Utama :
Wiley, John & Sons. 1976. Prososcial Behavior. New York: Toronto John Willey & Sons.
Sumber Internet :




  

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons